Sabtu 13 Nov 2010 09:35 WIB

Tenaga Kesehatan Kejiwaan di Merapi Kurang

Rep: owo/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,MAGELANG--Menyusul kian masifnya kasus gangguan psikologis dan kejiwaan di tempat penampungan pengungsi letusan Gunung Merapi, ternyata Jawa Tengah masih kekurangan tenaga psikolog untuk membantu para pengungsi mengatasi masalah kejiwaan pascabencana.

Koordinator Penanganan Mesalah Kesehatan Jiwa Bencana Merapi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Inu Witjaksana mengatakan, untuk penanganan masalah kejiwaan, Jawa Tengah hanya ada tujuh orang psikolog dan 12 psikiater.

Padahal, jumlah pengungsi bencana Merapi di Jawa Tengah jumlahnya cukup besar. Ia mencontohkan di Kabupaten Magelang saja mencapai 95 ribu jiwa yang tersebar di 224 tempat penampungan pengungsi. Belum lagi pengungsi di Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali.

Kondisi ini berbeda dengan Yogyakarta yang dukungan tenaga psikolog cukup memadai. Di mana tim dari RS Grasia menurunkan tujuh psikolog dan tim RS Sardjito yang berkekuatan 25 orang. "Ini belum ditambah mahasiswa pascasarjana yang mencapai 18 orang," ungkapnya.

Paling tigak, imbuh Inu, untuk menangani kesehatan kejiwaan di Jawa Tengah masih butuh setidaknya 30 an tenaga psikolog atau tenaga kesehatan kejiwaan untuk mengantisipasi kasus- kasus psikologis yang muncul di tengah- tengah pengungsian. Terkait kekurangan tenaga psikolog ini juga diakui oleh anggota Komisi IX DPR RI, dr Hj Nova Riyanti Yusuf SpKj. Menurutnya, kekurangan tenaga psikolog ini terungkap dalam pemantauan Komisinya di lokasi bencana letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah.

Padahal, pada tanggap darurat bencana seperti sekarang, kebutuhan psikolog sangat mendesak. Terbukti kasus- kasus kejiwaan dampak bencana Merapi kian bertambah. Hal ini akibat tekanan psikologis yang dihadapi para pengungsi cukup berat.

Berdasarkan temuan Komisi IX, jumlah kasus gangguan psikologis di pengungsian bencana Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta terus bertambah dan terakhir mencapai 377 kasus. Terakhir tambah Klaten 22 kasus. "Yang paling banyak didominasi gangguan kecemasan dan depresi," ungkapnya.

Ia menyayangkan Kemenkes belum aware terhadap permasalahan ini. Saat ini, di Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI tak ada alokasi anggaran bagi training of trainer (TOT) sumber daya untuk membantu psycological first aid (PFA) di daerah bencana.

Baru setelah kasus- kasus psikologi muncul pada masa tanggap darurat baru terpikirkan. Oleh karena itu, Komisi IX DPR RI mengusulkan agar TOT dialokasikan di anggaran yang dikelola Kemenkes. "Kita juga sampaikan kepada Pak Syamsul Maarif agar BNPB juga menambahkan anggarannya untuk TOT ini," tegas Nova.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement