Kamis 12 Nov 2020 11:06 WIB

Sepakat Damai dengan Azerbaijan, PM Armenia Dituntut Mundur

Protes meletus di Armenia setelah penandatangan kesepakatan damai dengan Azerbaijan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
 Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera nasional Armenia selama protes menentang kesepakatan untuk menghentikan pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh, di Yerevan, Armenia, Rabu, 11 November 2020.
Foto: AP/Dmitri Lovetsky
Para pengunjuk rasa mengibarkan bendera nasional Armenia selama protes menentang kesepakatan untuk menghentikan pertempuran di wilayah Nagorno-Karabakh, di Yerevan, Armenia, Rabu, 11 November 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Ribuan orang melakukan protes di ibu kota Armenia, Yerevan, menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Nikol Pashinian pada Rabu (11/11). Tuntutan itu muncul setelah dia menandatangani perjanjian dengan Azerbaijan untuk menghentikan konflik memperebutkan Nagorno-Karabakh.

Unjuk rasa yang diselenggarakan oleh partai-partai oposisi di Yerevan dilaporkan menarik hingga 10 ribu  orang. Beberapa pengunjuk rasa bentrok dengan polisi dan banyak yang ditahan dan dibebaskan kemudian. Para pengunjuk rasa meneriakkan "Nikol, pergi" dan "Nikol, pengkhianat".

Baca Juga

Pashinian mengatakan, dalam serangkaian pernyataan video di halaman Facebook-nya bahwa kesepakatan sangat menyakitkan baginya dan warga Armenia. Menurut dia, alasan menandatangani perjanjian itu untuk menghindari kehancuran total di wilayah konflik dan kematian ribuan tentara.

Kerusuhan internal itu dipicu gencatan senjata yang ditengahi Moskow untuk mendamaikan Armenia dan Azerbaijan pada Selasa (10/11) pagi. Kesepakatan itu dicapai setelah lebih dari enam minggu bentrokan mematikan di Nagorno-Karabakh dan membuat warga Armenia tidak menerimanya.

Politisi oposisi Armenia menyebut, perjanjian itu berbahaya dan memalukan. Mereka menuntut agar Pashinian mundur dan mengumumkan rencana untuk mencoba menyingkirkan Pashinian dan timnya dari kekuasaan.

"Kita perlu menyelamatkan Armenia dan Artsakh dari Pashinian," kata anggota partai politik Federasi Revolusioner Armenia-Dashnaktsutyun, Ishkhan Saghatelyan.

Anggota parlemen oposisi menyerukan sesi darurat untuk mempertimbangkan penggulingan Pashinian, tetapi tidak ada cukup anggota parlemen yang hadir untuk kuorum. Faksi Pashinian memegang 88 dari 132 kursi di parlemen negara itu dan anggota faksi sebagian besar mengabaikan sesi tersebut.

Kedua negara bekas Soviet itu telah terlibat konflik di wilayah itu selama beberapa dekade. Pertempuran sengit berkobar pada akhir September dan telah menyebabkan ratusan, mungkin ribuan, tewas dalam eskalasi terbesar dalam seperempat abad.

Beberapa gencatan senjata yang diumumkan selama enam minggu terakhir gagal menghentikan kekerasan. Namun, kesepakatan saat ini tampaknya akan bertahan dengan tidak ada pihak yang melaporkan pertempuran lagi sejak diberlakukan.

Pakta  yang dirayakan di Azerbaijan dan membuat marah orang-orang Armenia, menyerukan agar Yerevan menyerahkan kendali atas beberapa wilayah yang dikuasai di luar perbatasan Nagorno-Karabakh. Penyerahan itu termasuk wilayah Lachin yang dilewati jalan utama dari Nagorno-Karabakh ke Armenia. Perjanjian tersebut menyerukan jalan yang disebut Koridor Lachin tetap terbuka dan dilindungi oleh penjaga perdamaian Rusia.

Kesepakatan itu juga menyerukan agar jaringan transportasi dibangun melalui Armenia yang akan menghubungkan Azerbaijan dan eksklaf barat Nakhchivan, yang dikelilingi oleh Armenia, Iran, dan Turki. Sebanyak 1.960 penjaga perdamaian Rusia akan dikerahkan di wilayah tersebut di bawah mandat lima tahun untuk mengamankan gencatan senjata. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement