JAKARTA--Mahkamah Agung menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Artinya,UN dinilai cacat hukum. Pemerintah pun dilarang menyelenggarakannya lagi.
"Sudah diputus tanggal 14 september 2008, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi dalam hal ini pemerintah RI,"terang juru bicara MA yang juga Kabag IT Joko Upoyo,Senin (25/11).
Dari informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputus dengan putusan perkara Nomor Register 2596 K/PDT/2008 . Majelis hakim yang menangani antara lain Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.
Keputusan ini sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 lalu yang juga menolak permohonan pemerintah. Pertimbangannya, para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara.
Khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN.
Pemerintah juga diminta segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN.
UN Dihapuskan, Siswa Girang
Menanggapi dihapuskannya ujian nasional bagi siswa SMP dan SMA, beberapa murid nampak girang. Mereka mengatakan, standar yang ditetapkan dalam UN terlalu tinggi.
Salah satunya adalah Ekawati, siswi sebuah SMK swasta di Bangbarung. Ia mengatakan sangat gembira dengan penghapusan UN.
"Saya sangat senang dengan hal tersebut," ujar siswi kelas dua tersebut. Pada saat menjalani UN pada SMP, dirinya mengaku sangat kesulitan. Selain itu, eka yang merupakan warga Paledang, mengaku sangat ngeri dengan fenomena ketallulusan akibat nilai UN jeblok.
Sama halnya dengan Desy Sukaesih, siswi kelas dua SMA Kosgoro. Desy mengatakan pada saat UN SMP, standar yang ditetapkan terlalu tinggi.
"Dulu waktu SMP standarnya kalau tidak salah 5,25. Itu terlalu tinggi," ujar Desy ketika ditemui dirumahnya, disekitar Jalan Malabar Ujung, Bogor Tengah, Rabu (25/11).
Desy menganggap dengan adanya UN tidak menjamin akan kualitas pendidikan yang bagus. Ia bertukas dengan penetapan standar yang tinggi, malah hanya memberi tekanan tinggi kepada dirinya sebagai siswi SMK. c13/wul/itz