Selasa 28 Aug 2018 14:46 WIB

Pesan Mandela untuk Indonesia

Event olahraga tak sekadar sarana yang memuat hiburan, hobi, atau hegemoni

Emas Pertama Unifikasi Korea Asian Games. Tim Kano Unifikasi Korea mengikuti upacara pengalungan medali pada cabang Kano nomor Balap Perahu Tradisional 200 m putri di Komplek Olahraga Jakabaring, Palembang, Ahad (26/8). Medali Emas dari nomor balap perahu tradisional 500 m putri merupakan medali emas pertama Unifikasi Korea di ajang Asian Games.
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Emas Pertama Unifikasi Korea Asian Games. Tim Kano Unifikasi Korea mengikuti upacara pengalungan medali pada cabang Kano nomor Balap Perahu Tradisional 200 m putri di Komplek Olahraga Jakabaring, Palembang, Ahad (26/8). Medali Emas dari nomor balap perahu tradisional 500 m putri merupakan medali emas pertama Unifikasi Korea di ajang Asian Games.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erick Thohir*

Saya ingin membuka tulisan ini dengan merujuk buku berjudul Nelson Mandela and the Game That Made a Nation karya John Carlin. Buku ini mengisahkan Afrika Selatan saat menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugbi tahun 1995.

Sekalipun Afrika Selatan sudah terbebas dari praktik politik apartheid dengan Mandela tampil sebagai kepala negara, tapi mereka saat itu belum benar-benar merdeka. Sentimen ras masih kuat bersemayam di kepala masyarakat Afrika Selatan.

Rugbi dianggap oleh masyarakat kulit hitam sebagai simbol hegemoni kulit putih. Karena itu tak sedikit dari masyarakat kulit hitam Afrika Selatan yang apatis terhadap kiprah timnas mereka yang berjuluk Springboks itu. Sebaliknya, orang kulit hitam Afrika Selatan malah cenderung mendukung Inggris.

Nelson Mandela menyadari fenomena yang masih membelah negaranya. Sekalipun secara politik kondisi sudah terbuka, tapi dia tahu bahwa politik bukanlah sarana utama untuk mempersatukan Afrika Selatan.

Mandela sadar bahwa olahraga-lah, utamanya rugbi, yang sanggup mempersatukan negaranya. Selama kulit putih dan hitam masih terbelah dalam dunia olahraga, maka selama itu pula negara itu sulit bersatu padu.

Mandela begitu habis-habisan dalam mendukung kiprah timnas rugbi Afrika Selatan. Perhatian luar biasa Mandela pada tim Springboks mampu mencuri atensi masyarakat kulit putih. Masyarakat kulit putih Afrika Selatan mulai menyadari bahwa kepala negara kulit hitam itu adalah pemimpin sejati mereka.

Di sisi lain, Mandela mampu membalik sentimen kulit hitam dari awalnya antipati menjadi simpati pada timnas rugbi. Hingga akhirnya, masyarakat kulit hitam dan putih Afrika Selatan bersatu untuk mendukung timnas mereka di final kejuaraan dunia.

Dengan persatuan, segala kemustahilan mampu dibuat jadi nyata. Kemustahilan bahwa Afrika Selatan mampu mengalahkan Selandia Baru di final menjadi sirna. Afrika Selatan jadi juara dunia setelah menang 15-12 di final.

Kemustahilan kulit hitam dan putih untuk bersatu pun menjadi kisah masa lalu. Lewat rugbi, Afrika Selatan akhirnya menjadi benar-benar satu.

Lewat persatuan, Afrika Selatan mencetak sejarah kesuksesan menjadi tuan rumah sekaligus juara dunia rugbi tahun 1995. Kisah ini kemudian diabadikan menjadi sebuah film box office yang diperankan Morgan Freeman dan Matt Damon berjudul Invictus

Sengaja saya mengutip kisah di Afrika Selatan untuk menggambarkan betapa besarnya kekuatan ajang olahraga. Event olahraga tak sekadar sarana yang memuat hiburan, hobi, atau hegemoni. Lebih dari itu, event olahraga nyatanya bisa menjadi sarana untuk mengubah kondisi negara bahkan dunia.

Tak hanya Piala Dunia Rugbi, Asian Games 2018 sudah menyajikan cerita yang mengubah dunia. Ada kisah tentang dua Korea yang bersatu di Palembang dan Jakarta.

Dua saudara yang selama itu berseteru itu kini saling bergandeng tangan bersama. Ini tentu menjadi kebanggaan sekaligus inspirasi yang tak ternilai harganya.

Selain persatuan dua Korea, ada pula kisah dari timnas basket Cina. Ada pemandangan yang menarik di timnas putra negara Tirai Bambu itu. Salah satu andalan dari tim Cina bernama Abudushalamu Abudurexiti.

Dari nama, kita tentu tahu bahwa Abudurexiti berbeda dengan rekan setimnya. Abudushalamu Abudurexiti berasal dari entnis minoritas muslim Uighur dari provinsi Xinjiang.

Selama ini, memang ada dinamika terkait hubungan etnis Uighur dengan pemerintah negaranya. Tapi lewat basket, Cina mampu bersatu padu.

Abudushalamu Abudurexiti yang berasal dari kalangan minoritas menjelma sebagai pahlawan besar bagi satu miliar penduduk Cina. Lewat performanya yang gemilang di Asian Games 2018, Abudurexiti kini bahkan diincar oleh sejumlah tim NBA.

Segala kisah inspiratif di olahraga juga berlaku bagi negara kita Indonesia. Di tengah segala dinamika yang berkembang di masyarakat, Asian Games 2018 menjadi sarana Indonesia untuk bersatu. Buang jauh-jauh sentimen politik apalagi suku, ras, atau agama. Mari kita dukung bersama perjuangan Indonesia di Asian Games 2018.

Sebab ini saatnya kita bersatu, berjuang bersama, dan berbahagia untuk prestasi Lindswell Kwok, Defia Rosmaniar, Aries Susanti Rahayu dan lain sebagainya.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip ucapan Mandela pada Laureus World Sports Awards tahun 2000 di Monaco. Kutipan yang patut kita renungi dan resapi bersama.

"Sport has the power to change the world. It has the power to inspire. It has the power to unite people in a way that little else does. It speaks to youth in a language they understand. Sport can create hope where once there was only despair.

Terjemah bebas: "Olahraga punya kekuatan untuk mengubah dunia. Punya kekuatan untuk menginspirasi. Dia (olahraga) punya kekuatan untuk menyatukan, yang tak dimiliki hal lain. Olahraga menciptakan harapan, di mana dahulu yang tersisa hanya keputusasaan."

*penulis adalah Ketua Panitia Penyelenggaran Asian Games 2018 (Inasgoc) dan Ketua Komite Olimpiade Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement