REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG - Kapolda Kepala Polda Banten Brigjen Pol Agus Kusnadi mengungkapkan, terjadinya bentrokan itu bukan semata karena kelalaian dari aparat Kepolisian setempat. "Kita tidak membiarkan hal itu terjadi, dan kami juga telah melakukan antisipasi, dan bentrokan itu terjadi karena ada provokasi dari pihak yang diserang dan banyaknya massa yang menyerang," katanya.
Ia juga menjelaskan, pada 3 Februari jajaran Polres Pandeglang mendapat pesan singkat (SMS) yang menyebutkan akan adanya pengusiran dan pembubaran jamaah Ahmadiyah di Cikeusik. Pada 4 Februari, Polres Pandeglang melakukan koordinasi dengan unsur muspida setempat, guna melakukan penanggulangan terkait pesan yang diterima itu.
Pada 5 Februari, Polres mengevakuasi Suparman alias Parman bersama istrinya serta Atep. Pengamanan itu juga atas permintaan masyarakat yang menginginkan agar pimpinan Ahmadiyah itu keluar dari Cikeusik.
"Tanggal 6 Februari pukul 03.00 WIB dini hari, Kapolres Pandeglang mengirim personel ke Cikeusik dengan fokus mengamankan rumah Suparman yang kosong, dan kondisi masyarakat setempat waktu itu sudah tenang," katanya, Kamis (10/2) malam.
Pada pukul 07.00 WIB, tiga romobongan jamaah Ahmadiyah dari luar daerah dan langsung masuk ke rumah Parman. Aparat sudah membujuk agar mereka mau dievakuasi karena khawatir terjadi hal tak diinginkan.
"Tapi anggota jamaah Ahmadiyah dari luar daerah itu, tidak mau dievakuasi dengan alasan akan mempertahanka aset organisasi," katanya.
Sekitar pukul 10.00 WIB, kata dia, datang massa sekitar 1.500 orang ke rumah Parman. Pihak yang diserang (Ahmadiyah) melakukan provoksi sehingga terjadilah bentrokan itu, dan petugas yang hanya sekitar 120 orang tidak kuasa mengendalikan situasi.