Selasa 16 Feb 2021 11:40 WIB

Aktivis Myanmar: Kami Ogah Hidup di Bawah Diktator Militer

Militer Myanmar mengerahkan kendaraan lapis baja dan tentara.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
 Demonstran berkumpul di dekat jalan di mana tentara dan kendaraan lapis baja dikerahkan selama protes di luar Bank Sentral Myanmar (CBM) di Yangon, Myanmar, 15 Februari 2021.
Foto: EPA-EFE/LYNN BO BO
Demonstran berkumpul di dekat jalan di mana tentara dan kendaraan lapis baja dikerahkan selama protes di luar Bank Sentral Myanmar (CBM) di Yangon, Myanmar, 15 Februari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para pengunjuk rasa di Myanmar terus menuntut untuk pembebasan pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi dan diakhirinya pemerintahan militer, Senin (15/2). Mereka tetap turun ke jalan meskipun pemerintah telah mengerahkan kendaraan lapis baja dan lebih banyak tentara di jalan-jalan.

"Ini adalah pertarungan untuk masa depan kita, masa depan negara kita. Kami tidak ingin hidup di bawah kediktatoran militer. Kami ingin membangun persatuan federal yang nyata di mana semua warga negara, semua etnis diperlakukan sama," kata aktivis pemuda Esther Ze Naw pada sebuah protes di kota utama Yangon.

Baca Juga

Massa unjuk rasa terlihat lebih sedikit, meskipun tidak jelas apakah orang-orang diintimidasi oleh tentara atau kelelahan terjadi setelah 12 hari demonstrasi. "Kami tidak dapat mengikuti protes setiap hari. Tapi kami tidak akan mundur," ujar salah seorang warga di Yangon.

Kendaraan lapis baja dikerahkan pada akhir pekan di Yangon, kota utara Myitkyina dan Sittwe di barat. Ini menjadi penggunaan armada keamanan skala besar pertama dari kendaraan semacam itu sejak kudeta.

Lebih banyak tentara juga terlihat di jalan-jalan untuk membantu polisi, termasuk anggota Divisi Infanteri Cahaya ke-77. Pasukan ini dituduh melakukan kebrutalan dalam kampanye melawan pemberontak dan protes etnis minoritas di masa lalu.

Kerusuhan telah menghidupkan kembali ingatan akan pecahnya pertentangan berdarah terhadap hampir setengah abad pemerintahan militer yang berakhir pada 2011. Ketika itu militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil.

"Orang-orang senang memiliki patroli keamanan dan pasukan keamanan akan melakukannya siang dan malam," kata tim informasi angkatan darat True News melaporkan pengerahan militer.

Tentara telah melakukan penangkapan setiap malam dan telah memberikan kekuasaan untuk pencarian dan penahanan.  Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik melaporkan, sedikitnya 400 orang telah ditahan.

Polisi telah beberapa kali melepaskan tembakan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Seorang wanita yang terkena tembakan polisi di ibu kota Naypyitaw pekan lalu diperkirakan tidak akan selamat. Sedangkan dua orang terluka ringan pada Senin ketika polisi di kota Mandalay menggunakan peluru karet dan ketapel untuk membubarkan protes.

Pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, mengatakan pada Senin, bahwa pihak berwenang berusaha untuk menjalankan keamanan dengan damai. "Tindakan efektif akan diambil terhadap orang-orang yang merugikan negara, melakukan pengkhianatan melalui kekerasan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement