JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang ijtima yang diadakan pada Januari lalu telah mewajibkan zakat perusahaan. Namun gaungnya belum terdengar seperti layaknya fatwa rokok dan golput.
Padahal fatwa zakat perusahaan memiliki peran penting untuk ikut menyejahterakan rakyat. Tetapi implementasi di lapangan belum banyak terjadi.
Ketua Umum Baznas, Didin Hafidudhin mengatakan saat ini setidaknya di Baznas sekitar 50 perusahaan yang membayar zakat korporasi. Padahal jumlah perusahaan baik BUMN maupun swasta di Indonesia mencapai ratusan.
"Perusahaan BUMN saja memiliki potensi zakat sebesar Rp 14,3 triliun. Jumlah ini belum termasuk dengan perusahaan swasta," kata Didin saat ditemui dalam seminar Fatwa MUI:Zakat Perusahaan Wajib Bagaimana Implementasi Pada Korporasi Indonesia di Gedung BNI, Kamis (2/4).
Untuk itu ia mendorong pemerintah untuk turut mendukung perusahaan BUMN melakukan zakat perusahaan. Konsep zakat perusahaan, ujar Didin, sebenarnya bukanlah suatu hal baru dan sudah ada sejak dulu. Namun saat ini pemahaman mengenai zakat perusahaan harus lebih disosialisasikan.
Pembicara dari Direktorat Perbankan Syariah BI, Setiawan Budi Utomo mengatakan perlu adanya pemahaman sama di antara pelaku dan otoritas terkait akan zakat perusahaan.
Pasalnya, lanjut dia, zakat saat ini tak semasif perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. "Kalau diabaikan maka zakat hanya akan dipandang sebelah mata, bukan sebagai pilar stabilitas keuangan nasional," kata Setiawan.
Ia menambahkan zakat pun dikhawatirkan hanya jalan di tempat, tidak seperti sektor keuangan lainnya. Untuk itu Setiawan menjelaskan perlunya koordinasi instansi terkait, tak hanya Departemen Agama tetapi juga Departemen Keuangan dan Departemen Sosial.
Dalam UU 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kata Setiawan, perusahaan wajib melakukan corporate social responsibility (CSR) sebagai bentuk good corporate governance perusahaan.
"CSR adalah bentuk konvensional, tapi bukan berarti tidak sesuai dengan syariah. CSR harus disinergikan dengan zakat," ujar Setiawan.
Di dalam persaingan modern saat ini, lanjutnya, paradigma zakat sebagai faktor pengurang mesti dihilangkan digantikan oleh zakat sebagai faktor penambah. Dengan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, tak berarti jumlah pajak negara yang terhimpun akan berkurang. Namun malah tumbuh bersamaan dengan zakat. - gie/ahi