Kamis 27 Aug 2020 19:20 WIB

Mengapa Islam Indonesia Mayoritas Menurut Peneliti Luar

Islam di Indonesia menyebar melalui para pendakwah toleran.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Islam di Indonesia menyebar melalui para pendakwah toleran. Ilustrasi umat islam Indonesia
Foto: Putra M. Akbar/Republika
Islam di Indonesia menyebar melalui para pendakwah toleran. Ilustrasi umat islam Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Berbeda dengan belahan dunia lain, Islam menyebar di Asia Tenggara tanpa penaklukan besar-besaran. Islam datang dengan kapal laut yang mengincar rempah-rempah dan sutra. Pedang tetap ada di sarungnya dan hampir tidak ada pertumpahan darah.  

Indonesia menjadi negara Muslim terbesar di dunia selama berabad-abad. Para ahli pun masih ragu untuk memastikan bagaimana sebenarnya Islam bisa mendominasi Indonesia. Melihat kembali akar Islam dari negara kepulauan yang luas dan melintasi samudra Hindia dan Pasifik tentu menjadi penting. 

Baca Juga

Sejarawan Dr Carool Kersten, yang memaparkan soal bagaimana ajaran Nabi Muhammad menyebar di Asia Tenggara, menyampaikan bahwa penyebaran tersebut tidak dengan penaklukan dan terjadi secara bertahap. 

"Bukti pertama orang lokal masuk Islam di Indonesia saat ini tidak lebih dari abad ke-13. Saat itulah kami menemukan bukti arkeologis dasar yaitu batu nisan sultan dengan nama Arab, yang menunjukkan bahwa para pemimpin lokal telah memeluk Islam," kata Dr Kersten kepada TRT World. 

Pasukan Muslim mulai keluar dari tanah Arab pada abad ke-8 di mana saat itu mereka menguasai Spanyol pada tahun 720-an. Komandan militer muda yang terkenal, Muhammad Bin Qasim, baru saja menginvasi Sindh dan Multan, tempat yang sekarang disebut Pakistan. 

"Di Indonesia, Islam menyebar dengan damai. Tidak seperti di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan, di mana penyebaran Islam berada di bawah kekuasaan sebagai akibat dari penaklukan Arab," kata Dr Kersten, pria yang kini mengajar di Kings College London, Inggris dan menulis sejarah Islam di Indonesia. 

Batu nisan abad ke-13 dari seorang penguasa lokal, Sultan Malik al Salih, ditemukan di Sumatera, sering dikutip sebagai penanda sejarah ketika Islam mulai masuk ke wilayah tersebut. Salih, yang menguasai sebuah kerajaan di pulau paling utara Indonesia di Sumatera, itu telah masuk Islam.

"Fakta bahwa dia mengadopsi gelar Arab dan menyebut dirinya seorang Sultan daripada Raja, yang merupakan kata Sansekerta untuk seorang penguasa, adalah bukti kuat pertama bahwa seseorang dari Asia Tenggara memutuskan untuk memeluk Islam dan penduduknya mengikutinya," kata Dr Kersten.

Apa yang benar-benar membingungkan sejarawan dan arkeolog adalah batu nisannya, yang dirancang dengan motif dan pola yang dapat ditemukan di negara bagian Gujarat, India. Gujarat dikenal dengan pedagang dan pebisnis yang berani mengambil risiko yang tidak akan ragu untuk bepergian ke daerah yang jauh untuk mencari mata pencaharian. Di antara mereka ada banyak Muslim. 

Rute perdagangan telah berperan penting dalam penyebaran Islam. Misalnya, ada komunitas besar Arab Hadramaut dari Yaman di Indonesia. Muslim dari China juga meninggalkan jejak. Laksamana Muslim Cina abad ke-15, Cheng Ho, sering dianggap membantu menyebarkan Islam di pulau Jawa, Indonesia. 

"Sangat menggoda untuk berasumsi bahwa para pedagang yang membawa Islam (ke wilayah Indonesia). Tetapi Anda harus berhati-hati di sini. Jalur perdagangan mungkin digunakan sebagai saluran tetapi pedagang adalah pengusaha, mereka bukan penyebar agama atau dakwah," kata Dr Kersten. 

Sebuah teori alternatif menunjukkan bahwa orang-orang yang termasuk dalam sufi mungkin telah menempuh rute yang sama dan membantu menyebarkan Islam di wilayah tersebut. Islam tradisional lebih dekat dengan aliran mistik Barelvi yang lazim di Pakistan dan India. 

Orang Indonesia dan Melayu menikmati hubungan perdagangan dengan orang Arab dan Persia bahkan sebelum masuknya Islam. Jawaban mengapa Islam memperoleh pijakan di Asia Tenggara relatif terlambat, karena dapat ditemukan dalam kawasan ekonomi. 

Dikelilingi laut, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau tidak memiliki lahan terbaik untuk bercocok tanam dan penduduknya sangat mengandalkan perdagangan laut. Mereka merasa terancam oleh kerajaan Hindu di Burma, Kamboja, dan Thailand yang menjadi makmur di belakang dataran sungai mereka yang luas yang cocok untuk menanam padi. "Orang-orang di Indonesia tidak lagi ingin memberi penghormatan kepada penguasa Hindu dan Budha dari daratan. Jadi mereka mencari sekutu politik di Timur Tengah dan Afrika," kata Dr Kersten. 

Struktur pemerintahan hierarkis yang ketat, di mana seorang penguasa memiliki keputusan akhir tentang masalah-masalah penting, mungkin telah membantu mempercepat konversi penduduk lokal tanpa terlalu banyak pertempuran, kata para ahli. 

"Tidak seperti Mughal di sebagian besar India yang menunjuk nizam, amir, dan maharaja untuk melakukan perintah bagi mereka, seorang raja di Asia Tenggara adalah pusat kekuasaan dan memiliki pengaruh signifikan," tutur Nawab Osman, seorang peneliti Asia Tenggara yang berbasis di Singapura, kepada TRT World.

 

photo
Ilustrasi umat Islam di Indonesia - (AJI STYAWAN/ANTARA )   

Selain mengambil peran sebagai pemimpin agama dengan praktik membangun masjid di samping istana mereka, para penguasa Muslim baru ini juga mulai melihat ke arah Ottoman untuk membangun aliansi. Setelah penaklukan Konstantinopel pada pertengahan abad ke-15, Muslim menguasai rute maritim internasional dan banyak raja Indonesia melihatnya sebagai tanda yang prestis dan kesempatan untuk menjadi bagian dari jaringan tersebut jika mereka telah masuk Islam.  

Osman menerangkan, karena Islam menjadi agama terkemuka di beberapa bagian Asia Tenggara, para imam lokal akan mendaraskan sholat Jumat tidak hanya atas nama raja setempat tetapi juga khalifah Ottoman. 

Selain itu, wayang kulit juga membantu penyebaran agama Islam di Indonesia, di mana 90 persen penduduknya kini beragama Islam. Seperti di Asia Selatan, masyarakat secara tradisional menggunakan teater boneka dan patung untuk menceritakan kisah heroik dari kitab suci Hindu seperti Ramayana. 

"Pertunjukan wayang kulit adalah bagian besar dari budaya Indonesia. Jadi yang dilakukan oleh para ulama adalah mereka mengubah karakter Ramayana menjadi tokoh-tokoh Muslim (dengan menunjukkan para sahabat Nabi dan sebagainya). Itu cara yang sangat efektif bagi orang-orang untuk masuk Islam," jelas Osman.  

Dalam sejarah Indonesia terutama yang ditulis di bawah pemerintahan kolonial Belanda, yang berlangsung antara tahun 1800-an dan pertengahan 1900-an, penggunaan simbol-simbol budaya semacam itu diberi makna yang berbeda. 

"Jika Anda melihat tulisan-tulisan orientalis dari periode itu, tampaknya umat Islam tidak mempraktikkan Islam dan tetap memegang teguh unsur-unsur kepercayaan Hindu. Itu sangat tidak benar. Umat Islam tidak akan pernah melakukan hal-hal tertentu seperti menyembah dewa," kata Osman. 

Muslim Indonesia bukan hanya penerima ajaran Islam yang pasif. Mereka secara aktif juga berpartisipasi dalam pencapaiannya. Dr Kersten lebih lanjut memaparkan, penyebaran Islam di Indonesia adalah proses hibrida. Tidak ada satu momen pun pengambilalihan dan ini adalah sistem yang jauh lebih cair di mana penduduk setempat tidak melepaskan semua praktik dan keyakinan mereka sekaligus," kata Dr Kersten. 

Setelah Islam didirikan, Muslim Indonesia melakukan perjalanan ke pusat pembelajaran Muslim di seluruh dunia. Para ulama fasih berbahasa Arab maupun Persia, sangat bersemangat mencari pengetahuan Islam. "Islam tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang dipernis dalam budaya Asia Selatan. Orang-orang ini adalah bagian integral dari dunia Muslim," terang Dr Kersten. 

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok agama di Indonesia menjadi sorotan di tengah kekhawatiran bahwa kelompok garis keras mulai mendominasi wacana politik. Pemilihan gubernur Jakarta 2017, di mana seorang Kristen keturunan Tionghoa dikalahkan setelah serangan balik dari kelompok agama, sering dikutip sebagai contoh meningkatnya intoleransi. 

Osman berpendapat, bahwa menjadi masalah ketika perdebatan ini dibingkai dalam pertanyaan apakah 'Islamis' sedang meningkat. Ini sebuah narasi yang menurut dia dipicu setelah adanya aksi kuat dari kelompok-kelompok Islam dalam pemilihan nasional 1999. 

Presiden ke-2 Indonesia, yang memerintah lebih dari 30 tahun antara 1967 dan 1998, memberlakukan pembatasan terhadap kelompok-kelompok politik Muslim dan mencoba mengurangi peran agama dalam urusan negara. Itu tidak berarti bahwa kelompok-kelompok seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah memperoleh jutaan pengikut hanya setelah Suharto disingkirkan. 

Bahkan dalam pemilihan umum 1955 yang diperebutkan secara terbuka sebelumnya, kelompok-kelompok Islam telah memperoleh sekitar 40-45 persen suara. Hari-hari ini bahkan kelompok-kelompok moderat, seperti NU, merasa terancam oleh apa yang mereka lihat sebagai Arabisasi yang merayapi aliran agama Indonesia yang dikenal dengan istilah 'Islam Nusantara'. 

"Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sama-sama telah berargumen bahwa Islam moderat berada di bawah ancaman dari tipe salafi, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslimin. Tapi saya pikir apa yang telah terjadi selama bertahun-tahun adalah bahwa ada perpecahan dalam barisan kelompok Muslim tradisionalis. Beberapa anggota mereka sendiri mulai mengambil posisi Islam yang lebih keras," kata Osman berpendapat. 

Sumber: https://www.trtworld.com/magazine/how-islam-came-to-dominate-indonesia-39182  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement