Ahad 30 Aug 2020 12:36 WIB

Muslim dan Akar Islamofobia di Swedia

Dari mana akar Islamofobia di Swedia

Muslimah mengenakan hijab di Swedia,
Foto: google.com
Muslimah mengenakan hijab di Swedia,

REPUBLIKA.CO.ID, Jumat malam lalu ibu kota Sewdia, Malmo, diguncang rusuh. Pemicunya adalah pembakaran Alquran oleh aktivis kelompok anti-Muslim. Sosok Ramsus Paludan, disebut-sebut sebagai biangnya. Ini karena pembakaran Alquran terjadi karena dia dilarang masuk ke Swedia oleh polisi. 

Dan memang membahas, Islamofobia di Swedia, yakni berupa permusuhan dan penolakan terhadap Islam dan/atau Muslim di Swedia telah cukup lama. Bahkan akarnya ditengarai semenjak abad ke 16.  Jadi mengutip Wikipedia, secara historis, sikap terhadap Muslim di Swedia telah bercampur dengan hubungan yang sebagian besar negatif pada awal abad tersebut.

Situasi anti-Muslim yang muncul pada  ke-16, makin meningkat pada abad ke-18. Menurut Jonas Otterbeck, seorang sejarawan agama Swedia, sikap terhadap Islam dan Muslim saat ini telah meningkat tetapi "tingkat prasangka masih tinggi."

Lalu, apa bentuk, Islamofobia di Swedia? Bentuk dapat dilihat melalui diskriminasi dalam angkatan kerja, liputan berprasangka buruk di media, dan kekerasan terhadap Muslim. Situasi kemudian berimbas ke politik. Partai Demokrat Swedia dengan ideologi nasionalistik merupakan partai terbesar di wilayah selatan Swedia (Skåne), menarik dukungannya dari sentimen antiimigrasi setelah gelombang imigrasi setelah perang Irak, Afghanistan dan Suriah.

Sejarah Islamofobia di Swedia

Pada awal abad ke-16, wacana ontologis populer di Swedia tentang Islam sebagian besar bersifat negatif. Islam digambarkan sebagai agama yang fatalistik, fanatik, kasar, kejam, dan agresif. 

Sikap ini populer di Swedia. Bahkan memanifestasi pada sebuah lukisan populer dari abad yang sama menggambarkan Santo Christopher menggendong Yesus sebagai seorang anak di pundaknya, menyelamatkannya dari air tempat Paus dan Muhammad tenggelam.

Lukisan itu ditujukan untuk umat Katolik, dan menggambarkan Paus dan Muhammad sebagai nabi palsu. Orang Turki sering digunakan secara sinonim dengan Muslim, karena buku doa Caspar Melissander dari 1609 berbunyi, "Ya Tuhan Yesus Kristus, jauhkan kami dari orang Turki, Tattar, Paus, dan semua sekte."

Keputusan selama abad ke-17 akhirnya membuat praktik Islam menjadi sesuatu yang ilegal, serta dijadikan agama lain di luar Gereja Swedia. Apalagi pada tahun 1734, keanggotaan dalam Gereja Swedia ditetapkan sebagai prasyarat kewarganegaraan, dan siapa pun yang bukan Lutheran dapat dilarang masuk ke negara itu. 

Selama abad ke-18, opini publik terhadap dunia Muslim meningkat dengan kontak terus-menerus dengan Kekaisaran Ottoman. Raja Karl XII membuat pengecualian terhadap undang-undang kewarganegaraan yang disebutkan di atas pada tahun 1718, yang mengizinkan migran Muslim dan Yahudi dari Kekaisaran Ottoman untuk menjalankan agama mereka.

Namun, opini terhadap Islam dan Muslim sekali lagi merosot pada awal abad ke-20 dengan munculnya nasionalisme dan orientalisme di Swedia. Uskup Agung Nathan Söderblom, guru dan mentor dari beberapa cendekiawan Orientalis Swedia terkemuka, sangat kritis terhadap iman kaum Muslim tersebut. Sikap Söderblom sangat berdampak pada wacana akademis, mengingat hanya sedikit sarjana Swedia pada saat itu yang memiliki hubungan dengan Muslim. 

Usai masa Perang Dunia Kedua, konsep multikulturalisme mendapat dukungan di kalangan publik Swedia dan pemerintah Swedia. Pada 1980-an, kehadiran Islam menjadi terlihat di masyarakat Swedia untuk pertama kalinya dan mendapat tanggapan yang beragam.

Jonas Otterbeck, sejarawan agama Swedia, mengklaim bahwa sebagian besar sentimen anti-Muslim di negara itu berasal dari oposisi terhadap pakaian tradisional Islam seperti jilbab dan keyakinan bahwa Wahhabisme Saudi (sebuah gerakan yang sangat konservatif dalam Islam) adalah perwakilan dari seluruh agama. 

Akibatnya, pada akhir 1980-an, kelompok xenofobia ekstremis mulai menargetkan Muslim sebagai masalah sosial yang parah. Bahkan kaum Muslim di sana dituduh sebagai biang penyebab resesi dalam ekonomi Swedia. 

Håkan Hvitfelt melakukan survei pada tahun 1990-an untuk meneliti sikap publik Swedia terhadap Islam. Dia menemukan bahwa mayoritas orang Swedia memiliki "sikap yang agak atau sangat negatif terhadap Islam" dan menganggap Islam "tidak sesuai dengan demokrasi, menindas perempuan, dan bersifat ekspansif".

Hvitfelt mengklaim bahwa media bertanggung jawab atas sikap negatif. Sikap terhadap Islam dan Muslim pada akhir 1990-an dan awal abad ke-21 telah meningkat, tetapi menurut Otterbeck, "tingkat prasangka dulu dan sekarang masih tinggi." 

Selama abad ke-18, opini publik terhadap dunia Muslim meningkat dengan kontak terus-menerus dengan Kekaisaran Ottoman. Raja Karl XII membuat pengecualian terhadap undang-undang kewarganegaraan yang disebutkan di atas pada tahun 1718, yang mengizinkan migran Muslim dan Yahudi dari Kekaisaran Ottoman untuk menjalankan agama mereka. [4] Opini terhadap Islam dan Muslim sekali lagi merosot pada awal abad ke-20 dengan munculnya nasionalisme dan orientalisme di Swedia. Uskup Agung Nathan Söderblom, guru dan mentor dari beberapa cendekiawan Orientalis Swedia terkemuka, sangat kritis terhadap iman tersebut. Sikap Söderblom sangat berdampak pada wacana akademis, mengingat hanya sedikit sarjana Swedia pada saat itu yang memiliki hubungan dengan Muslim. [5]

Setelah Perang Dunia Kedua, konsep multikulturalisme mendapat dukungan di kalangan publik Swedia dan pemerintah Swedia. Pada 1980-an, kehadiran Islam menjadi terlihat di masyarakat Swedia untuk pertama kalinya dan mendapat tanggapan yang beragam. Jonas Otterbeck, sejarawan agama Swedia, mengklaim bahwa sebagian besar sentimen Anti-Muslim di negara itu berasal dari oposisi terhadap pakaian tradisional Islam seperti jilbab dan keyakinan bahwa Wahhabisme Saudi (sebuah gerakan yang sangat konservatif dalam Islam) adalah perwakilan dari seluruh agama. [11] Pada akhir 1980-an, kelompok xenofobia ekstremis mulai menargetkan Muslim sebagai masalah sosial yang parah dan menyebabkan resesi dalam ekonomi Swedia. [12]

Håkan Hvitfelt melakukan survei pada tahun 1990-an untuk meneliti sikap publik Swedia terhadap Islam. Dia menemukan bahwa mayoritas orang Swedia memiliki "sikap yang agak atau sangat negatif terhadap Islam" dan menganggap Islam "tidak sesuai dengan demokrasi, menindas perempuan, dan bersifat ekspansif". Hvitfelt mengeklaim bahwa media bertanggung jawab atas sikap negatif. [12] Sikap terhadap Islam dan Muslim pada akhir 1990-an dan awal abad ke-21 telah meningkat tetapi menurut Otterbeck, "tingkat prasangka dulu dan sekarang masih tinggi." [6]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement