Selasa 06 Oct 2020 16:24 WIB

UU Cipta Kerja Mengulang Catatan Buruk Proses Legislasi

Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja dinilai tak lazim dalam proses waktu yang singkat.

DPR menggelar rapat paripurna Masa Sidang IV dan pengambilan keputusan tingkat II RUU Cipta Kerja, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10). (ilustrasi)
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
DPR menggelar rapat paripurna Masa Sidang IV dan pengambilan keputusan tingkat II RUU Cipta Kerja, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Dian Fath Risalah, Nawir Arsyad Akbar, Adinda Pryanka, Antara

Pembahasan hingga pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja hingga menjadi undang-undang dinilai mengulang catatan buruk proses legilasi di Indonesia. Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mengungkapkan kekecewaan atas pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker).

Baca Juga

"Catatan buruk dalam proses legislasi terulang dengan adanya pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020," kata Direktur PSHK UII, Allan Fatchan Gani Wardhana, melalui rilis yang diterima Republika, Selasa (6/10).

Ia mengingatkan, penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sejak awal sampai pembahasan tidak mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Secara formil, Allan menilai, penyusunan RUU Ciptaker cacat formil karena penyusunan sampai pembahasan tidak melibatkan publik.

Apalagi, menurut Allan, materi muatan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD NRI 1945. Seperti berpotensi mereduksi hak otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah. Baik provinsi maupun kabupaten berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945.

Bahkan, Allan melanjutkan UU Ciptaker mereduksi hak setiap orang bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Seperti upah minimum tidak lagi diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak, tapi berdasarkan kondisi pertumbuhan dan inflasi ekonomi daerah dan ketenaga kerjaan. Lalu, terdapat kenaikan pengaturan jam lembur kerja.

UU Ciptaker juga menghilangkan ketentuan istirahat panjang yang sebelumnya diatur ketat. Selain itu, UU Cipta Kerja mengubah ketentuan uang pesangon dan uang penghargaan menjadi lebih tidak proporsional dan tidak berkeadilan.

"Secara konstitusional menjegal RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat dilakukan melalui uji formil dan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, atau mendesak presiden mengeluarkan Perppu membatalkan berlakunya UU Omnibus Law Cipta Kerja," kata Allan. 

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM juga menilai, UU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil.

"RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode maupun substansinya," kata Kepala Pukat UGM, Dr. Oce Madril, Selasa (6/10).

Oce mengatakan, proses pembentukan UU Cipta Kerja selama ini berlangsung cepat, tertutup dan minim partisipasi publik. Dalam penyusunannya, publik kesulitan memberikan masukan karena akses ke draf RUU Cipta Kerja tertutup.

Akses publik terhadap dokumen RUU Cipta Kerja baru tersedia setelah selesai dirancang pemerintah dan diserahkan ke DPR. Bahkan, Oce mengingatkan, DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan RUU di tengah tengah pandemi Covid-19.

Namun, rapat-rapat pembahasan dilakukan tertutup dan perkembangan pembahasan draft tidak didistribusikan ke publik. Oce merasa, pembahasan selama pandemi dan tanpa partisipasi publik makin menunjukkan ketidakpedulian atas publik.

"Minimnya keterbukaan dan partisipasi publik membuat draft RUU Cipta Kerja rawan disusupi kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir pihak," ujar Oce.

Oce menekankan, RUU Cipta Kerja bukan solusi atas persoalan regulasi yang ada di Indonesia. Banyak pendelegasian wewenang yang ada dalam RUU ini tidak mencerminkan simplifilkasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja mengarah ke sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. RUU ini memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat yang dapat mengurangi desentralisasi di Indonesia.

"Sentralisasi yang berlebihan rentan terhadap potensi korupsi, salah satunya karena akan semakin minimnya pengawasan.Pemusatan kewenangan kepada presiden dapat menyisakan persoalan memastikan kontrol persiden atas kewenangan itu," kata Oce.

Oce menambahkan, dalam RUU Cipta Kerja ini terdapat potensi penyalahgunaan wewenang ke ketentuan diskresi. Sebab, dalam RUU ini menghapus persyaratan tidak bertentangan UU, yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah.

"Hal itu membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyalahgunaan. Terlebih, Indonesia belum miliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi," ujar Oce.

Imparsial juga secara tegas menolak UU Ciptaker. Direktur Imparsial Al Araf menilai pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan secara tidak lazim.

"Pembahasan dilakukan secara tidak lazim yakni di tengah masa reses anggota DPR RI dan konsentrasi segenap elemen nasional mengatasi pandemi Covid-19," tegas Al Araf dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/10).

Imparsial menilai bahwa banyak masalah-masalah lain di dalam UU Cipta Kerja. Salah satunya  dalam aspek ketenagakerjaan yang menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti tentu sangat merugikan para pekerja atau buruh di Indonesia.

"Belum lagi soal pemangkasan uang pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan, hal ini tentunya sangat merugikan para pekerja/ buruh," kata Al Araf.

Secara sederhana, kata Al Araf, dapat disimpulkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para pekerja/ buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.

Adapun, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengkritik keras Badan Legislasi (Baleg) DPR yang cepat menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Menurutnya, RUU ini cepat selesai karena adanya pesanan dari sejumlah pihak.

"Ini kerja yang nampaknya bisa terlihat super kilat karena atas nama pesanan tertentu," ujar Lucius kepada Republika, Ahad (4/10).

Kerja cepat berdasarkan pesanan ini terbukti dari Baleg yang rela menggelar rapat pengambilan keputusan tingkat I, pada Sabtu (3/10) malam. Hal ini dinilainya belum pernah terjadi sebelumnya.

"Bahkan untuk mengesahkan RUU di tingkat Baleg, mereka memanfaatkan malam nan romantis bagi para remaja yakni malam minggu," ujar Lucius.

Hal ini dinilainya sebagai bentuk Baleg yang ingin menghindari aspirasi publik. Dengan memanfaatkan pandemi Covid-19 yang tengah terjadi, meskipun DPR mengeklaim pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan transparan

"Kerja cepat atas permintaan pihak tertentu yang ditunjukkan Baleg menjelaskan juga kenapa prestasi DPR di bidang legislasi tak pernah terlihat membaik," ujar Lucius.

In Picture: Aksi Mogok Kerja Menolak UU Cipta Kerja

photo
Sejumlah buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10). Aksi mogok kerja yang berlangsung hingga Kamis (8/10) itu sebagai bentuk penolakan kaum buruh atas pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Diketahui, DPR dan pemerintah menyepakati seluruh hasil pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Sabtu (3/10) malam.

Setelah fraksi-fraksi DPR, pemerintah, dan DPD menyampaikan pandangan, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengetuk palu tanda persetujuan pengambilan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja. Selanjutnya, RUU Cipta Kerja akan disahkan di rapat paripurna DPR.

Rapat Paripurna DPR yang terjadwal pada Kamis (8/10) pun kemudian dimajukan menjadi Senin (5/10). DPR pun mempercepat penutupan masa sidang pertama pada 2020-2021.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi Baidowi mengatakan, dalam Rapat Pengganti Badan Musyawarah (Bamus) pada Senin disepakati bahwa penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang I 2020-2021 akan dipercepat. Menurut dia, sebelumnya penutupan masa sidang tersebut dijadwalkan pada Kamis (8/10) namun dipercepat menjadi Senin (5/10).

"Tadi disepakati Bamus DPR karena laju Covid-19 di DPR terus bertambah maka penutupan masa sidang dipercepat. Maka mulai Selasa (6/10) tidak ada aktivitas lagi di DPR RI," ujarnya.

Pada Selasa siang, Rapat Paripurna DPR pun benar-benar digelar. Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang memimpin rapat menanyakan persetujuan para anggota yang hadir dalam forum tersebut. "Perlu kami sampaikan, berdasarkan yang telah kita simak bersama. Sekali lagi saya memohon persetujuan di forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?" tanya Azis, Senin (5/10).

"Setuju," dijawab serentak oleh anggota DPR yang hadir, diikuti ketukan palu oleh Azis tanda regulasi sapu jagat itu telah disahkan menjadi undang-undang.

Azis menegaskan, pihaknya tidak mempercepat pengambilan keputusan untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Di mana semula, forum pengesahan sedianya akan dilakukan pada 8 Oktober mendatang.

Menurutnya, hal itu merupakan keputusan bersama dalam rapat badan musyawarah (Bamus). "Ya ini kan sudah kesepakatan badan musyawarah, dari sembilan partai tujuh partai menyatakan setuju," ujar Azis usai rapat paripurna penutupan Masa Sidang IV, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).

Ia mengatakan, semua pihak tak boleh hanya berprasangka buruk terhadap UU Cipta Kerja yang disahkan. Termasuk kepada kelompok buruk, yang menyatakan kecewa terhadap keputusan DPR.

"Rancangan ini disahkannya ini kan untuk kepentingan seluruh masyarakat. Jangan berpikir negatif dulu, kalau hal ini semua sudah termasuk mengakomodir kepentingan," ujar Azis.

Terkait walk out-nya Fraksi Partai Demokrat, ia tak ambil pusing perihal keputusan tersebut. Menurutnya, itu merupakan hak politik yang tak dapat diganggunya.

"Sikap politik itu kan bisa berbeda satu sama lain. Tentu sikap politik itu kami hormati, sesuai mekanisme dan menjadi catatan di rapat paripurna," ujar Azis.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pihaknya telah melewati sebanyak 64 kali rapat untuk menyelesaikan UU Ciptaker. Terkadang rapat bahkan digelar pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu.

"Telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali, rinciannya dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan enam kali rapat Timus/Timsin," ujar Supratman dalam Rapat Paripurna Masa Sidang IV tahun sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).

Supratman mengatakan, rapat dilakukan hampir setiap hari oleh DPR. Termasuk selama masa reses anggota dewan, yang seharusnya menjadi waktu untuk menyerap aspirasi di daerah pemilihannya (Dapil).

"Dilakukan mulai hari Senin sampai Minggu, dari pagi sampai malam dini hari. Bahkan masa reses pun tetap melaksanakan rapat baik di Gedung DPR maupun di luar gedung DPR," ujar Supratman.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan ucapan terima kasih, apresiasi dan penghargaan kepada DPR terhadap proses pembahasan UU Cipta Kerja yang dinilai konstruktif.

"Kami atas nama pemerintah apresiasi kerja parlemen, kerja DPR," tuturnya saat menghadiri Rapat Paripurna secara fisik di Gedung DPR, Jakarta, Senin.

photo
Usulan Ubah Nama RUU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement