Sabtu 29 May 2010 21:13 WIB

'Festival' Gizi Buruk di Kampung Noyadi

Red: irf

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA--Bagi banyak masyarakat asli Papua, Kampung Noyadi, boleh jadi, merupakan nama yang tidak dikenal walaupun perkampungan itu ada di kawasan Mamberamo. Hanya segelintir pilot berkebangsaan lain, yakni mereka yang sering melayani penerbangan di Distrik Mamberamo Tengah Timur (MTT), Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, yang bisa dengan pasti memberikan jawaban letak kampung tersebut.

Kampung Noyadi merupakan satu dari enam kampung di Distrik MTT, Kabupaten Mamberamo Raya.

Distik MTT dikenal sebagai daerah yang paling sulit dijangkau di kabupaten tersebut karena letaknya yang berada di tengah lebatnya hutan dan derasnya arus Sungai Mamberamo. Daerah itu dibentengi lereng perbukitan yang terjal dan kokoh. Di daerah seperti itulah Kampung Noyadi berada.

Noyadi hanya bisa di jangkau dengan pesawat berbadan kecil berpenumpang lima orang, dengan waktu tempuh kira-kira satu setengah jam perjalanan dari Bandara Sentani, Jayapura. Jurnalis Antara yang meng ikuti perjalanan tim Sensus Penduduk 2010 berkesempatan melihat kondisi kehidupan masyarakat di sana.

Masyarakat Noyadi, sama halnya dengan masyarakat lainnya yang ada di distrik MTT, hidup dengan berkebun dan bercocok tanam serta mencari sagu hutan sebagai makanan pokok. Tingkat kesejahteraan mereka bisa dilihat dari kenyataan bahwa hampir seluruh anak-anak di kampung itu menderita gizi buruk.

Badan mereka kelihatan sangat kurus dengan perut yang membuncit. Kondisi itu

masih ditambah dengan kulit mereka yang korengan. Luka di tubuh mereka itu, selintas, tampak seperti tato atau peta di sekujur tubuh. Ketika malam tiba, perkampungan itu berubah seperti arena festival batuk, yang pesertanya didominasi anak-anak, yaitu mereka yang umumnya bergizi buruk dan korengan tersebut.

Suara batuk khas para penderita TBC itu terus bersahut-sahutan pada malam hari itu, seakan mereka tidak memberikan kesempatan pada tetangga mereka untuk batuk lebih hebat.

Pendatang, termasuk para petugas sensus, pasti terganggu dengan suara batuk tersebut. Apalagi, rumah-rumah di kampung itu, yang berdinding dan lantai papan, saling berdekatan sehingga suara batuk dari rumah sebelah seperti ada di rumah yang sama yang sedang ditempati.

Kepala kampung, Noyadi Kales Alle, mengatakan, penyakit gizi buruk yang menimpa anak-anak di kampung itu sudah berlangsung lama. "Inilah kondisi kami di sini. Memang ada petugas yang turun memberikan pelayanan kesehatan dan membagikan obat, tetapi itu sangat jarang dilakukan. Dalam setahun saja, belum tentu ada tenaga kesehatan yang datang ke sini," katanya.

Kales Alle menceritakan juga soal penyakit batuk yang diderita oleh anak-anak di kampungnya, yang menurutnya, adalah sebuah wabah yang sangat berbahaya. "Kasihan anak-anak kami, sudah banyak yang meninggal dunia karena penyakit yang mereka derita. Dalam satu bulan bisa satu atau dua orang anak yang meninggal," katanya.

sumber : ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement