Senin 21 Sep 2020 17:56 WIB

Penjualan Senjata Canggih AS di Balik Hubungan UEA-Israel

AS rela menjual sistem senjata berupa drone canggih ke UEA karena hubungan Israel

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 (Kiri ke kanan) Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan selama upacara penandatanganan Kesepakatan Abraham, yang menormalkan hubungan antara Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, DC, AS, 15 September 2020.
Foto: EPA-EFE/JIM LO SCALZO
(Kiri ke kanan) Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan selama upacara penandatanganan Kesepakatan Abraham, yang menormalkan hubungan antara Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, DC, AS, 15 September 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Demi membalas kesediaan Uni Emirat Arab (UEA) untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, Amerika Serikat (AS) mengizinkan negara Arab Teluk itu membeli sistem senjata canggih mereka.

Pada Senin (21/9) media Qatar, Aljazirah merilis komentar yang mengatakan cukup aneh UEA masih menginginkan drone-drone AS padahal mereka sudah punya lusinan pesawat tanpa awak China. Langkah AS mengubah kebijakan mereka mengenai penjualan senjata canggih juga patut dipertanyakan. Pasalnya, AS selalu enggan untuk menjual senjata terbaru ke negara lain.

Baca Juga

Drone-drone China telah menimbulkan dampak signifikan di medan pertempuran di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. Senjata-senjata Negeri Tirai Bambu telah digunakan untuk membunuh pemimpin pemberontak Houthi, membunuh prajurit ISIS di Sinai, dan pernah membantu Khalifa Haftar mendominasi pertempuran di Libya.

Biasanya AS selalu menolak menjual sistem senjata terbaru mereka. Sementara China tidak terikat dengan sikap menahan diri seperti itu dan tidak keberatan untuk mengimpor drone ke seluruh Timur Tengah dan Afrika.

Pabrik-pabrik untuk merakit drone produksi China sudah didirikan di Pakistan, Arab Saudi, dan Myanmar. Beijing sangat giat menjual drone-drone mereka.

Penjualan pesawat tanpa awak membawa China menjadi eksportir senjata terbesar kedua di dunia. Lalu mengapa drone China begitu populer dan mengapa AS mengubah kebijakan penjualan senjata mereka?  

Hanya dalam beberapa tahun China berhasil melakukan riset, memproduksi, dan mempercanggih drone-drone mereka. Teknologi militer rumit itu cukup membantu menyeimbangkan kekuatan militer dunia.

China mengimpor dua jenis drone, kedua memiliki catatan operasi yang sukses. Pertama seri 'Rainbow' Cai Hong yang diproduksi Chinese Aerospace Science and Technology Corporation (CASC). Versi CH-4 yang paling populer dijual ke Mesir, Irak, dan Yordania.

Versi awalnya telah bertempur di Nigeria yang sedang memerangi Boko Haram di utara negara itu. Jenis satu lagi adalah drone tempur seri Wing Loong.

Drone yang diproduksi Chengdu Aircraft Industry Group (CAIG) itu mendominasi pertempuran di Libya. Keberhasilan pesawat tanpa awak tersebut di timur Libya membawa Libyan National Army (LNA) yang dipimpin Haftar keunggulan dalam pertempuran melawan pemerintah yang diakui masyarakat internasional (GNA).

Kedua jenis drone itu memiliki fitur yang diinginkan pembeli. Jangkauan operasi mereka lebih jauh dari pada pesawat tanpa awak sejenis seperti Bayraktar TB2 dari Turki. Sehingga, daya serang mereka juga jauh lebih kuat. Dua drone China itu juga dapat terbang tinggi sehingga dapat menghindari serangan dari drone lawan dan membawa lebih banyak bom dan rudal.

Artinya, mereka dapat melancarkan serangan besar bila dibutuhkan. Selain itu, drone-drone China tersebut jauh lebih murah. Harga drone tempur China, CH-4 dibanderol 4 juta dolar AS atau seperempat dari drone AS Reaper MQ-9 yang seharga 16 juta dolar.

Lalu mengapa masih banyak negara yang menginginkan drone AS. Mengapa Negeri Paman Sam hanya bersedia menjual senjata canggih mereka ke sekutu yang paling terpercaya.

Walaupun sejauh ini drone-drone Cina memang berhasil menjalankan operasi mereka dengan baik, tapi catatan mereka masih jauh dari sempurna. Pesawat tanpa awak China kerap memiliki masalah dengan komando dan kendali satelit.

Drone mereka memang bisa terbang tinggi, tapi tidak cukup tinggi sehingga rentan terhadap tembakan dari darat. Sehingga ada beberapa drone yang berhasil ditembak jatuh. Walaupun cukup murah tapi tetap saja kehilangan satu buah drone artinya kehilangan jutaan dolar.

Sementara drone MQ-9 Reaper milik AS sudah terbukti memiliki catatan operasi yang gemilang hingga tidak ada lawannya di langit. Drone-drone tersebut dapat terbang mengitari setengah bumi. Reaper juga drone pertama yang didedikasikan khusus untuk memburu sehingga dapat membawa senjata besar seperti rudal kendali.

AS selalu enggan menjual senjata canggih tersebut karena khawatir jatuh ke tangan yang salah sehingga disalahgunakan atau ke tangan rival mereka seperti China. Washington selalu menuduh China melakukan spionase industri, tindakan yang menurut AS mendorong program-program militer Beijing.  

Usai UEA menormalisasi hubungan dengan Israel, pemerintah Presiden Donald Trump mendorong Kongres untuk mengizinkan penjualan senjata ke negara Arab Teluk tersebut. AS menjual Reaper dan pesawat jet F-35 walaupun Israel protes karena artinya ada negara Timur Tengah yang mengimbangi kekuatan militer mereka. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement