Kamis 21 Oct 2010 00:29 WIB

AS Masih Ragu Rangkul Keuangan Syariah

Rep: Yeyen Rostiyani/Reuters/Gulf Times/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA--Keuangan syariah berhasil mencuri perhatian dunia. Dari Inggris, Australia, hingga Prancis semua mendukung pertumbuhan sektor keuangan syariah. Padahal, di Prancis, misalnya, muncul gonjang-ganjing soal pelarangan cadar.

Bagaimana dengan Amerika Serikat? Ada kisah berbeda dari negeri Paman Sam ini. Semangat untuk merangkul keuangan syariah terganjal oleh kondisi politik dalam negeri. Akibatnya, bisa diramalkan: pertumbuhan keuangan syariah melambat dan kucuran investasi dari negara-negara Teluk yang kaya raya pun akan berpaling ke negara lain. Meski tak semua, namun warga AS masih memandang sinis kepada sistem keuangan syariah.

Mereka menduga, industri ini adalah pintu bagi kucuran dana kepada para teroris atau rencana umat Islam untuk menyebarkan ajarannya-termasuk larangan soal riba. Padahal, jika ingin dirunut, larangan riba juga berlaku pada ajaran Kristen dan Yahudi.  

The Center for Security Policy, yaitu sebuah think tank AS, September lalu merilis laporan bertajuk Shariah: The Threat to America (Syariah: Ancaman bagi Amerika). Isinya menyebutkan, praktik mendorong syariah “tidak sejalan dengan konstitusi” dan harus “dilarang”.

Laporan ini bahkan dipaparkan di Capital Hill tempat para anggota dewan legislatif AS berkantor. Sejumlah anggota parlemen asal Republik mendukung paparan ini. Salah satunya adalah mantan ketua House of Representative, Newt Gingrich. Menurut Gingrich, seharusnya ada undang-undang federal yang memastikan bahwa segala yang berbau syariah-termasuk sistem keuangannya-tidak diakui oleh pengadilan manapun di AS.

Terpaksa beralih

“Seandainya ada pilihan dan imbalan serta analisis risikonya bisa diterima, namun jika di satu tempat menyambut kehadiran Muslim sedang di politisi di suatu negara lain bertindak sebaliknya, tentu Muslim lebih baik mendatangi jurisdiksi yang bersikap terbuka kepada mereka,” kata Jawad Ali, managing partner and deputy global head untuk keuangan syariah di King & Spalding.

Secara tradisional, AS menjadi daerah tujuan investasi yang menjadi pilihan para investor Timur Tengah. Bahkan, menurut Ali, ada sejumlah alasan lainnya yang cukup menggiurkan. Misalnya saja, peraturan perpajakan di AS dinilai kondusif bagi pertumbuhan keuangan syariah.

Alasan lainnya adalah sebagian besar mata uang di negara Teluk masih terikat pada dolar AS. Bahkan, minyak bumi produksi mereka pun dihargai dalam dolar AS. Namun, angin politik yang berhembus di AS bisa saja mengalihkan atau menunda pertumbuhan bisnis ini.

“Para investor memang belum lari dari AS. Namun, saya sudah melihat ada sejumlah investor potensial dari Timur Tengah yang menimbang kembali investasi sesuai syariah yang akan mereka kucurkan. Mereka khawatir dengan iklim (politik),” kata seorang bankir syariah yang berkantor di Teluk.

Kabar baiknya, meski retorika negatif merebak di AS, perekonomian Timur Tengah tak ikut goyah karenanya. Perusahaan AS masih aktif berinvestasi di kawasan tersebut. Jika mereka diminta untuk menjalankan bisnis sesuai prinsip syariah, mereka pun tak segan untuk menyetujuinya.

Kenyataan memang menunjukkan, prospek pemulihan ekonomi di AS dan Eropa masih belum jelas. Tak heran jika perusahaan dan lembaga keuangan Barat masih mencari keuntungan lebih dari pasar-pasar yang kian berkembang-termasuk kawasan Teluk.

Kalaupun ada sisi negatif dari sentimen negatif ini adalah AS akan tertinggal di sektor keuangan syariah. Padahal, di negeri ini ada sekitar lima juta hingga tujuh juta Muslim.

Berdasarkan penelitian oleh Pew Research Study, 41 persen Muslim Amerika berpenghasilan 50 ribu dolar AS lebih per tahun. Memang, ada sekitar 20 lembaga keuangan AS yang menawarkan produk syariahnya. Namun, belum ada satu pun bank umum syariah di negeri ini. Di Inggris, orang dapat memilih layanan jasa Islamic Bank of Britain.

“Banyak orang yang tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan negara Muslim, tidak banyak berbuat untuk mendidik rakyat Amerika,” James Abourezk, mantan senator yang menjadi senator AS keturunan Arab pertama. Lantas, bagaimana dengan sikap lembaga Pemerintah AS? Ternyata, Bank Sentral AS telah meluncurkan penelitian tentang keuangan syariah.

Saat ini mereka sibuk mencari konsultan dalam industri keuangan syariah.

Bahkan, Kementerian Keuangan AS telah meluncurkan program bertajuk Islamic Finance 101 pada 1995. Tujuannya adalah mengajarkan bisnis berprinsip syariah kepada aparat pemerintah.

Program ini bekerja sama dengan proyek keuangan syariah dari Harvard. Tujuan program ini adalah mempelajari keuangan syariah dari sudut pandang hukum dan menjalin kerja sama antarilmuwan dari dalam dan luar dunia Islam.

Terkesan mulus? Ah, tidak juga. Inisiatif inipun tercemar politisasi. Sebuah kolom di harian Washington Times menerbitkan kartun Elena Kagan, salah satu hakim agung di Mahkamah Agung AS, dengan sorban di kepala. Kagan dituding “membolehkan masuknya syariah ke pasar modal”. Pasalnya, Kaganlah yang mendukung proyek keuangan syariah saat ia menjadi dekan sekolah hukum Harvard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement