Rabu 09 Feb 2011 21:10 WIB

Partisipasi Wali Murid Dinilai Bisa Kikis Korupsi di Sekolah

Rep: Ichsan Emrald Alamsy/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Korupsi ialah kata yang amat menakutkan bagi masyarakat. Apalagi saat ini korupsi bukan hanya terjadi di tingkat kementerian, tapi sampai ke halaman sekolah. Satu-satunya cara untuk mengikis korupsi di sekolah ialah melalui keterlibatan aktif orangtua murid serta guru.

"Kami yakin korupsi takkan bisa diberantas oleh KPK semata, Korupsi bisa diberantas jika masyarakat menolak untuk melakukan korupsi dan menjadi budaya untuk menolak. Dan ini bisa dijalankan mulai dari sekolah," ungkap Koordinator Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko, di peluncuran buku 'Sekolah Harapan, Sekolah Melawan Korupsi' dan Diskusi Publik Melawan Korupsi dan Membangun Demokrasi di sekolah, di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu (9/2).

Bagi Danang, desentralisasi sekolah yang digulirkan Pemerintah memang menciptakan kemandirian. Akan tetapi program Manajemen Berbasis Sekolah ini justru menciptakan relasi tak berimbang antara Kepala Dinas dan Kepala sekolah dengan guru dan wali murid. Maka tidak ada langkah lain kecuali menyeimbangkan peran antara Kepala Sekolah dengan guru dan Wali Murid

Oleh karena itu, menurut Koordinator Monitoring dan kebijakan Publik ICW, Ade Irawan, orangtua murid dan guru jangan diam saja jika tidak dilibatkan dalam pembuatan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Harus ada peran aktif dari keduanya agar proses pembuatannya jelas dan tahu dananya dipergunakan untuk apa. "Kita sering mendengar dan meilhat melihat guru kadang apatis dan orangtua tak peduli dan hanya tahu yang penting anak pintar saja," ungkapnya.

Padahal banyak konsekuensi yang akan terjadi jika korupsi berjamaah ini dilakukan di sekolah. "Sekolah akan jadi pasir hisap, berapapun akan hilang, tapi bukan untuk kepentingan peserta didik," ucapnya. Kemudian korupsi juga membuat sekolah menjadi mahal, tapi malah kualitasnya buruk. Padahal anggaran pendidikan terus bertambah. "Selain itu menciptakan gayus-gayus baru," tegasnya.

Melalui partisipasi komite sekolah dan guru dalam pembuatan anggaran sekolah atau disebut APBS Partisipatif, maka korupsi pasti akan hilang. Hal ini benar-benar dipraktekkan oleh Ade Manadin, Kepala Sekolah SDN Tegal Gede 2, Kabupaten Garut. Saat memulainya tahun 2004, ia yang awalnya guru di SD tersebut hanya dibantu kepala sekolah dan komite sekolah.

Upayanya untuk mengembangkan APBS Partisipatif dibenci oleh Kepala Sekolah di sekitarnya. "Saya sepakat pendidikan bukan hanya milik kaum kota, tidak ada dispalitas antar desa dan kota, makanya saya punya tekad memperbaiki sekolah," ucapnya.

Ia ingin agar sekolah tersebut bisa berubah, minimal nyaman bagi siswa. Sekolahnya yang tadinya berlantaikan tanah, lalu diubah menjadi berlantai. Meski dengan dana sekitar Rp 11 juta dipotong Rp 8,1 juta untuk guru honor jadi hanya sisa Rp 2,9 juta. "Saat pembangunan seluruh ibu-ibu dan bapak-bapak wali murid ikut mengecor bareng," paparnya.

Saat ia menjadi Kepala Sekolah pun, ia mendorong guru dan komite Sekolah untuk ikut dalam pembuatan APBS. "Seluruh dana BOS yang sampai kami jelaskan sedetail mungkin. Tidak ada potongan sama sekali, dana BOS yang kami dapat langsung diumumkan ke guru dan peruntukkannya telah ada di APBS," ungkapnya.

Padahal di sekolah tersebut dari 22 guru yang ada, 18 diantaranya guru honorer. "Guru tidak ada yang kaya, gaji terkecil Rp 500 ribu dan tertinggi Rp 750 ribu," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement