Jumat 11 Jun 2010 21:51 WIB

Perjuangan Hidup di Balik Sehelai Batik

Red: irf
Pengrajin batik dari Solo
Foto: ant
Pengrajin batik dari Solo

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO--Kampung Wisata Batik, demikian nama yang disematkan untuk daerah ini. Sepanjang lorong-lorong kampung, berjejer rumah-rumah bergaya arsitektur kuno. Sebagian besar penghuninya adalah perajin batik.

Kampung Kauman, itulah namanya. Kampung ini ada di kota Solo, Jawa Tengah. Di sini, batik tidak sekadar elemen budaya, tapi juga mendarah daging dan menjadi nilai hidup. Semua aspek kehidupan ada unsur batiknya. Saat susah, kain batik yang dipakai berbeda dengan saat sedang senang. Kain batik yang dikenakan kaum tua, berbeda dengan yang dipakai kaum muda.

Pak Agino (60), kakek tujuh cucu, sudah puluhan tahun bekerja di rumah produksi batik Gunawan. Tugasnya mencuci kain yang sudah dibatik yang kemudian direbus untuk menghilangkan parafin. Sebagian orang menilai batik identik dengan pelukisnya, namun sesungguhnya, ada begitu banyak proses sampai kain itu siap dijahit.

"Mencuci batik juga harus dengan kesabaran. Kita harus perhatikan setiap motif yang mungkin masih belum bersih," kata Pak Agino sambil menggulung kain yang selesai dicuci. Sudah sepuh masih bekerja, Pak? "Sedikit-sedikit dari upah saya, bisa membelikan jajan buat cucu," ungkapnya.

Selain Pak Agino, ada Pak Wagino (50) yang sedang merebus kain. Setelah direbus, kain batik dikeluarkan dan diinjak-injak berulang kali. "Ini untuk membuang kotoran dari pewarna dan parafin yang masih tersisa dari Pak Agino," jelasnya sambil bercucur keringat.

Tungku untuk merebus memakai kayu bakar yang harus selalu dikontrol nyala apinya. Soal kayu ini, ternyata menghadirkan cerita lain. "Sekarang tidak gampang mencari kayu. Kalau bukan kayu, hasilnya tidak sreg di hati," katanya. Membuat batik perlu ketelatenan.

Untuk sehelai kain, butuh waktu hingga berbulan-bulan untuk menyelesaikannya. "Kami ini industri rumahan. Namun, inilah batik yang betul-betul asli, karena dikerjakan secara manual. Kalau yang diproduksi massal, mungkin sehari pun jadi karena mereka memakai mesin dan menggunakan banyak zat kimia. Kalau kami, warnanya dari kulit kayu," kata Pak Agino.

Tak jauh dari dapur olahan, terpajang beberapa helai kain warisan dari nenek moyang yang sudah berusia seratusan tahun, tepatnya sejak 1890. Tidak hanya bekerja, ternyata para pekerja di dapur batik ini juga selalu menularkan ilmu membuat batik ini secara turun temurun. Tak heran, setiap pekan, ratusan murid TK datang untuk belajar membatik bersama-sama. Sabar dan telaten, sifat luhur itu, ternyata tecermin dalam sehelai kain batik!

sumber : dompet dhuafa
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement