PKS Tetap Ngotot Dorong Revisi UU Pemilu

PKS beragumen tragedi KPPS gugur saat Pemilu 2019 harus dipertimbangkan.

Kamis , 11 Feb 2021, 15:09 WIB
Mardani Ali Sera dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Pilkada Serentak: Hidupkan Semangat Kebangsaan di Masa Pandemi” di Media Center MPR/DPR RI, Lobi Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Senin (24/8).
Foto: MPR
Mardani Ali Sera dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Pilkada Serentak: Hidupkan Semangat Kebangsaan di Masa Pandemi” di Media Center MPR/DPR RI, Lobi Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Senin (24/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menegaskan pihaknya tetap mendorong agar revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dilanjutkan. Meskipun, saat ini, tersisa PKS dan Fraksi Demokrat yang masih ingin revisi UU Pemilu untuk memisahkan pilkada dengan Pilpres 2024.

Tujuh fraksi lain menolak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Enam fraksi merupakan partai koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, sedangkan satunya Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).

"Partai Keadilan Sejahtera tegas lanjutkan revisi UU Pemilu, kita kawal untuk Indonesia yang lebih maju dengan demokrasi yang sehat," ujar Mardani dalam diskusi publik secara daring, Kamis (11/2).

Ia menuturkan, RUU Pemilu yang menggabungkan rezim pemilu (pemilihan legislatif dan pemilihan presiden) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menjalani proses harmonisasi. Semestinya, setelah selesai di Baleg, RUU Pemilu itu kemudian dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR lalu dibahas di panitia khusus (pansus) hingga ketok palu.

Namun, kata Mardani, tiba-tiba keluar pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaksanakan ketentuan dalam UU yang belum dilaksanakan. Khususnya, Pasal 201 ayat 8 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur pilkada serentak digelar November 2024.

"Memang elegan pernyatannya, sebaiknya undang-undang yang belum dilaksanakan, dilaksanakan lebih dahulu. Maksudnya adalah Pasal 201 ayat 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu," kata Mardani.

Ia mengaku, partainya tetap mengupayakan agar UU Pemilu tetap direvisi. Argumentasinya, karena secara fundamental demokrasi di Indonesia sedang sakit, karena demokrasi dijalankan sekadar prosedural bukan substansial.

Mardani mengatakan, hal itu terlihat dari biaya penyelenggaraan cukup besar, merit sistem belum diterapkan, biaya kandidasi mahal, dinasti politik tinggi, serta politik uang tetap hidup. Di saat yang sama, kualitas pemerintahan rendah, tergambar dari pendapatan asli daerah (PAD) rendah dibandingkan angka anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Selain itu, lanjut Mardani, pengalaman buruk penyelenggaraan teknis dalam Pemilu 2019 harus dibenahi. Dalam melaksanakan lima pemilihan sekaligus itu, ratusan petugas penyelenggara pemilu ad hoc kehilangan nyawanya karena diduga kelelahan, sehingga ini harus dicegah agar tidak terjadi lagi.

Apalagi, jika pilkada serentak dilaksanakan berbarengan dengan Pemilu 2024, maka ada tujuh pemilihan di tahun yang sama. Ada tahapan-tahapan yang akan saling beririsan antara pilkada dan pemilu. Sehingga menambah beban penyelenggara pemilu.

Mardani melanjutkan, belum lagi perdebatan akan hanya didominasi pemilihan presiden dan wakil presiden, seperti Pemilu 2019 lalu. Padahal, ada enam pemilihan lainnya yang juga harus diketahui masyarakat dan adu gagasan calon legislatif (caleg) DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, serta bupati/wali kota, yang juga harus dikritik publik.

"Kemarin di 2019 saja di Indonesia cuma sekadar Jokowi sama Prabowo, tidak ada diskursus partai politik, tidak ada paparan caleg, tidak ada DPD apalagi, tidak ada DPRD kurang," kata Mardani.