Ahad 11 Apr 2021 01:17 WIB

WHO: Vaksin Negara Kaya dan Miskin tak Seimbang

Hanya satu dari 500 orang di negara miskin yang mendapatkan vaksin.

Rep: Uji Sukma Medianti/ Red: Friska Yolandha
Vaksinator menyuntikan vaksin Covid-19 ke petugas layanan publik di pusat vaksinasi Covid-19 di Kiara Artha Park, Jalan Banten, Kota Bandung, Sabtu (10/4). Hanya satu dari 500 orang di negara miskin yang mendapatkan vaksin.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Vaksinator menyuntikan vaksin Covid-19 ke petugas layanan publik di pusat vaksinasi Covid-19 di Kiara Artha Park, Jalan Banten, Kota Bandung, Sabtu (10/4). Hanya satu dari 500 orang di negara miskin yang mendapatkan vaksin.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebanyak 60 negara, terancam terhenti pada suntikan pertama vaksinasi virus corona. Penyebabnya, seluruh pengiriman melalui program global untuk membantu mereka akan diblokir hingga Juni mendatang.

Covid-19 Vaccines Global Access, atau COVAX, sebuah inisiatif global yang ditujukan untuk akses setara untuk vaksin-vaksin Covid-19, sedang merundingkan pasokan mereka yang mulai langka. Dalam seminggu terakhir, COVAX telah mengirimkan lebih dari 25.000 dosis ke negara-negara berpenghasilan rendah hanya dua kali pada hari tertentu.

Baca Juga

Semua pengiriman telah dihentikan sejak hari Senin. Selama dua minggu terakhir, menurut data yang dikumpulkan setiap hari oleh UNICEF, total kurang dari 2 juta dosis COVAX telah diberikan untuk pengiriman ke 92 negara di dunia berkembang, jumlah yang sama disuntikkan di Inggris saja.

Pada Jumat (9/4), Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengecam ketidakseimbangan yang mengejutkan dalam vaksinasi Covid-19 global. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreysusbmengatakan, satu dari empat orang di negara kaya telah menerima vaksin, hanya satu dari 500 orang di negara miskin yang mendapatkan vaksin.

Kekurangan vaksin sebagian besar berasal dari keputusan India untuk berhenti mengekspor vaksin dari pabrik Serum Institute. Pabrik inilah yang memproduksi sebagian besar dosis AstraZeneca yang diandalkan COVAX untuk memasok sekitar sepertiga populasi global pada saat virus corona menyebar ke seluruh dunia.

COVAX hanya akan mengirimkan vaksin yang disetujui oleh WHO, yang membuat negara-negara semakin tidak sabar. Persediaan berkurang di beberapa negara pertama yang menerima pengiriman COVAX, dan perkiraan pengiriman dosis kedua dalam rentang waktu 12 minggu yang saat ini direkomendasikan sekarang diragukan.

Dalam sebuah pernyataan, aliansi vaksin yang dikenal sebagai GAVI mengatakan kepada The Associated Press bahwa 60 negara terkena dampak penundaan tersebut. Di tenda vaksinasi yang didirikan di Rumah Sakit Nasional Kenyatta di Nairobi, banyak dari mereka yang datang untuk suntikan pertama merasa tidak nyaman tentang kapan suntikan kedua akan tiba.

"Ketakutan saya jika tidak mendapat dosis kedua, sistem kekebalan tubuh saya akan melemah, sehingga saya bisa mati,” kata Oscar Odinga, seorang pegawai negeri.

Dokumen internal WHO yang diperoleh AP menunjukkan ketidakpastian tentang pengiriman sehingga menyebabkan beberapa negara kehilangan kepercayaan pada upaya yang dilakukan COVAX.

Hal itu mendorong WHO untuk mempertimbangkan mempercepat dukungannya terhadap vaksin dari China dan Rusia, yang belum diizinkan oleh regulator mana pun di Eropa atau Amerika Utara. Dokumen WHO menunjukkan badan PBB menghadapi pertanyaan dari peserta COVAX tentang jatah selain "ketidakpastian tentang apakah semua orang yang divaksinasi pada putaran 1 dijamin mendapatkan dosis kedua."

WHO menolak untuk menanggapi secara khusus masalah yang diangkat dalam materi internal tetapi sebelumnya mengatakan negara-negara "sangat tertarik" untuk mendapatkan vaksin sesegera mungkin dan bersikeras belum mendengar keluhan tentang proses tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement