Sabtu 13 Nov 2010 09:45 WIB

97 Persen Pengungsi Merapi Bisa Atasi Gangguan Psikologis

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Sekitar 97 persen pengungsi korban bencana erupsi Gunung Merapi yang tinggal di beberapa posko pengungsian bisa mengatasi gangguan psikologis temporer berupa syok sesaat. "Mereka tidak mengalami gangguan psikologis karena memiliki kemampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan," kata Koordinator Tim Relawan Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rahmat Hidayat, di posko kesehatan Stadion Maguwoharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat.

Menurut dia, hingga kini tim relawan yang tergabung dalam Center for Public Mental Health (CPMH) atau Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi UGM telah memberikan bantuan psikologi kepada 340 pengungsi. "Kami memberi bantuan psikologi dan konseling, mulai dari kasus ringan hingga yang paling berat," kata dosen Fakultas Psikologi UGM itu.

Ia mengatakan, untuk kasus yang lebih berat, pihaknya menerjunkan tim psikolog dan mahasiswa S2 psikologi, sedangkan untuk terapi bermain bagi anak-anak dilakukan mahasiswa S1 psikologi. "Dalam memberikan bantuan psikologi, pengungsi dibedakan dalam dua kategori, yakni mereka yang mengungsi karena lokasi rumah saat ini sedang tidak aman untuk ditempati dan mereka yang mengungsi betul-betul sebagai korban akibat rumah yang ditempati sudah hancur," katanya.

Menurut dia, pengungsi yang betul-betul menjadi korban itu perlu mendapat penanganan psikologis secara serius. "Kasus yang paling banyak mendapat bantuan psikologi adalah pengungsi yang mengalami ketakutan dan kecemasan secara terus menerus. Mereka kebanyakan mengalami insomnia, tidak tenang dan cemas secara berlebihan," katanya.

Selain itu, tim relawan psikologi UGM juga menangani 40 kasus yang mengarah kepada kasus gangguan jiwa. Namun, kasus tersebut bukan kasus baru akibat bencana Merapi, melainkan memang sudah memiliki riwayat gangguan tersebut. "Gangguan itu muncul lagi karena adanya perubahan drastis dengan kondisi mereka yang menjadi pengungsi akibat meletusnya Merapi," katanya.

Anggota tim relawan psikologi UGM Tina Afiatin mengatakan, dukungan sosial berupa dari keluarga atau sesama pengungsi sangat membantu mereka untuk bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi yang dialami saat ini. "Mereka yang mengalami gangguan proses penyesuaian diri biasanya kurang atau tidak mendapat dukungan dari kerabat atau keluarganya," katanya.

Menurut dia, pengungsi yang mengalami gangguan penyesuaian diri biasanya mengalami insomnia, hipertensi, dan psikosomatis. Gangguan itu ditunjukkan dengan keinginan untuk segera pulang ke rumah, tidak betah tinggal di pos pengungsian, tidak mau makan, dan tidak mau bicara. "Untuk kasus yang berat, biasanya mereka mengalami ketakutan secara terus menerus, sering menangis, dan mengalami halusinasi," katanya.

sumber : ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement