Rabu 25 Nov 2020 22:03 WIB

'Sudah Saatnya Sinergikan Pedagogi dengan Seni'

Sekolah negeri dan formal dapat juga menerapkan model belajar berbasis proyek seni.

Guru sekaligus seniman, Angga Wijaya
Foto: Dokumentasi pribadi
Guru sekaligus seniman, Angga Wijaya

Oleh Angga Wijaya *)

REPUBLIKA.CO.ID, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan pada tahun ini berinisiatif mendorong program Penguatan Karakter Siswa Mandiri Melalui Kreasi Seni (PRESISI). Tiga komunitas pendidikan yaitu Erudio Indonesia, Gudskul dan Sanggar Anak Akar dipercaya sebagai tim penyusun modul dan pelaksana program PRESISI. Untuk awal pelaksanaan ada tiga sekolah yang menyediakan diri sebagai model yaitu SMP Negeri 3 Gunung Sindur, SMA Marsudirini Muntilan, dan SMA Negeri 3 Klaten.

PRESISI bertujuan menyediakan pilihan model belajar melalui pembiasaan berpikir kritis-analitis dan melatih sikap menghadapi fenomena yang ada di sekitar siswa. PRESISI menawarkan pembelajaran kontekstual berbasis proyek, yang menempatkan siswa dan guru pada pengalaman berinteraksi langsung dengan situasi dan kondisi sosial dan lingkungan di sekitar.

Bersamaan dengan keterlibatan dalam pengalaman keseharian, siswa melakukan kajian dan secara kritis merefleksikan temuan perjumpaan dengan fenomena di sekitar. Pada penghujung proses, siswa mempresentasikan temuan dan hasil refleksi pengalamannya ke dalam suatu karya yang diekspresikan melalui media seni.

Proses PRESISI kurang lebih hampir sama dengan praktik seni berbasis proyek dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Khususnya di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, yang melakukan pendekatan sosial dan lingkungan sehari-hari sebagai praktik kesenian.

Biasanya, seniman atau kurator secara bersama-sama meneliti fenomena atau kondisi sosial tertentu yang kemudian diekspresikan melalui seni. Karena lingkup kerja praktik seni berbasis proyek meluas, tentu kurator dan seniman akan berhubungan dengan banyak orang, masyarakat dan komunitas tertentu sebagai bagian dari lingkup sosialnya.

Saya dilibatkan dalam proses pembuatan modul PRESISI ini sebagai narasumber, karena saya mengajar di Erudio Indonesia, sekolah seni setaraf Sekolah Menengah Atas (SMA) sekaligus juga sebagai kurator yang menerapkan praktik seni berbasis proyek yang bersinggungan dengan kerja komunitas, dinamika sosial dan masyarakatnya.

 

 
Posisi guru dan siswa ditempatkan dengan setara dalam melihat lingkungan sebagai sumber belajar.

 

 

Dalam diskusi pembuatan modul, PRESISI ingin menempatkan peran guru seperti kurator dan siswa seperti seniman. Posisi guru dan siswa ditempatkan dengan setara dalam melihat lingkungan di sekitarnya sebagai sumber belajar bersama.

Penempatan itu kurang lebih hampir sama dengan perkembangan seni rupa kontemporer, bahwa kurator bukan lagi sebagai pusat gagasan, dan seniman bukan lagi sebagai kreator yang otentik. Karena pada proses produksi artistiknya terjadi suatu demokratisasi bersama dengan masyarakat dan lingkup sosialnya. Dengan itu timbulah kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman.

Lingkungan sekitar yang menjadi sumber belajar di PRESISI membuka kemungkinan siswa untuk menggunakan kemampuan berbagai mata pelajaran yang ada di sekolah. Misalnya dalam persoalan pencemaran lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka, siswa dapat membaca secara kritis menggunakan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial sekaligus untuk mengetahui sebab-akibat yang berhubungan dengan dinamika sosial dan alamnya.

Sama halnya dengan praktik seni berbasis proyek yang dilakukan oleh seniman, seniman tidak hanya menggunakan pendekatan seni saja, namun juga perlu menggunakan lintas disiplin ilmu untuk membedah dinamika masalah yang ada. Sehingga bentuk presentasi yang dapat dihadirkan oleh siswa tidak terpaut pada media seni dan bentuk akhirnya saja, namun proses dalam menghimpun pengetahuannya juga menjadi penting sebagai materi presentasi.

Sama halnya dengan karya yang dihasilkan oleh seniman dalam praktik seni berbasis proyek, bahwa bentuk karya seni tidak terpaut pada objek formalnya saja namun juga hubungan relasi sosial dan ide-ide intelektual di belakangnya. Kecenderungan artistik yang dipresentasikan biasanya berupa diseminasi pengetahuan dalam bentuk artefak atau dokumentasi proses, bahkan hingga ke bentuk performativitas yang emansipatif dan partisipatoris.

Proses kolaborasi antara guru dan siswa di PRESISI sebagai teman belajar bersama sudah dijalankan oleh beberapa sekolah informal maupun komunitas pendidikan alternatif. Sama seperti konsep yang dimiliki oleh Erudio Indonesia, Gudskul dan Sanggar Anak Akar sebagai pelaksana program PRESISI.

 

 
Siswa pun menjadi dirinya sendiri dan dapat belajar banyak hal sesuai kebutuhannya.

 

 

Melalui PRESISI, mereka ingin mendorong sekolah negeri dan formal dapat juga menerapkan model belajar berbasis proyek ini, dengan tujuan untuk memerdekakan proses belajar di sekolah. Siswa pun menjadi dirinya sendiri dan dapat belajar banyak hal sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing, dan siap menghadapi tantangan di setiap zamannya.

Konsep guru dalam akar pendidikan di Indonesia itu sudah dipaparkan Ki Hajar Dewantara yang berbunyi “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan”.

Konsep semacam itu juga dijabarkan Paolo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas”. Freire menyebut pendidikan lama sebagai pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan itu guru merupakan subjek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada siswa. Dalam proses belajar itu, siswa semata-mata merupakan obyek.

Sebagai alternatif, Freire menciptakan sistem baru yang dinamakan “pendidikan hadap masalah”. Guru belajar dari siswa, dan siswa belajar dari guru. Guru menjadi rekan siswa yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada.

Sifat seni yang ekletis dapat menjadi media pengembangan guru dalam proses pembelajaran. Khususnya dalam metode mengajar maupun materi yang diajarkan. Misalnya dengan mengintegrasikan berbagai mata pelajaran, seperti matematika dan seni.

Guru matematika di Erudio Indonesia berkolaborasi dengan seniman komunitas Serrum untuk mengembangkan materi Rupamatika. Alhasil dalam belajar persamaan linear dihubungkan dengan teori pencampuran warna.

Misalnya warna primer seperti merah itu X, kuning itu Y, ketika dicampur, formulanya X+2Y sama dengan warna sekunder yaitu orange. Dalam proses pembelajaran ini, seni tidak hanya menjadi media ajar yang menyenangkan, namun juga melihat korelasi fungsi matematika dengan kehidupan kita sehari-hari.

Di momen Hari Guru Nasional yang jatuh tiap 25 November ini, saya ingin menekankan bahwa pedagogi dan seni memiliki hubungan yang saling berkaitan. Model belajar berbasis proyek yang diterapkan di pendidikan dan praktik seni berbasis proyek dalam kesenian dapat menjadi media analisis dan dialog yang inklusif dan emansipatif.

 
Setiap orang adalah guru, setiap orang adalah pembelajar.

 

Saat ini, sumber belajar tidak lagi terpusat kepada guru saja. Sumber pengetahuan bisa didapatkan dari mana saja dan dapat dipelajari oleh siapapun. Maka itu, timbullah kesadaran bahwa setiap orang adalah guru, setiap orang adalah pembelajar.

PRESISI tidak hanya mensinergikan posisi guru dan siswa sebagai teman belajar bersama, namun guru dan siswa juga dapat saling belajar satu sama lain dalam memberikan berkontribusi terhadap persoalan sehari-hari yang berlangsung di sekitar kita.

 

*) Penulis merupakan guru di Erudio Indonesia sekaligus seniman yang tergabung dalam komunitas Serrum dan Gudskul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement