Sabtu 30 Jan 2021 10:30 WIB

Kewajiban Hijrah dari Tempat Maksiat Setelah Taubat

Setelah taubat diwajibkan untuk hijrah dari tempat maksiat.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Kewajiban Hijrah dari Tempat Maksiat Setelah Taubat. Foto: Bertaubat. Ilustrasi
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kewajiban Hijrah dari Tempat Maksiat Setelah Taubat. Foto: Bertaubat. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Seseorang yang sudah taubat dari dosa diwajibkan untuk hijrah dari tempat maksiat demi mempertahankan keimanannya. Karena ketika sebuah tempatnya tidak mendukung untuk mengamalkan agama secara sempurna, maka hijrah menjadi sebuah kewajiban.

Isnan Ansory, Lc., M.Ag melalui bukunya "Hijrah Dalam Perspektif Fiqih Islam" mengatakan, hijrah dari tempat maksiat merupakan hijrah jenis ketiga secara fisik adalah hijrahnya seorang muslim yang bertaubat dari dosa-dosanya dari wilayah yang berpotensi akan mengganggu perjalanan taubatnya.

Baca Juga

"Sebagaimana jenis hijrah kedua yakni hijrah dari wilayah kafir , hijrah jenis ini juga tetap berlaku hingga tertutupnya pintu taubat saat matahari terbit dari arah barat sebagai salah satu tanda di antara tanda-tanda hari kiamat," katanya.

Dari Mu'awiyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah hijrah terputus hingga taubat terputus, dan tidaklah taubat terputus hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Bentuk hijrah inilah yang juga diceritakan oleh Rasulullah tentang seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang manusia, dan Allah menerima taubatnya di penghujung hayatnya dalam perjalanan hijrahnya dari negri yang penuh dengan kemaksiatan menuju negri yang penuh dengan ketaatan.

Dari Abu Sa'id al-Khudri: Nabi SAW bercerita bahwasanya ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang,  lalu ia bertanya apakah masih ada pintu  taubat untuknya?. Kemudian ia  menemui seorang rahib dan bertanya  kepadanya. Dia menjawab: 'Tidak ada  pintu taubat untukmu.' Lalu ia  membunuh rahib tersebut. Kemudian ia terus bertanya, hingga keluar dari  desanya menuju desa yang lain yang di dalamnya terdapat orang-orang shalih.  Namun ketika di tengah perjalanan,  ajal  menjemputnya. Ia pun meninggal  dalam keadaan telungkup. Lalu Malaikat  rahmat dan Malaikat azab saling berebut, setelah diukur jarak  perjalanannya ternyata ia lebih dekat  sejengkal dengan desa yang baik  maka  ia pun digolongkan sebagai penghuni desa tersebut. (HR.  Muslim).

Isnan menuturkan secara bahasa, kata  hijrah berasal dari bahasa Arab, "haajaro  yuhaajiru muhajarotan wa hijrotan". Di  mana kata ini berasal dari akar kata  "hajaro yahjuru hajron" yang bermakana  meninggalkan (attarku), berpaling (al-i’rodh), memutus (al-qoth’u) dan menahan (al-man’u).

Sedangkan makna hijrah itu sendiri  yang berasal dari kata haajaro, bermakna  "mufaroqoh" atau meninggalkan suatu  tempat menuju tempat yang yang lain.  Dan orang yang melakukan hijrah disebut dengan muhaajir. Tentunya,  secara bahasa, makna hijrah tidaklah berkonotasi secara khusus untuk hal  yang bersifat positif ataupun negatif.  

"Namun istilah hijrah secara bahasa  dapat berpotensi untuk kedua-duannya " katanya.

Di mana seseorang yang berpindah meninggalkan suatu tempat yang baik  menuju tempat yang buruk, juga bisa  disebut hijrah, demikian pula sebaliknya. Selain itu, secara isti’aroh, istilah hijrah  yang bersifat fisik, digunakan juga untuk hal-hal yang bersifat non fisik. Seperti  hijrah yang dimaknai

Berpindahnya seseorang dari meninggalkan sifat yang buruk menuju sifat yang baik. Pengertian Hijrah Secara Terminologis Sedangkan jika istilah hijrah dimaknai secara terminologis, khususnya dalam terminologi Islam (makna syar’i), maka ia bermakna meninggalkan sesuatu atas dasar untuk melakukan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Fayumi (w. 770 H) menulis dalam kamusnya, al-Mishbah al-Munir fi Ghorib asy-Syarh al-Kabir.

Hijrah dengan mengkasrohkan huruf ha’ adalah meninggalkan suatu negri menuju negeri yang lain. Di mana jika hal itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka hijrah ini disebut dengan hijrah syar’iyyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement