Kamis 28 Jan 2021 21:58 WIB

Santri Darul A'shom Hafal Alquran dengan Bahasa Isyarat

Santri Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom Sleman menghafal Alquran

Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Nashih Nashrullah
Santri Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom Sleman menghafal Alquran. Membaca Alquran. Ilustrasi
Foto: Abdan Syakura/Republika
Santri Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom Sleman menghafal Alquran. Membaca Alquran. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Memiliki gangguan pendengaran (difabel rungu) tidak menjadi hambatan untuk menjadi hafiz Alquran bagi santri dan santriwati di Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Depok, Sleman, Yogyakarta. Metode utama yang dipakai dalam pembelajaran di pesantren ini menggunakan bahasa isyarat. 

Hingga saat ini, ada 47 hafiz Alquran di pesantren yang awalnya berlokasi di Srandakan, Bantul itu. Sebanyak 47 hafiz Alquran ini terdiri dari 10 santriwati dan 37 santriwan.  

Baca Juga

"Mereka dari berbagai daerah di Indonesia. Ada dari Medan, Bali, Kalimantan, Yogya, Jateng dan ada dua santri dari Malaysia. Tapi, karena kendala perizinan jadi kami tunda dulu untuk penerimaan," kata Kepala Yayasan Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom, Bayu Pamungkas, kepada Republika.co.id melalui sambungan telepon, Kamis (28/1).

Bayu mengatakan, metode pembelajaran di pesantren ini dikembangkan oleh Ustadz Abu Kahfi, yang saat ini merupakan pimpinan pondok pesantren tersebut. Dulunya, Ustadz Abu Kahfi ini mengembangkan majelis difabel rungu khusus untuk usia dewasa di Bandung. 

Di Bandung, kata Bayu, terbukti masih banyak difabel rungu yang tidak paham ajaran agama Islam. Namun, suatu hari saat menunaikan ibadah umrah di Makkah, dia mempelajari konsep pembelajaran difabel rungu di salah satu pusat tahfiz Alquran khusus difabel rungu di Makkah.

Usai menunaikan ibadah umrah, dia tergerak untuk mengembangkan Pondok Pesantren Tunarungu Darul A'shom. Pondok pesantren ini sudah berdiri sejak 19 September 2019 lalu.

Namun, santriwan dan santriwati di pesantren ini tidak hanya usia dewasa, namun juga berasal dari usia tujuh tahun sampai 28 tahun. Alasannya santriwan dan santriwati dengan kebutuhan khusus ini dibekali dengan ilmu agama sejak dini agar paham dengan syariat Islam. 

"Dimulai dari usia dini insya Allah mereka paham syariat Islam dan pengetahuan agama yang lebih sejak kecil," ujarnya. 

Melalui bahasa isyarat, Bayu menjelaskan, huruf hijaiyah diisyaratkan huruf demi huruf untuk membantu santriwan dan santriwati menghafal Alquran. Walaupun begitu, juga diarahkan metode verbal bagi santriwan santriwati yang dapat berkomunikasi.   

"Agar tidak hanya menggunakan metode isyarat, untuk anak-anak yang pendengarannya masih bisa (berfungsi baik) dan memiliki vokal yang masih cukup bagus kita arahkan juga metode komunikasi verbal," jelasnya.

Sementara itu, pembelajaran nonformal juga diajarkan kepada santriwan dan santriwati di pondok pesantren khusus difabel rungu pertama di Indonesia itu. Pihaknya bersinergi dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). 

"Nanti kalau ada ujian nasional, kami ikutkan dan untuk ijazahnya kejar paket. Jadi, selain program tahfiz sebagai program utama di pondok, kami juga membekali untuk pendidikan non formalnya," kata Bayu.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement