Ahad 10 Jan 2021 06:03 WIB

Sunan Giri, Sunan Bonang, Hingga Hamzah Fansuri

Haji: Dari Sunan Giri, Sunan Bonang, Hingga Hamzah Fansuri

Jamaah haji Indonesia di tanah suci tempo dulu.
Foto: gahetna.cl
Jamaah haji Indonesia di tanah suci tempo dulu.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Prof DR Abdul Hadi, Penyair Sufi dan Guru Besar Falsafah Islam Universutas Paramadina*.

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh mereka yang mampu secara finansial.  Oleh karena itu tidak dapat dielakkan bahwa ibadah haji merupakan yang penting dalam kehidupan beragama orang-orang Islam. Terutama bagi yang telah menjalani, ibadah haji memberikan pengalaman religius dan spiritual yang tak terlupakan.

Suatu pengalaman indah yang tidak diperoleh dari ibadah-ibadah wajib yang lain. Tak heran jika banyak buku ditulis tentang mengalaman naik haji. Dalam sastra Indonesia misalnya ada dua buku yang masyhur yaitu Di Bawah Lindungan Ka`bah karangan Hamka dan Orang Jawa Naik Haji karangan Danarto.

Buku yang masyhur tentang haji pada abad ke-20 ialah Haji karangan sosiolog terkemuka Ali Syariati. Dalam bukunya itu dipaparkan bahwa naik haji bukan merupakan pengalaman yang indah, tetapi penuh dengan makna baik religius maupun spiritual maupun makna sosologis.

Begitulah dari abad ke abad, banyak sekali pemaparan tentang indahnya pengalaman menunaikan ibadah haji. Kritikus sastra Arab abad ke-12 M, bdul Qahir al-Jurjani dalam kitabnya Asrar al-Balaghah mengutip sajak penyair abad ke11 M al-Mufarriq.

Keindahan pemandangan kota Mekkah pada musim haji dilukiskan dalam sebaris kata-kata yang elok: “Lembah-lembah dibanjiri/ punggung-punggung unta.”  

Memang pada masa itu kendaraan utama yang digunakan orang untuk naik haji ialah unta dan kapal laut. Misalnya seperti dilukiskan dalam Sejarah Melayu pada abad ke-15 dan 16 M.

Dalam kitab tersebut dipaparkan dua orang pemuka agama dari tanah Jawa yang singgah di pelabuhan Malaka dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Dua pemuka agama itu adalah Sunan Giri dan Sunan Bonang. Dari Malaka mereka melanjutkan pelayaran ke Samudra Pasai. Di Samudra Pasai mereka tinggal lama dan memanfaatkan masa singgahmua untuk memperdalam ajaran agama pada guru-guru terkemuka.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement