Jumat 16 Oct 2020 13:51 WIB

Mayoritas Masjid di Uighur Dialihkan Jadi Tempat Wisata

Muslim China ketakutan ketika shalat di luar rumah

Rep: zainur mahsir ramadhan/ Red: Muhammad Subarkah
Seorang pria berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat di sebuah masjid di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Seorang pria berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat di sebuah masjid di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

IHRAM.CO.ID, CINA, KASHGAR — Beginilah kisah nestapa Muslim di China. Negara tirai bambu yang kini kerap mengatakan menghargai Muslim dan agama Islam ternyata punya catatan lain.

Hingga awal Oktober lalu di salah satu lokasi di Kashgar, bangunan berkubah masih mentereng berdiri. Namun, kubah yang identik dengan masjid itu ditutup Beijing dan diubah menjadi kafe untuk berkumpul para turis.

Tak ada lagi aktivitas keagamaan di sana, hanya sekelompok orang yang berkumpul bersama. Menurut warga sekitar, pemandangan itu juga menjadi semakin lumrah.

“Kami takut shalat di luar rumah, jadi kami semua berkumpul di rumah untuk salat,” kata warga itu merujuk pada kafe yang dioperasikan warga Cina Han dari provinsi Guangdong sejak 2019 lalu.

 

Mengutip Asahi Jumat (16/10) nyatanya bukan hanya masjid di Kashgar saja yang diubah. Tetapi juga beberapa lainnya, termasuk di Urumqi dan wilayah sekitar. Serupa dengan sebelumnya, masjid itu ditutup oleh Otoritas Cina untuk kepentingan tujuan wisata.

Dari sumber laporan, daerah Kota Tua Kashgar dan sekitarnya memang masuk menjadi rencana tujuan wisata utama Beijing. Alhasil, bagian kota dan rumah atau bangunan lain dengan gaya Uighur tradisional, dirobohkan dan kembali dibangun di dekade terakhir.

Menurut penduduk setempat, sejumlah besar masjid berbagai ukuran yang tersebar di kota tua, juga memang telah ditutup selama dua hingga tiga tahun terakhir. Dari enam masjid yang tampak di kota tua Kashgar, lima telah ditutup.

Sementara menurut pengelola salah satu kafe, pihaknya mengaku telah menyewa tempat itu dari pemerintah setempat. Hal itu memang lumrah terjadi di Uighur, utamanya setelah perobohan banyak masjid.

Hal itu juga ditegaskan dalam sebuah studi, oleh Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI). Dalam temuannya, perobohan dan pembangunan kembali hingga penyewaan, terjadi di berbagai bagian lain di daerah otonomi Uighur Xinjiang.

Dalam laporan yang dirilis pada September kemarin, ASPI membuat perbandingan menggunakan citra satelit. Sampel 533 masjid dari 24 ribu atau lebih di wilayah tersebut dipilih. Sejak 2017, sekitar 65 persen masjid telah dihancurkan atau dibangun kembali untuk tujuan lain.

Namun demikian, seorang peneliti di organ Partai Komunis di Xinjiang mengeluarkan laporan pada 2015 yang mengatakan, "Jumlah masjid di Xinjiang sangat melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk kegiatan keagamaan biasa dan beberapa telah menjadi basis bagi separatis dan radikal."

Atas dasar itu, Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, juga mengkritik keras laporan ASPI. Dia bahkan menyebutnya sebagai "pemalsuan anti-China."

Jika menilik ke belakang, perselisihan Islam dengan Han di masa lalu memang menjadi sejarah bagi Beijing sendiri. Karenanya, pemerintah telah memperkuat pengawasannya terhadap Islam, salah satu upayanya adalah Sinisasi agama.

Dari berbagai rilis gambar bangunan di Urumqi, ada banyak masjid dan bangunan yang dirobohkan. Hal itu, terbukti dari simbol bulan sabit yang menjadi ciri khas masjid dan bangunan Islam lainnya.

Menurut seorang pejabat Partai Komunis dari komite dengan yurisdiksi atas distrik di mana masjid itu berada, bangunan itu ditetapkan pada tahun 2017 kategori berbahaya karena tidak memiliki tindakan anti-gempa yang memadai. Pejabat itu mengatakan, masjid ditutup untuk melindungi kehidupan warga.

Masjid lain di distrik Shuimogou juga telah ditutup beberapa tahun lalu. Alasannya, masih karena tergolong berbahaya.

Kembali pada studi ASPI, mereka menemukan bahwa 35 persen masjid di Urumqi dan 46 persen di Kashgar telah dihancurkan atau dibangun kembali. Rasio tersebut relatif rendah karena wisatawan domestik dan mancanegara sering mengunjungi kedua kota tersebut. Namun, di pedesaan di utara dan selatan wilayah otonom sekitar 80 persen masjid telah dibongkar.

Seorang pria etnis Hui yang mengatakan bahwa dia Muslim mengindikasikan bahwa penutupan masjid dimaksudkan untuk memberikan kendali yang lebih besar kepada otoritas China. "Menutup masjid yang lebih kecil dan memaksa orang untuk berkumpul di masjid yang lebih besar dapat mempermudah pengelolaan orang," kata pria yang tak mau disebut itu.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement