Selasa 15 Sep 2020 20:56 WIB

Sudahkah Hak Kita Mendapat Makanan Halal Terpenuhi?

Pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban.

Sudahkah Hak Kita Mendapat Makanan Halal Terpenuhi?. Ilustrasi Makanan Halal
Foto: Foto : MgRol100
Sudahkah Hak Kita Mendapat Makanan Halal Terpenuhi?. Ilustrasi Makanan Halal

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Muti Arintawati*

Mengkonsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Oleh karena itu mendapatkan makanan halal seharusnya merupakan hak bagi konsumen Muslim.

Peraturan tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu di dalam Bab IV tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1. Di dalam Pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

Bunyi dari ayat ini secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan tetapi sayangnya pengertian ini dimentahkan oleh penjelasan dari ayat tersebut yang menguraikan bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Jadi pencantuman keterangan halal pada label pangan bukan merupakan suatu kewajiban.

Aturan tentang label dan iklan pangan kemudian diperinci di dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pada Pasal 3 ayat 2, persyaratan minimal keterangan yang harus tercantum dalam label tidak lagi mencantumkan keterangan halal sebagai salah satu persyaratan sebagaimana yang tercantum pada UU Pangan Pasal 30 ayat 2. Di dalam Peraturan Pemerintah ini aturan tentang label halal termaktub di dalam Pasal 10 dan Pasal 11.

Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.

Sedangkan Pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau emsukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat-ayat tersebut mempertegas penjelasan dari UU Pangan Pasal 30 ayat 2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.

Kedua peraturan di atas ternyata belum sepenuhnya memberikan hak kepada konsumen Muslim untuk mendapatkan makanan yang halal. Produsen ataupun importir masih memiliki keleluasaan memproduksi, memasukkan dan memperdagangkan segala jenis makanan di Indonesia yang mayoritas konsumennya beragama Islam tanpa mencantumkan keterangan halal pada kemasannya.

Pencantuman keterangan halal atau label halal sifatnya sukarela bagi produsen atau importir yang ingin mengklaim kehalalan produknya, dengan wajib melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Jika tidak, ya sah-sah saja produknya beredar di pasar, tanpa konsumen dapat menuntutnya. Konsumen hanya dapat menuntut produsen jika informasi tentang kehalalan produk yang diklaim pada label ternyata tidak mengikuti ketentuan berproduksi halal.

Kewajiban produsen memberikan informasi yang benar beserta ancaman hukuman jika melanggarnya tercantum dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Melihat kenyataan di atas, rupanya pekerjaan rumah bagi konsumen Muslim untuk menuntut haknya mendapatkan kepastian atas kehalalan produk yang beredar di sekelilingnya masih perlu terus diperjuangkan. Saat ini konsumen muslim tidak dengan mudah dapat memilih produk yang akan dikonsumsinya karena masih banyak produk yang beredar tanpa label halal, tapi tidak juga jelas merupakan produk haram.

Konsumen masih harus berfikir keras untuk memilih produk halal yang dibutuhkan berdasarkan komposisi bahan yang tercantum pada kemasan. Sayangnya tidak semua konsumen punya pengetahuan cukup untuk memahami komposisi bahan yang tercantum pada kemasan.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah dalam mendorong pemerintah menciptakan aturan yang lebih melindungi kepentingan konsumen muslim perlu terus didengungkan oleh segenap lapisan masyarakat. Selain itu, usaha konsumen untuk menyadarkan produsen akan pentingnya label halal sehingga dengan sukarela mau mencantumkan label halal pada kemasan produknya harus dilakukan.

Salah satu caranya adalah dengan hanya memilih dan mengkonsumsi produk yang sudah bersertifikat halal dan mencantumkan label halal. Dengan demikian, perlahan tapi pasti hak konsumen muslim untuk mendapatkan makanan halal dapat terpenuhi!

 

*Pengurus dan auditor halal LP POM MUI

**Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Jumat, 01 Desember 2006

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement