Kamis 20 Aug 2020 06:00 WIB

Mengenal Junaid Al Baghdadi (3)

Junaid Al Baghdadi simbol keharmonisan tasawuf dan syariat.

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Muhammad Hafil
Mengenal Junaid Al Baghdadi. Foto: Tarian sufi (ilustrasi).
Foto: trekearth.com
Mengenal Junaid Al Baghdadi. Foto: Tarian sufi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Junaid hidup di tengah-tengah suasana politik yang tidak menentu. Gejolak dan konflik internal Dinasti Abbasiyah mengantarkan Junaid dalam konstelasi dan kebijakan rezim yang berbeda-beda. Hiruk pikuk dunia politik tidak menarik perhatian Junaid. Ia lebih suka bergelut dengan dunia ilmu dan olah spiritual.

Pada masa pemerintahan Al-Mu'taz (869 M), bangsa Turki di Kota Samarrah berkonflik dengan bangsa Timur. Sedangkan, orang Arab dan Persia saling bermusuhan satu sama lain. Kekacauan politik serupa tak jauh beda dengan masa pemerintahan Al-Muhtadi (870 M) yang akhirnya menyebabkan khalifah ini terbunuh dan digantikan oleh Al-Mu'tamid yang memerintah dari tahun 870-892 M.

Baca Juga

Gejolak politik dan pemberontakan masih berlanjut pada pemerintahan Al-Mu'tadhid (902 M) walaupun pada masa pemerintahannya Dinasti Abbasiyah cukup makmur.

Namun, keterpurukan politik yang dihadapi Dinasti Abbasiyah tidak begitu berpengaruh pada dinamika keilmuan dan keagamaan. Bahkan, menurut Philip K Hitti dalam Capital Cities of Arab Islam, Baghdad merupakan sebuah kota intelektual. Karena, Baghdad melahirkan para cendekiawan dan intelektual Muslim agung yang mengembangkan ilmu pengetahuan di berbagai disiplin ilmu. Misalnya, bidang kedokteran, kimia, fisika, biologi, matematika, astronomi, astrologi, farmakologi, geografi, filsafat, historiografi, sastra, seni, tafsir, hadis, fikih, teologi, bahasa, dan tak ketinggalan tasawuf.

Meski Muktazilah tak lagi menjadi mazhab resmi pemerintahan Abbasiyah, pergolakan pemikiran masih mendominasi Baghdad. Klaim kebenaran dan sesat antara satu kelompok dengan yang lain turut mewarnai dunia keilmuan. Intimidasi terhadap kelompok yang berseberangan pun tak ketinggalan. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan kehadiran pemikiran tasawuf hipokrit yang muncul dari golongan zindik.

Karena inilah, kata Dr Ali Hasan Abd Al-Qadir, Junaid urung memublikasikan pemikirannya kepada khalayak. Junaid lebih memilih melakukan kaderisasi dan pembekalan untuk para murid dan pengikutnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Junaid menahan diri dan tidak menyosialisasikan pemikirannya. Namun, alasan yang paling kuat di mata Junaid adalah kekhawatiran akan interpretasi yang salah terhadap isyarat dan eksperimen spiritual.

Kedua hal tersebut tidak dapat terwakili dengan ungkapan sederhana dan penjelasan singkat untuk kalangan umum. Karena itu, guna menghindari penafsiran yang keliru, Junaid sangat selektif. Ia hanya akan mengajarkan teori-teori tasawufnya kepada murid yang dipercaya. Bahkan, ia pernah menyuruh murid-muridnya untuk mengubur catatan yang pernah ditulis sewaktu belajar.

Menariknya, walaupun Junaid dengan kapasitas keilmuannya berhati-hati dan cenderung menyendiri, ia tak luput dari serangan dan tuduhan kelompok lain. Ada yang menuduh sebagai pelaku bidah dan ada pula yang mengafirkannya.

Abu An-Nashr As-Shiraj dalam kitab Al Luma' menyebutkan, ada sederet nama ulama yang dicap kafir dan sesat, di antaranya Amar bin Utsman Al-Makki, Abu Al-Abbas Ahmad bin Atha, termasuk imam sekaliber Junaid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement