Sabtu 16 Jan 2021 05:39 WIB

Semangat Jihad dan Infaq, Tafsir Al-Baqarah Ayat 243-245

Membangkitkan Semangat Jihad dan Infaq di Jalan Allah, Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 2

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Membangkitkan Semangat Jihad dan Infaq di Jalan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 243-245 | Suara Muhammadiyah
Membangkitkan Semangat Jihad dan Infaq di Jalan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 243-245 | Suara Muhammadiyah

SUARA MUHAMMADIYAH -- Membangkitkan Semangat Jihad dan Infaq di Jalan Allah; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 243-245

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ ٢٤٣ وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٤٤  مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ٢٤٥

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu”. Kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur 243.

Berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui 244.  

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (me-nafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya kamu dikembalikan 245.

Ketika dicermati secara mendalam, terdapat tiga keterkaitan pemikiran antara ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya. Pertama, makna kata “memberi pinjaman kepada Allah” dalam frasa yuqridlullaha qardlan hasanan (يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضًا حَسَنًا). Terkait dengan hal ini, bagian ini juga mencari makna “wasiat suami untuk memberikan sebagian hartanya kepada janda yang ditinggalkan, atau memberikan mut’ah (sebagai hiburan) kepada istri yang dicerai” sebagaimana telah diperintahkan dalam ayat 241 yang telah dibahas sebelumnya. Memberikan sebagian harta kepada janda yang ditinggalkan atau mut’ah kepada istri yang dicerai dapat berupa infaq, sedekah, atau pun hibah. Jika hal itu dilakukan dengan keikhlasan, Allah akan melipatgandakan perolehan sebagaimana telah dinyatakan pada ayat 245.

Kedua, manusia tidak diperkenankan lari dari tanggung jawab ketika harus memberikan sebagian harta kepada janda yang ditinggalkan atau memberi mut’ah kepada istri yang diceraikan. Hal itu merupakan sebuah perjuangan dan bukan sebagai musibah dalam rumah tangga. Oleh karena itu, hal-hal yang terkait dengan aturan-aturan tersebut seharusnya tidak membuat manusia lari dari tanggungjawab sebagaimana larinya orang-orang dari medan perang seperti yang telah disebutkan dalam ayat 243 tersebut.

Ketiga, materi pembahasan ayat-ayat sebelumnya berisikan pengaturan kehidupan pribadi dan rumah tangga, sementara itu, materi kajian pada ayat yang sedang dibahas ini memaparkan arti pentingnya melestarikan kehidupan bangsa. Berperang atau berjuang merupakan salah satu mekanisme untuk melangsungkan kehidupan berbangsa tersebut. Mati nyali atau patah semangat untuk berjuang merupakan sesuatu hal yang tercela.

Ayat 243 ini memberikan gambaran bahwa kita harus mau memahami dan merenungkan kejadian yang telah terjadi sebagai pelajaran untuk kehidupan kini. Hal ini terungkap dalam kata alam tara (أَلَمْ تَرَ) yang berarti “apakah kamu tidak memperhatikan”. Peristiwa yang dikisahkan dalam ayat 243 ini merupakan tamsil atau perumpamaan. Para mufasir berbeda tafsirannya dalam menjelaskan apakah peristiwa yang dikisahkan itu terjadi secara nyata atau tidak.

Sayyid Quthub dalam kitab Fi Zhilal al-Qur`an menyatakan bahwa yang terpenting dalam ayat tersebut adalah substansi pelajaran yang dapat diperoleh, bukan peristiwanya, bukan pula tempat dan kapan waktunya (Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Syuruq, Cet.ke-15, tahun 1408 H/1988 M), Jilid I, juz 1-4, hlm. 264.). Sementara itu, Muhammad Abduh lebih tegas lagi menyatakan bahwa ceritera dimaksud bukanlah ceritera dalam arti sesungguhnya (la qishshatan waqi’atan) (Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur`an al-Karim al-Syahir bi Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikri, Cet. ke-1, tahun 1427 H/2007 M), Juz 2, hlm. 316.).

Kemudian al-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, dan Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa istifham dalam ayat tersebut merupakan istifham litta’ajjub wal ibrah atau wal i’tibar (pertanyaan dalam arti keheranan sembari memberi pelajaran (i’tibar). Kemudian i’tibar yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah bahwa berperang mempertahankan diri dari serangan musuh merupakan kewajiban.

Oleh karena itu, kita dilarang untuk lari meninggalkan kewajiban itu karena takut mati. Hal ini disebabkan karena biar bagaimanapun manusia akan mati, apakah dengan berperang atau dengan cara lain. Kata mutu tsumma ahyahum (مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ) yang artinya  “”Matilah kamu”. Kemudian Allah menghidupkan mereka”, dalam ayat ini memberi penegasan tentang pemaknaan bahwa kematian dan kehidupan itu hak milik Allah, sehingga kita harus tetap bersemangat dalam berjuang menghadapi kehidupan. Dengan demikian, kematian bukan merupakan penghalang untuk menunaikan kewajiban untuk berperang mempertahankan diri dari serangan musuh.

Ayat 243 ini juga merupakan sindiran atas orang yang menjadi pengecut dengan lari dari tanggungjawab kehidupannya sebelum berani menghadapinya. Hal ini tercermin dari bunyi ayat alladzina kharaju min diyarihim wa hum ulafun hadzaral maut (الَّذِينَ خَرَجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ) yang artinya “orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati”. Kemudian ayat ini juga memberi pelajaran bahwa kita hidup harus dijiwai oleh sebuah spirit atau semangat untuk maju, yakni jiwa yang hidup. Sebuah ironi apabila sebuah bangsa dengan jumlah penduduk yang besar (ulufun, أُلُوفٌ) namun jiwanya mati sehingga akan dengan mudah dikuasai bangsa lain.

Sebuah contoh riil dari makna ayat di atas adalah penjelasan Hamka dalam Tafsir al-Azhar mengenai pengalaman empirik perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan merujuk kepada Hamka, jatuhnya kerajaan Belanda di Indonesia dan masuknya tentara Jepang dengan mudah, serta kebangkitan bangsa Indonesia untuk mengusir penjajahan Jepang, merupakan pelajaran penting bagi bangsa Indonesia. Ketika Jepang berhasil menguasai Singapura, ribuan tentara dan orang Belanda, demikian juga sebagian besar rakyat Indonesia, keluar berbondong-bondong meninggalkan rumah dan kampung halaman karena takut mati, bukan untuk melawan Jepang.

Akhirnya dengan tidak mengalami perlawanan yang berarti, Jepang masuk Indonesia dengan mudah. Bangsa Indonesia yang selama 350 tahun telah mati semangat hidupnya akibat penjajahan Belanda, karena karunia Allah kemudian bangkit baik secara perseorangan maupun kelompok untuk mengusir penjajahan Jepang. Dengan semangat yang tinggi, akhirnya Jepang harus mengakhiri penjajahannya di Indonesia, dan Indonesia pun menjadi negara yang merdeka (Hamka, Tafsir al-Azhar, Cet. ke-5, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD., 2003), Jilid I, hlm. 584-585.).

Kemudian pada ayat 244 Allah memerintahkan kepada manusia untuk berperang di jalan Allah. Ayat ini menegaskan sebuah kewajiban untuk menjalani kehidupan di dunia baik secara individu ataupun berbangsa harus didasarkan pada sebuah semangat untuk mengabdi kepada Allah, bukan untuk motivasi yang lain. Hal ini disebabkan karena motivasi apapun yang kita jadikan dasar berjuang akan diketahui oleh Allah. Hal ini terungkap pada penghujung ayat ini, yakni wa’lamu annallaha sami’un ‘alim (وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) yang berarti “ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Terkait dengan hal ini, Abu Musa al-Asy-’ariy, seperti dinukil oleh Muslim telah menceriterakan hal ini kepada Rasulullah saw sebagai berikut (Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, bab man qatala li takuna kalimatullah hiyal ‘ulya, fa huwa fi sabilillah, hlm. 499, hadis no. 150 (1904).),

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ».

Dari Abu Musa al-Asy’ariy dia berkata, bahwasanya pernah Rasulullah saw ditanya oleh seseorang (sahabat) perihal orang yang berperang karena keberaniannya (berperang supaya dikatakan pemberani), berperang karena membela keluarga (kesukuan), dan berperang karena riya` (ingin dipuji orang), yang mana di antara semua itu yang termasuk kategori berperang dalam jalan Allah? Rasul menjawab,”Siapa saja yang berperang untuk meninggikan agama Allah yang luhur, itulah yang termasuk berjuang di jalan Allah!”(H.R. Muslim)

Selanjutnya di dalam Q.S. al-Shaf (61): 10-11, ditegaskan bahwa berjuang atau berjihad di jalan Allah bagaikan sebuah perniagaan yang dapat menyelamatkan dari azab dan siksa neraka. Ayat tersebut berbunyi,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ١٠ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ١١

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu menge-tahui.

Ayat ini menegaskan bahwa orang yang berjuang di jalan Allah akan mendapatkan kedudukan dan posisi yang tinggi, diampuni dosa-dosanya, dan akan mendapat balasan surga. Sebaliknya, Allah mengancam kepada umat-Nya yang tidak mau berjuang di jalan Allah dengan disiksa neraka. Selanjutnya Allah akan mengganti mereka dengan suatu generasi yang lain dari generasi pendahulunya (Q.S. al-Taubah [9]: 39).

Ayat 244 surah al-Baqarah ini secara tersurat memerintahkan umat untuk berperang di jalan Allah, namun untuk era sekarang ini harus ada pemaknaan ulang terkait istilah “berperang atau berjuang” tersebut. Pada awal pertumbuhan Islam perang merupakan salah satu cara untuk membela diri, menjamin kelancaran dakwah, dan memelihara umat Islam supaya tidak dihancurkan musuh. Namun, di era sekarang ini perang harus dimaknai sebagai sebuah usaha untuk mempertahankan diri dan mengembangkan dakwah dengan cara yang kontekstual, seperti memajukan kesejahteraan, memajukan pendidikan, dan memajukan spiritualialitas dan moralitas umat Islam. Meskipun dalam konteks yang lain yang lebih khusus, berperang dengan senjata masih dibutuhkan. Kesemuanya itu dilakukan dengan harta dan jiwa.

Kemudian, substansi berperang atau berjihad adalah kerelaan diri untuk mengorbankan sesuatu yang dimilikinya walau sesuatu itu merupakan hal yang sangat dicintainya. Apa yang dikorbankan untuk Allah itu digambarkan sebagai sesuatu yang telah dibeli oleh Allah, dan digantinya dengan surga sebagaimana disebutkan dalam surah al-Taubah (9): 111,

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

Ketika Allah menjelaskan bahwa berjihad di jalan Allah dengan istilah meminjamkan, Allah akan mengembalikannya dengan jumlah yang berlipat ganda. Perlipatan sebagaimana diisyaratkan Q.S. al-Baqarah (2): 261 tersebut mencapai 700 kali lipat. Ketika Allah menyebut pengorbanan di jalan Allah dengan istilah pembelian, maka Allah akan membelinya dengan nilai tukar surga.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berjuang untuk mempertahankan kehidupan bangsa yang dilandasi dengan niat yang ikhlas merupakan kategori jihad fi sabilillah. Kemudian, berjuang di jalan Allah, termasuk berperang, tidak harus terkendala dengan musibah yang mendera kehidupan keluarga atau rumah tangga. Selanjutnya mengeluarkan atau mengorbankan apa yang dimiliki, seperti harta dan atau jiwa untuk mempertahankan atau meluhurkan agama Allah, termasuk kategori jihad fi sabilillah. Bagi orang beriman yang menginfakkan sebagian harta yang dimilikinya untuk kemaslahatan umum, termasuk untuk meninggikan serta meluhurkan agama Islam, dijanjikan oleh Allah perolehan yang berlipat ganda dan akan digantinya dengan surga. Kemudian Allah tidak akan melihat nominal harta yang dikorbankan dalam jalan Allah, tetapi Allah akan melihat ketulusan niatnya dan perbuatannya.

Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof. Dr. HM. Dailamy, SP

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement