Senin 14 Dec 2020 18:37 WIB

Forum Korban Jiwasraya Minta 7 Bank Ikut Bertanggung Jawab

Tujuh bank ini bertindak sebagai penjual produk saving plan Jiwasraya.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Nidia Zuraya
ilustrasi:asuransi jiwa - Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
ilustrasi:asuransi jiwa - Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Korban Jiwasraya meminta tujuh bank penjual produk saving plan Jiwasraya seperti BRI, BTN, Standard Chartered, Hana, QNB, ANZ, dan Victoria ikut bertanggung jawab. Nasabah Jiwasraya Amin mengatakan selama ini sorotan hanya mengarah kepada pemerintah, manajemen Jiwasraya, dan OJK. 

Padahal, kata Amin, bank penyalur juga memiliki andil lantaran menjadi pihak pertama yang berhubungan dengan nasabah saving plan. "Bank salah satu titik pertama, terutama nasabah saving plan masuk ke Jiwasraya, kan harus lewat bank biar bisa masuk ke produk saving plan," ujar Amin dalam acara dengar tanggapan nasabah atas skema restrukturisasi Jiwasraya ke IFG Life secara virtual pada Senin (14/12).

Baca Juga

Hal senada disampaikan nasabah lainnya, Kerman yang mengharapkan tanggung jawab dari bank penyalur. Pasalnya, kata Kerman, bank penyalur lah yang menawarkan produk saving plan Jiwasraya kepada para nasabah. 

"Kami sangat mengharapkan tanggung jawab bank karena bagaimana pun kami beli produk dari mereka dan kami ditawarkan bahwa produk ini produk asuransi dari BUMN sehat, bukan produk bermasalah dari perusahaan yang sakit," ucap Kerman.

Kerman menyesalkan sikap OJK yang memberikan izin terhadap produk Jiwasraya mengingat di saat yang sama kondisi keuangan Jiwasraya sudah bermasalah sejak 2004.

"Kalau sudah tahu perusahaan tidak sehat dan tetap dijual ke kita ya kita minta pertanggung jawaban moral untuk nasabah, karena produk ini dijual lewat bank," lanjut Kerman.

Nasabah lain, Weli, mengatakan bank tidak pernah mengakomodir para pemegang polis. Weli juga menyoroti dugaan mis-selling atau menjual suatu produk yang belum memenuhi persyaratan dan penjualan tersebut telah menjadi sumber utama kerugian konsumen yang dilakukan bank. Kata Weli, para korban awalnya ditawari produk deposito, namun kemudian justru dimasukan ke dalam produk asuransi. 

"Korban Jiwasraya mereka banyak pada waktu awal diiming-imingi deposito bukan asuransi, yang ditawarkan itu deposito bukan asuransi, dari deposito dimasukan ke polis asuransi. Selama ini bank minim sekali diakomodir pemegang polis, setiap kali kita tanya mereka selalu menunggu Jiwasraya," ucap Weli.

Nasabah yang lain, Oerianto, menilai dalam peraturan OJK dan undang-undang perasuransian telah mengatur dalam produk bancassurance, bank harus memastikan kondisi kesehatan perusahaan asuransi.

"Kalau menurut saya jelas-jelas mis selling karena jelas OJK sudah katakan sejak 2004 Jiwasraya JS sudah insolvensi. Ini jelas sudah diketahui dari awal, mis selling bukan hanya dari bank tapi dari OJK," kata Oerianto.

Nasabah lainnya, Rubby, menyebut bank penyalur masih mendapatkan fee dari Jiwasraya hingga Maret 2020. Hal tersebut berkebalikan dengan kondisi Jiwasraya maupun nasabah yang mengalami kesulitan. 

"Pada saat nasabah sudah gigit jari sejak Oktober 2018, bank penyalur masih dapat hak hingga Maret, jelas Jiwasraya merasa dirugikan, nasabah juga dirugikan, bank dengan enaknya menikmati keuntungan," ucap Rubby.

Nasabah asal Korea Selatan, Lee Kanghyun, meminta OJK, Jiwasraya, dan bank bekerja sama dalam mengembalikan dana nasabah. Lee membandingkan pengawasan ketat yang dilakukan OJK Korea Selatan (Korsel) dengan OJK Indonesia. 

Lee menyebut seluruh bank dan perusahaan asuransi di Korsel sangat diawasi ketat dan harus mengikuti peraturan OJK Korsel. Lee mengatakan kasus seperti yang terjadi pada Jiwasraya juga pernah terjadi di Korsel.

"Di Korea sudah kejadian beberapa kali hampir sama, tetapi OJK (Korsel) sudah memeriksa dan memberikan ketegasan kepada bank atau mungkin perusahaan asuransi secara hukum, akhirnya CEO bank atau CEO asuransi ditangkap dan uang yang dirugikan ke nasabah itu suruh dibayar oleh bank dan asuransi," ucap Lee.

Lee menyebut OJK melakukan tindakan yang salah dengan mengizinkan produk asuransi yang tidak sehat. OJK, kata Lee, juga lalai dalam melakukan pengawasan secara ketat hingga akhirnya terjadi persoalan pada produk Jiwasraya. 

"Tugas OJK memberikan kabar yang jelas dan rencana masa depan atas nama OJK itu tidak pernah, itu salah juga. OJK ngapain, suruh tujuh bank tanggung jawab itu ambil tindakan, tapi kenapa (OJK) diam," kata Lee.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement