Kamis 11 Mar 2021 09:24 WIB

Myanmar Sewa Pelobi untuk Dekati Barat, Jauhi Cina

Jenderal Myanmar disebut ingin mendekat ke Barat dan menjauh dari Cina.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Jenderal Myanmar disebut ingin mendekat ke Barat dan menjauh dari Cina.
Jenderal Myanmar disebut ingin mendekat ke Barat dan menjauh dari Cina.

Militer Myanmar menyewa jasa pelobi Israel-Kanada seharga US $ 2 juta (Rp 28 miliar) untuk ‘‘membantu menjelaskan situasi sebenarnya‘‘ terkait kudeta militer ke Amerika Serikat (AS) dan negara lain. Demikian seperti yang terlihat dari dokumen yang diajukan ke Departemen Kehakiman AS.

Ari Ben-Menashe dan perusahaannya, Dickens & Madson Canada, akan mewakili junta militer Myanmar di AS, serta melobi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel dan Rusia, dan badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, demikian menurut sebuah dokumen perjanjian konsultasi.

Baca Juga

Perusahaan yang berbasis di Montreal itu akan "membantu penyusunan dan pelaksanaan kebijakan untuk pembangunan yang bermanfaat bagi Republik Persatuan Myanmar, dan juga untuk membantu menjelaskan situasi sebenarnya di negara tersebut," demikian isi perjanjianlebih lanjut.

Perjanjian itu telah diserahkan pada hari Senin (08/03) ke Departemen Kehakiman AS sebagai bagian dari kepatuhan terhadap Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing AS dan dipublikasikan secara online.

Junta ingin mendekat ke barat dan menjauhi Cina

Di tengah skeptisisme global yang meluas, Ben-Menashe mengatakan kepada kantor berita Reuters dia telah ditugaskan untuk meyakinkan AS bahwa para jenderal Myanmar ingin mendekat ke Barat dan menjauh dari Cina.

Pelobi dari Kanada itu mengatakan, para jenderal ingin memukimkan kembali Muslim Rohingya yang melarikan diri dari serangan militer tahun 2017. PBB menuduh para jenderal yang berkuasa saat ini yang justru mengawasi genosida itu.

"Sangat tidak masuk akal bahwa dia bisa meyakinkan Amerika Serikat tentang narasi yang dia usulkan," kata John Sifton, direktur advokasi Asia di Human Rights Watch.

Ben-Menashe menunjukkan dokumen lain yang menunjukkan tercapainya kesepakatan dengan Menteri Pertahanan junta militer, Jenderal Mya Tun Oo. Dokumen itu menyebut bahwa militer Myanmar akan membayar perusahaan jasa lobby tersebut sebesar US $ 2 juta (Rp 28 miliar).

Mya Tun Oo dan jenderal lainnya sedang dikenakan sanksi oleh Departemen Keuangan AS dan pemerintah Kanada, sehingga pernyataan dalam dokumen tertulis pembayaran akan dilakukan "jika diizinkan secara hukum".

Melanggar sanksi AS

Pengacara mengatakan kepada Reuters, Ben-Menashe bisa jadi melanggar sanksi yang sudah dijatuhkan AS terhadap para petinggi militer Myanmar.

“Sejauh dia memberikan layanan kepada pihak-pihak yang terkena sanksi dari Amerika Serikat tanpa izin, itu bisa jadi pelanggaran hukum AS,” kata Peter Kucik, mantan penasihat senior terkait sanksi AS di Departemen Keuangan AS.

Ben-Menashe mengatakan kepada Reuters bahwa dia telah menerima anjuran hukum bahwa dia akan membutuhkan lisensi dari Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC) Departemen Keuangan dan pemerintah Kanada untuk menerima pembayaran tersebut, tetapi dia tidak akan melanggar hukum dengan melobi junta.

"Ada masalah teknis di sini, tetapi kami akan menyerahkannya kepada pengacara dan OFAC untuk menanganinya," katanya, seraya menambahkan bahwa pengacaranya telah menghubungi pejabat Departemen Keuangan.

Dewan Keamanan PBB gagal menyepakati pernyataan

Sementara itu pada Selasa (09/03), Dewan Keamanan (DK) PBB gagal menyepakati pernyataan terkait rencana mengutuk kudeta militer di Myanmar, menyerukan pengekangan tindakan brutal oleh militer dan mengancam akan mempertimbangkan "tindakan lebih lanjut," . Meskipun para diplomat mengatakan pembicaraan kemungkinan akan dilanjutkan.

Menurut para diplomat, selama upaya awal untuk menyelesaikan teks tersebut, Cina, Rusia, India dan Vietnam menyarankan amandemen untuk draf yang disusun Inggris, termasuk penghapusan rujukan pada kudeta dan ancaman untuk mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.

DK PBB mengeluarkan pernyataan bulan lalu yang menyuarakan kekhawatiran atas keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan semua politisi dan demonstran yang ditahan, tetapi gagal mengutuk kudeta karena adanya tentangan dari Rusia dan Cina.

Seorang penyelidik hak asasi manusia independen PBB di Myanmar dan Pengawas Hak Asasi Manusia yang berbasis di New York telah meminta DK PBB untuk memberlakukan embargo senjata global dan memberikan sanksi ekonomi kepada junta.

Tetapi para diplomat mengatakan, sanksi tidak mungkin dipertimbangkan dalam waktu dekat, karena tindakan seperti itu mungkin akan ditentang oleh Cina dan Rusia yang memiliki hak veto. Tiga negara lain yang juga memiliki hak veto di DK PBB adalah Amerika Serikat, Prancis dan Inggris.

Sejak kudeta militer pada 1 Februari, lebih dari 60 pengunjuk rasa meninggal dunia akibat aksi kekerasan aparat dan 1.900 demonstran ditangkap.

pkp/as (reuters, AFP)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement