Kamis 28 Jan 2021 20:40 WIB

Bolehkah Jual Tanah Wakaf untuk Kembangkan Ekonomi Pontren?

Bagaimana hukum menjual tanah wakaf untuk pengembangan ekonomi pesantren?

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Wakaf: Menjual Tanah Wakaf
Wakaf: Menjual Tanah Wakaf

SUARA MUHAMMADIYAH -- Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya sudah membaca terkait fatwa Tarjih tentang kebolehan menjual tanah wakaf untuk kebutuhan yang sangat penting, yaitu dalam SM No. 12 tahun ke-84/1999. Yang akan saya tanyakan, apakah boleh digunakan untuk pengembangan pondok pesantren misalnya menjual tanah wakaf yang kurang strategis untuk membangun pengembangan ekonomi pondok, karena selama ini kami memiliki tanah wakaf tetapi kurang bermanfaat; 1) lokasi yang kurang strategis di tengah kampung; 2) dana kami sangat terbatas untuk membangun pengembangan di tanah wakaf tersebut.

Diens Saprudin (Disidangkan pada Jum‘at, 5 Safar 1441 H / 4 Oktober 2019 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wr. wb.

Terima kasih atas kepercayaan saudara kepada kami untuk menjawab pertanyaan yang telah saudara ajukan. Wakaf dari segi bahasa berasal dari kata  وَقَفَ – يَقِفُ – وَقْفًا yang berarti menahan. Dalam Fatwa Tarjih pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 18 Tahun 2008 yang membahas tanah wakaf yang terlantar, disebutkan bahwa wakaf memiliki arti perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menahan harta miliknya dari lalu lintas muamalat dan menyerahkan manfaatnya untuk kepentingan umat atau anggota masyarakat dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Sejalan dengan pengertian tersebut, dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diterangkan bahwa Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Wakaf merupakan salah satu bentuk infak atau membelanjakan harta yang dituntunkan dalam ajaran agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surah Ali-Imran (03): 92,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ.

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Wakaf disebut juga sebagai sedekah, sebagaimana terdapat di dalam hadis,

عَنْ أبَى هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.

Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan) bahwasannya Rasulullah saw bersabda, jika manusia meninggal dunia, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, anak saleh yang mendoakan orang tuanya [H.R. Muslim No. 1631].

Dalam hadis lain dikisahkan tentang Ibnu Umar r.a. yang mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, sebagai berikut,

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : أَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ أَصَابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ، أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوْهَبُ وَلَا يُوْرَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ، وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبِيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ .

Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan) bahwasannya Umar r.a. pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasihat mengenai tanah itu, seraya berkata, ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya? Nabi saw pun bersabda, jika engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya. Ibnu Umar berkata, maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, dan pokoknya itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, ibnu sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya [HR. al-Bukhari No. 2737].

Hadis ini menerangkan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Pada dasarnya benda wakaf harus diabadikan dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakif. Namun, apabila benda wakaf itu sudah rusak atau kurang bermanfaat bagi mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf) maka bolehlah benda wakaf itu dipergunakan untuk yang lebih banyak manfaatnya sesuai dengan tujuan wakaf.

Hal tersebut juga telah dijelaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid 1 Cetakan ke-3 Kitab Wakaf halaman 272 bahwa “di mana perlu, kalau barang wakaf itu sudah lapuk atau rusak bolehlah engkau pergunakan untuk lainnya yang serupa atau engkau jual dan engkau belikan barang lain untuk meneruskan wakafnya”. Penjualan tanah wakaf tersebut masih dimungkinkan sepanjang masih dapat melestarikan keberadaan tanah wakaf, misalnya dengan menukar tanah lain yang lebih memiliki nilai ekonomis atau dengan kata lain dengan melakukan tukar guling tanah wakaf itu. Untuk teknis penggantian tujuan wakaf ini dapat dirujuk pada UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Dalam Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, juga disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada peraturan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Hal ini dilakukan berdasarkan hadis Ibnu Umar r.a. yang telah disebutkan di atas, bahwa tanah wakaf tidak boleh dijual, dihadiahkan, dan diwariskan, sehingga dengan adanya tukar guling ini tanah sebagai pokok wakaf tidak berubah dan nilai wakafnya tidak berkurang. Tukar guling tanah wakaf dilakukan untuk mencari kemaslahatan sekaligus mempertahankan keberkahan tanah wakaf, karena dengan tukar guling tanah wakaf yang kurang bermanfaat lebih maslahat daripada tetap mempertahankannya.

Penggunaan tanah wakaf baru, bisa disesuaikan dengan kebutuhan pondok pesantren seperti pembangunan koperasi atau selainnya, sehingga tanah wakaf tersebut tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta dapat pula membantu perekonomian pondok pesantren. Namun, penggantian tujuan tanah wakaf ini hendaknya diberitahukan kepada pihak wakif jika masih hidup atau ahli warisnya jika wakif telah meninggal dunia. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati wakif serta menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman dari pihak wakif atau keluarganya.

Wallahu a‘lam bish-shawwab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 5 Tahun 2020

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement