Selasa 03 Nov 2020 12:08 WIB

Berinovasi di Tengah Pandemi

Untuk menghasilkan ide, peneliti mesti membebaskan diri dari kungkungan psikologis.

Risdiyono
Foto: dokpri
Risdiyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Risdiyono*

Berkaca dari the Global Innovation Index (GII) 2020 yang baru saja dirilis oleh Cor­nell University, INSEAD, dan World Inte­llec­tual Property Organization (WIPO), Index Ino­vasi Global Indonesia berada di urutan bawah. Indonesia menempati rangking 85 dari 131 ne­gara di dunia, terpaut cukup jauh dari negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia (33), Viet­nam (42), Thailand (44), maupun Filipina (50). 

Relevan dengan pandemi Covid-19, GII 2020 juga menemukan adanya pengaruh cukup besar dari pandemi terhadap arah kebijakan inovasi ber­bagai negara. Inovasi salah satunya dilahir­kan melalui riset.

Riset di bidang kesehatan, pendidikan da­ring, big data, e-commerce, dan robotika tentu­nya menjadi prioritas utama karena berkaitan erat dengan penanganan pandemi. Di Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) me­ngawalnya secara serius melalui pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. 

 

Para peneliti juga diberi pilihan untuk me­ngubah topik penelitian atau menunda pelak­sa­naannya. Opsi ini tentu saja menuntut peneliti semakin kreatif memunculkan ide-ide baru yang layak untuk dijadikan sebagai topik penelitian.

Untuk menghasilkan ide inovatif, tidak ada salahnya jika peneliti membebaskan dirinya dari kungkungan psikologis yang biasanya dipenga­ruhi latar belakang dan pengalaman sebelum­nya. Sebagai gambaran, seseorang berlatar be­lakang teknik mesin jika ditanya bagaimana cara memotong material, maka ia cenderung meng­gunakan peralatan potong mekanis seperti pi­sau, gergaji, gerinda, dan lain sebagainya. 

Kecil kemungkinan ia mengusulkan cara pemotongan material menggunakan cairan ki­mia, arus listrik, atau proses biologi. Fenomena ini disebut dengan istilah psychological inertia. Pendekatan MATChEM dapat menjadi alternatif solusi (solution space) memunculkan inovasi sekaligus terlepas dari inertia tersebut.

MATChEM merupakan singkatan dari Me­chanical, Acoustic, Thermal, Chemical, Electri­cal and Magnetic, yang merupakan enam do­main utama untuk mencari solusi dari permasa­lahan yang kita hadapi. Banyak studi melapor­kan dengan mengadopsi pendekatan MATChEM seseorang akan mampu memunculkan ide-ide penyelesaian masalah yang lebih komprehensif. 

Dalam penanganan virus Covid-19, misal­nya, selain pendekatan mekanis (memakai mas­ker), kimiawi (mencuci tangan dengan meng­­gunakan sabun) dan termal (sterilisasi pakaian dengan panas), mungkin perlu dipikir­kan juga pendekatan akustik (A), elektrik (E), maupun magnetik (M). 

Pendekatan akustik bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana: "Mungkinkah kita meng­gunakan gelombang suara dengan frekuensi tertentu untuk menghancurkan virus?". Bu­kankah suara penyanyi mampu memecah­kan gelas pada saat frekuensi suaranya memicu terjadinya resonansi? Kalaupun tidak mampu menghancurkannya, mungkinkah ada frekuensi tertentu yang mempersulit virus menempel pada inang dan menghambat perkembang­bia­kannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja perlu dicari jawabannya melalui eksperimen ilmi­ah. Seandainya ditemukan frekuensi ter­ten­tu yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi mam­pu menghancurkan DNA/RNA virus, maka hal ini seolah mewujudkan imaginasi film fiksi me­nga­lahkan alien dengan senjata gelombang suara. 

Jika penelitian berhasil, maka virus Covid-19 bukan lagi menjadi ancaman. Banyaknya varian virus akibat mutasi mungkin bisa diatasi dengan variasi frekuensi maupun amplitudo suara yang digunakan. 

Bisa juga kita mengajukan pertanyaan se­baliknya: "Mungkinkah kita menggunakan ge­lombang suara dengan frekuensi tertentu untuk meningkatkan imunitas tubuh?". Bukan­kah su­dah banyak penelitian yang menyebutkan bah­wa lantunan ayat suci Alquran dengan irama tertentu maupun musik klasik mampu merang­sang pertumbuhan sel otak? Jika penelitian ter­sebut benar, maka ada peluang untuk menga­dop­sinya pada kasus imunitas tubuh dalam menghadapi Covid-19.

Sedangkan, pendekatan elektrik dan mag­netik  dapat memberikan ide bagi kita meneliti teknologi mikro-elektrik maupun elektromagnetik untuk meningkatkan efektivitas penggu­naan masker, face shield, maupun proses disin­fektasi. Dengan bantuan mikroelektrik yang dibangkitkan dari sebuah power bank misalnya, apakah mungkin melumpuhkan virus Covid-19 yang menempel di masker maupun face shield. 

Pengaruh gelombang elektromagnetik pada virus ini juga dapat diteliti sehingga dapat digu­nakan untuk menghancurkan atau mengen­da­likannya. Tampaknya cukup menarik jika ada pro­duk pelindung wajah berbasis elektromag­netik yang memiliki fungsi lebih efektif diban­dingkan face shield dari plastik maupun masker dari kain. 

Saat ini pendekatan MATChEM telah ber­kem­bang menjadi MATChEMIB (ada tambahan Intermolecular dan Biological) untuk mewadahi be­berapa domain baru yang juga signifikan pe­ngaruhnya dalam memperluas solution space. Pen­dekatan biologi telah membuat negara se­per­ti Finlandia mencoba menggunakan anjing terlatih untuk mendeteksi penderita Covid-19 di bandara. Metode ini merupakan metode baru yang sedang diujicobakan dan diklaim cukup efektif dengan akurasi di atas 95 persen. 

Banyak ide lain yang bisa dimunculkan de­ngan menggunakan pendekatan MATCh­EMIB. Agar mendapatkan hasil yang optimal, tentu saja diperlukan penggabungan pende­ka­tan berbagai displin ilmu melalui diskusi, work­shop, maupun riset bersama. Kolaborasi adalah salah satu kata yang penting untuk selalu kita gaungkan demi terwujudnya berbagai inovasi dalam menghadapi pandemi ini.

 

*Ketua Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia, Ketua Asosiasi Praktisi TRIZ Indonesia (INTRIZ)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement