Tuesday, 14 Syawwal 1445 / 23 April 2024

Tuesday, 14 Syawwal 1445 / 23 April 2024

Pelanggaran Netralitas ASN Meningkat

Sabtu 07 Nov 2020 05:55 WIB

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andi Nur Aminah

Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) menandatangani petisi sebagai ikrar netralitas ASN pada Pilkada serentak tahun 2020 (ilustrasi)

Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) menandatangani petisi sebagai ikrar netralitas ASN pada Pilkada serentak tahun 2020 (ilustrasi)

Foto: ANTARA/Teguh prihatna
Terjadi tren kenaikan pelanggaran netralitas ASN dari Pilkada 2015, 2017, 2018, 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menyatakan, pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi permasalahan menahun dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Fakta di lapangan, terjadi tren kenaikan jumlah kasus pelanggaran netralitas ASN dari Pilkada 2015, 2017, 2018, hingga 2020.

"ASN diberi kewenangan mengelola keuangan dan aset negara, menggunakan fasilitas negara serta membuat kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas," ujar peneliti SPD, Rizqan Kariema Mustafa dalam siaran persnya yang diterima Republika.co.id, Jumat (6/11).

Baca Juga

Ia memerinci, Pilkada 2015 yang berlangsung di 269 daerah, terdapat 29 kasus pelanggaran netralitas ASN. Jumlahnya meningkat pada Pilkada 2017 di 101 daerah, menjadi 52 kasus pelanggaran netralitas ASN.

Jumlah pelanggaran netralitas ASN makin meningkat pada Pilkada 2018, dari 171 daerah terdapat 491 kasus. Sementara itu, pada Pilkada 2020 di 270 daerah yang kini tahapannya masih berlangsung, per Oktober saja sudah ada 793 pelanggaran.

Berdasarkan grafik diatas, terjadi peningkatan signifikan dengan rata-rata kenaikan sebesar 328.35 persen. Menurut data Bawaslu, tren pelanggaran netralitas ASN terbanyak dilakukan dalam bentuk kampanye dan dukungan di media sosial.

Tren pelanggaran netralitas tertinggi berikutnya, ASN menghadiri deklarasi atau mengkuti kegiatan kampanye peserta pilkada. Kemudian, ASN melakukan pendekatan kepada salah satu peserta pilkada.

Menurut Rizqan, posisi ASN dilematis selama kontestasi pilkada. Mereka diharuskan netral, tetapi mereka diangkat, ditempatkan, dipindahkan, dan diberhentikan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang dijabat oleh kepala daerah.

Sementara kepala daerah tersebut juga kerap mendukung pasangan calon tertentu atau bahkan maju kembali dalam pilkada. Kondisi seperti ini membuat karier para ASN sering dikaitkan dengan kepentingan politik kepala daerah. "Hal ini yang membuat ASN sulit untuk menjaga netralitas dalam pilkada," kata Rizqan.

Ia menyebutkan, menurut data survei Komisi ASN (KASN) pada Pilkada 2018, beberapa motif menyebabkan ketidaknetralan ASN. Motif yang dimaksud antara lain motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan (43,40 persen) serta adanya hubungan kekerabatan dengan calon (15,40 persen).

Berdasarkan data tersebut, sebagian besar ASN yang melanggar netralitas, memiliki motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan dan hubungan kekeluargaan. Hal ini menunjukkan, faktor utama yang menyebabkan ketidaknetralan ASN dalam pilkada disebabkan oleh integritas dari personal pegawai itu sendiri. "Besar kemungkinan pelanggaran netralitas ASN berhubungan dengan suksesi kemenangan calon petahana di suatu daerah," tutur Rizqan.

Di sisi lain, hanya 325 rekomendasi penjatuhan sanksi yang ditindaklanjuti PPK. Sedangkan, KASN telah memberikan 793 rekomendasi sanksi untuk ASN yang melanggar netralitas kepada PPK yang berwenang menjatuhkan sanksi tersebut.

Bahkan, Kementerian Dalam Negeri telah menegur 67 kepala daerah selaku PPK yang belum menjalankan rekomendasi sanksi dari KASN tersebut. Menurut Rizqan, hal ini menunjukan indikasi keterkaitan calon petahana dengan ASN yang diberikan rekomendasi sanksi.

Dengan demikian, ia mendorong KASN lebih memperketat patroli cyber terutama pada media sosial. Hal ini dikarenakan pelanggaran netralitas ASN paling banyak dalam bentuk dukungan kampanye dan dukungan di media sosial.

"Kepada Bawaslu, agar lebih tegas dalam menegakkan regulasi netralitas ASN serta memberikan teguran terhadap kepala daerah yang menjadi peserta Pilkada 2020 apabila belum menindaklanjuti rekomendasi sanksi," tutur Rizqan.

 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler