Ahad 01 Nov 2020 05:57 WIB

4 Hal yang Ditengarai Jadi Faktor Islam Dicurigai Barat

Terdapat empat hal yang disebut jadi faktor kecurigaan Barat atas Islam

Terdapat empat hal yang disebut jadi faktor kecurigaan Barat atas Islam Muslim AS kampanye anti Islamofobia
Foto: worldbulletin
Terdapat empat hal yang disebut jadi faktor kecurigaan Barat atas Islam Muslim AS kampanye anti Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA- Islamofobia merupakan sikap kebencian terhadap agama Islam tanpa ada alasan dan dasar. Artinya, kebencian tanpa memiliki argumen yang jelas. Benci terhadap atribut-atribut keislaman, benci kalau agama Islam jaya dan gemilang. Dan, lebih ironisnya penyakit ini juga menjangkiti umat Islam. 

Mereka sholat dan puasa, bahkan haji berkali-kali, tapi penyakit Islamofobia tersebut tanpa disadari menjangkiti hati mereka. Mereka tidak senang kalau agama Islam ini gemilang, mereka tidak suka dengan kelompok- kelompok Islam yang berusaha menjalankan agama sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah. 

Akan tetapi, walaupun Islamofobia ini tidak berdasar dan hanya membabi buta, sebenarnya bisa dilacak beberapa alasan yang dimiliki kelompok non-Muslim membenci agama Islam. Pertama, Barat sangat trauma dengan agama Islam karena pernah menjadi pemenang peradaban.

Dalam persentuhan Islam dan Barat, sejarah mencatat Islam pernah mengalahkan Barat sebanyak empat kali yang melahirkan trauma dalam peradaban Barat, yaitu: Islam pernah berkuasa di Spanyol lebih dari 800 tahun, penaklukan Kota Konstantinopel, pengepungan Kota Viena sebanyak dua kali, dan paling dramatis adalah Perang Salib yang berlangsung lebih dari 100 tahun. 

 

Dan, mereka merasa tersaingi untuk menjadi adikuasa peradaban. Apalagi setelah Soviet hancur, Islam menjadi satu-satunya kekuatan pesaing yang perlu disingkirkan. Kedua, mereka melihat perkembangan kuantitas umat Islam sangat cepat, perpindahan pemeluk agama Kristen ke Islam lebih banyak jumlahnya daripada pindah ke agama lain. 

Bahkan, secara statistik jumlah umat Islam di negara-negara Barat menunjukkan peningkatan tiap tahun. Ketiga, penguasaan teknologi di beberapa negara Islam menunjukkan perkembangan yang signifikan. 

Keempat, semakin mereka memojokkan dan menjelek-jelekkan Islam di mata dunia, justru orang-orang Barat semakin penasaran dan ingin mempelajari agama Islam. Setelah peristiwa 11 September kelabu, justru semakin banyak orang-orang Barat mempelajari dan memeluk agama Islam.  

Ini mungkin sejalan dengan yang pernah diriwayatkan Rasulullah: Pada akhir zaman nanti, Islam akan diperlakukan persis seperti Islam pertama kali datang. Ketika pertama kali Islam lahir, agama ini dianggap aneh, selalu dicurigai, dituduh dengan macam-macam tuduhan, inilah yang kita saksikan sekarang, apa pun yang berbau “Islam” selalu dianggap aneh dan salah. 

Kalau ada oknum pihak Muslim melukai pihak lain, seluruh negara ribut, tapi kalau umat Islam yang disakiti, dianggap persoalan biasa. Lebih parahnya lagi, umat Islam sendiri pun yang terjangkit penyakit Islamofobia ini ikut-ikutan merasa alergi dengan saudaranya yang Muslim, saudaranya yang konsisten memercayai agama Islam sebagai agama yang benar.  

Mereka akan dianggap sebagai penganut agama yang eksklusif, lalu dinaikkan menjadi fanatik, dinaikkan lagi “maqam”-nya menjadi fundamentalis, dan ujungnya menjadi maqam tertinggi, yaitu radikal. 

Di tingkat internasional pun tak kalah ironis. Kalau negara non-Muslim mengembangkan nuklir tidak dianggap sebuah kesalahan, tapi kalau negara Islam yang mengembangkan nuklir, walaupun untuk tujuan perdamaian, dilarang karena melanggar hak-hak internasional. Maka, tak jarang sebuah negara Islam ketika mulai membahayakan kepentingan Barat dan Yahudi, saat itulah label fundamentalis dan tuduhan lain selalu ditempelkan dengan tujuan negara tersebut dimusuhi dunia internasional.  

Hal ini juga dialami oleh negara Islam yang menunjukkan sikap keras dan pendirian yang tegas. Itu semua harus dibayar mahal dengan disingkirkan dari pergaulan ekonomi dunia dan menuai resolusi embargo dari PBB yang memang sejak dulu menjadi stempel terhadap semua keinginan Barat. Mungkin, ini juga salah satu alasan mengapa jabatan sekjen PBB selalu diserahkan kepada negara-negara kecil.

*Naskah ini merupakan bagian artikel Okrisal Eka Putra, Lc, MA yang tayang di  Harian Republika    

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement