Selasa 08 Dec 2020 06:30 WIB

Vaksin COVID-19, Adakah Efek Sampingnya?

Vaksin COVID-19 yang Mulai Disuntikkan Pekan Ini, Adakah Efek Sampingnya?

Red:

Pekan ini Inggris dijadwalkan akan melaksanakan vaksinasi COVID-19 kepada warganya. Namun, banyak pertanyaan seputar vaksin yang hingga kini belum terjawab.

Sementara di Australia sendiri, kegiatan vaksinasi virus corona tetap pada jadwal semula, yaitu bulan Maret mendatang.

Apalagi, situasi pandemi di Australia pekan lalu mencatat hanya satu kasus positif yang didapat dari penularan dalam masyarakat, yaitu seorang pekerja di salah satu hotel karantina di Sydney.

Namun situasi yang terjadi di belahan bumi utara sangat berbeda. Kebutuhan untuk melakukan vaksinasi secepat mungkin sangat besar.

Di Inggris, ketika pemerintah setempat mengumumkan persetujuan darurat untuk vaksin Pfizer-Biontech, tercatat 16.170 orang didiagnosis terinfeksi COVID-19.

Di AS pada Kamis pekan lalu, tercatat lebih dari 2.800 orang meninggal terkait dengan virus ini.

Bahkan di seluruh dunia ada 453.000 kasus COVID-19 yang dilaporkan pekan lalu dan 7.837 kematian pada hari Selasa saja.

Wajar bila negara-negara yang terdampak paling parah berharap ada vaksin secepat mungkin untuk membantu penurunan angka-angka tersebut.

Banyak pertanyaan terkait dengan vaksin virus corona, termasuk yang telah mendapat persetujuan di Inggris.

Pertanyaan paling umum adalah, "mengapa kita tidak bisa mendapatkan vaksin saat ini?"

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, ABC meminta penjelasan dari Direktur Pusat Penelitian & Pengawasan Imunisasi Nasional di Australia, Profesor Kristine Macartney.

"Kita harus realistis dan mengikuti prinsip bahwa vaksin akan diarahkan ke tempat yang paling membutuhkan," ujar Prof Kristine.

"Sebagai contoh, lihat AS dan Inggris, ada ribuan orang meninggal dan ratusan ribu lainnya terinfeksi setiap hari."

Menurutnya, sangat dimengerti bila warga Australia berharap agar vaksin segera diproduksi.

 

Ada 5.368 pertanyaan yang diterima ABC terkait dengan vaksin virus corona, berikut ini beberapa di antaranya:

Apakah kita akan diminta melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin yang dipilih oleh negara yang dikunjungi?

Para pakar menjelaskan bahwa pertanyaan ini "terlalu spekulatif".

Apakah melakukan vaksin berkali-kali akan lebih melindungi kita dari virus corona?

Jawabannya: "tidak diketahui, atau tidak dapat diketahui saat ini".

Apakah Anda memerlukan vaksin jika Anda sudah pernah tertular COVID?

"Kita tidak tahu berapa lama kekebalan tubuh seseorang bertahan setelah terjangkit COVID," kata direktur epidemiologi Doherty Institute Profesor Jodie McVernon.

"Kita tahu orang-orang yang pernah terinfeksi memberikan reaksi yang berbeda-beda," jelasnya.

Prof Jodie berkata, vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan perlindungan pada populasi.

"Jadi meski sudah pernah terjangkit COVID, hal itu seharusnya tidak menghalangi Anda melakukan vaksinasi," katanya.

Apakah orang yang sudah divaksinasi masih bisa menyebarkan virus?

"Ini pertanyaan mendasar terkait vaksin yang belum diketahui jawabannya," kata Prof Jodie yang pakar uji coba vaksin.

"Orang bicara tentang 'herd immunity' [atau kekebalan kawanan] tapi kita tidak tahu apakah vaksin ini akan menghentikan infeksi," katanya.

Menurut dia, yang diketahui dalam uji coba adalah seberapa efektif vaksin ini secara klinis. Diujikan dengan membandingkan orang yang diberi vaksin dan yang tidak.

"Secara umum vaksin memiliki dua cara untuk mencegah seseorang sakit. Yaitu, dengan mencegah terjadinya infeksi atau menjadikan seseorang terinfeksi demi mencegah penyakit yang lebih parah."

Prof Jodie menjelaskan, dalam uji coba vaksin Astra-Zeneca di Inggris, setiap minggu pesertanya dites usap untuk melihat apakah mereka terinfeksi.

Hasil ujicoba Astra-Zeneca sedang dikembangkan vaksinnya bersama Oxford University dan diharapkan bisa dirilis dalam dua minggu ke depan.

Pemerintah Australia telah berkomitmen untuk mendapatkan 33,8 juta dosis dari vaksin buatan Astra-Zeneca ini.

Apakah vaksin yang beredar di Australia akan berbeda-beda?

"Ini sangat mungkin," kata Prof Jodie.

"Tapi kita belum tahu vaksin mana yang paling cocok diberikan pada kelompok masyarakat tertentu."

Ia berkata, kemungkinan Australia akan memberikan beberapa vaksin yang berbeda kepada kelompok masyarakat yang berbeda.

"Mungkin di masyarakat beredar vaksin dari beberapa perusahaan," katanya.

Apakah ada efek samping jangka panjang?

Menurut Dr Sheena Sullivan, perwakilan Australia pada Pusat Kolaborasi WHO untuk Penelitian Influenza, efek sampingnya belum diketahui.

"Kita belum punya waktu cukup lama untuk mempelajari hal ini," kata Dr Sheena.

Ia berkata, belum ada yang bisa dipelajari secara memadai terkait efek jangka panjang yang berkaitan dengan penyakit ini.

Jika satu vaksin memiliki efektivitas 95 persen, apa yang terjadi dengan 'yang lima persen', yaitu mereka yang tidak berhasil menerima vaksin?

"Kita belum melihat datanya," ujar Dr Sheena yang bekerja di Doherty Institute.

Ia menjelaskan, ada banyak elemen di sini. Tapi ada dua aliran pemikiran. Yaitu, "semua atau tidak sama sekali", serta "tidak sama sekali".

Untuk kasus vaksin dengam efektivitas 95 persen, artinya akan ada 95 persen populasi yang terlindungi dan lima persen sisanya mungkin tidak.

Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab secara jelas di saat dunia mulai bersiap untuk melaksanakan program imunisasi terbesar yang pernah ada.

Tapi menurut Prof Kristine Macartney, yang juga penasihat WHO untuk pengawasan vaksin, prosesnya sejauh ini "sangat ketat".

Ia memastikan adanya upaya menyeluruh para pemikir ilmiah terbaik yang berusaha memastikan agar banyak orang yang divaksinasi pada tahun 2021.

Prof Kristine mengatakan, saat ini begitu banyak proses yang berjalan secara paralel di samping ada ratusan ribu orang yang bekerja untuk memastikan pedoman terbaik diikuti dalam pembuatan vaksin.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari laporan dalam Bahasa Inggrisnya yang bisa dibaca di ABC News.

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement