Rabu 05 Aug 2020 17:33 WIB

Kisah Warga Berbagi Internet Bagi Murid Tak Mampu

Saling gotong royong membantu para siswa belajar jarak jauh.

Red:
Sejumlah siswa mengikuti proses belajar mengajar dalam jaringan (daring) di bekas posko COVID-19 di tepi jalan untuk mendapatkan sinyal jaringan internet,  di Desa Madang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (4/8/2020). Siswa sekolah di pelosok Kalimantan Selatan masih kesulitan untuk mengikuti proses belajar mengajar daring selama masa pandemi COVID-19 akibat sulitnya akses internet di daerah itu.
Foto: ANTARA /BAYU PRATAMA S
Sejumlah siswa mengikuti proses belajar mengajar dalam jaringan (daring) di bekas posko COVID-19 di tepi jalan untuk mendapatkan sinyal jaringan internet, di Desa Madang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (4/8/2020). Siswa sekolah di pelosok Kalimantan Selatan masih kesulitan untuk mengikuti proses belajar mengajar daring selama masa pandemi COVID-19 akibat sulitnya akses internet di daerah itu.

Sejumlah guru dan orang tua murid menghadapi kendala saat sedang beradaptasi dengan penerapan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di tengah pandemi virus corona di Indonesia.

Ada beberapa perubahan tahun ajaran baru 2020-2021 yang dimulai akhir Juli lalu, seperti perubahan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan PJJ yang kabarnya akan diterapkan secara permanen dan menggabungkan dengan tatap muka.

Peta jalan penyampaian pendidikan ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud), Nadiem Makarim pada rapat kerja bersama dengan Komisi X DPR RI, awal Juli lalu.

Menurutnya, PJJ selama pandemi berpeluang untuk efisiensi teknologi, karena dalam sejarah Indonesia belum pernah ada eksperimen teknologi besar-besaran dari guru, kepala sekolah, orangtua, dan siswa seperti pada periode sekarang.

Meski nantinya pandemi COVID-19 berakhir, sistem belajar mengajar di Indonesia akan tetap menggunakan model belajar daring yang digabungkan dengan tatap muka.

"Meski kita sekarang kesulitan beradaptasi, ini merupakan suatu tantangan, ke depan akan jadi satu kesempatan untuk kita," ujar Nadiem.

 

'Mereka belum kenal siapa gurunya'

Tantangan yang disebut Nadiem ini dirasakan oleh Indarti.

Hanya setahun sebelum memasuki masa pensiunnya sebagai guru di Semarang, Jawa Tengah, Indarti harus sigap beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh karena pandemi corona di Indonesia.

Tantangan yang dihadapinya saat harus mengajar siswa kelas 1 Sekolah Dasar bukan hanya terletak pada persoalan teknis untuk mengajar jarak jauh, tetapi juga soal pengenalan murid terhadap guru dan mata pelajaran yang baru.

"Ya namanya anak-anak kecil, kalau belum ketemu langsung ya belum kenal," tutur Indarti.

Indarti kemudian berinisiatif mengajak dua rekan guru lainnya untuk mendatangi langsung rumah murid-murid, yang berjumlah 21 orang, di awal tahun ajaran baru untuk sekaligus memperkenalkan diri sebagai guru mereka.

"Agar anak itu kenal dengan saya, karena [mereka] sedang dalam masa peralihan dari TK ke jenjang SD, yang baru pertama kali masuk SD tetapi belum kenal sama siapa guru saya sebenarnya," jelasnya.

 

Menurut Indarti juga berkenalan langsung dengan para guru menjadi salah satu modal yang menentukan proses belajar jarak jauh.

Setelah berkenalan langsung, Indarti kemudian membuat 'WhatsApp Group' untuk para orangtua murid dan mulai mengirimkan sejumlah materi dari Dinas Pendidikan untuk diteruskan ke murid-muridnya.

Tugas yang diberikan Indarti biasanya akan dikembalikan oleh orangtua per minggu untuk dikoreksi.

Namun, Indarti merasa masih belum bisa mengajar dengan maksimal, karena murid kelas 1 masih dalam tahap mengenal huruf, belajar membaca dan menulis.

Apalagi, Indarti juga mengetahui banyak kendala lainnya yang dialami oleh para murid dan orangtuanya.

"Handphone-nya cuma satu, harus mengajari dua anak belajar, belum harus masak, dan harus mengerjakan tugas yang lain. Apalagi, ada juga ibu yang juga bekerja," ujar Indarti.

"Untuk kuota internet, itu juga barang yang mewah untuk di desa. Kadang untuk makan saja susah, apalagi untuk beli kuota internet atau beli handphone."

"Ada yang memikirkan besok harus masak apa, tapi juga harus mikir beli kuota internet yang habis supaya anaknya bisa belajar," tambah Indarti.

 

Karena itu, Indarti akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah murid-muridnya tidak hanya di awal tahun ajaran, tapi juga untuk mengajar, atau sebaliknya, meminta murid datang ke rumahnya.

Selama satu jam, Indarti memilih memfokuskan diri mengajar baca tulis yang menjadi dasar bagi murid-murid kelas 1 SD.

"Saya merasa bertanggung jawab untuk kemajuan anak-anak. Ini yang bisa saya lakukan untuk mereka. Walaupun tidak maksimal dan hanya berapa persen, semoga materi yang saya sampaikan ada yang terserap."

Dalam aktivitas mengajar keliling itu, Indarti juga mempraktikkan protokol kesehatan menghadapi pandemi COVID-10, seperti cara mengenakan masker, mencuci tangan dengan, dan menjaga jarak.

Namun, Indarti menyimpan kekhawatiran, jika proses belajar jarak jauh ini berlangsung dalam waktu yang panjang, para murid yang memiliki keterbatasan dan kendala akan tertinggal.

 

Membuka rumah dan berbagi koneksi internet

Di Depok, Jawa Barat, pasangan Bambang dan Sri Wiwoho merasa gelisah saat mendengar kebijakan pembelajaran jarak jauh yang dicanangkan pemerintah.

Mereka tahu, tidak semua orang mampu membeli kuota atau data internet.

"Kami melihat tetangga kiri-kanan banyak anak-anak sekolah, ada yang SD dan SMP, yang memerlukan internet dan kebetulan kami punya koneksi internet di rumah," kata Sri Wiwoho kepada Hellena Souisa dari ABC.

Akhirnya, sejak 23 Juli lalu, pasangan ini akhirnya memutuskan untuk membagikan koneksi internet di rumah mereka untuk anak-anak yang memerlukan sambungan internet selama proses pembelajaran jarak jauh.

"Pendopo kami terbuka hari Senin sampai Jumat, pukul 7.30 sampai 12 siang untuk mereka yang perlu internet gratis untuk belajar."

"Sebelum membuka pintu rumah kami, saya juga mengkonsultasikan ke pihak provider internet, beberapa kekuatannya, berapa orang yang bisa memakainya," ucap Sri.

 

Sejumlah ibu-ibu PKK dari kawasannya juga dilibatkan untuk membantu aktivitas internet gratis di pendoponya.

"Tetapi untuk anak-anak yang SD, menurut pengamatan saya, memang masih perlu pendampingan. Jadi kami sarankan murid kelas 1 sampai 3 SD agar didampingi orangtua," tambah Sri.

Karena situasi pandemi COVID-19, Sri juga mengharuskan mereka yang datang untuk mematuhi protokol kesehatan, mulai dari pengecekan suhu tubuh, memakai masker, dan menjaga jarak duduk.

 

'Boleh makan gratis, tapi wajib cuci piring sendiri'

Inisiatif yang sama dilakukan oleh Dicky Martiaz di kediamannya di kawasan Ciledug, Tangerang, Banten.

Sejak hari Senin (03/08), ia membuka pagar rumahnya dan menyulap teras rumahnya menjadi tempat belajar dengan internet gratis.

Dicky bahkan memasang komputer miliknya di sudut teras jika ada yang memerlukan, perpustakaan mini, dan mempersilakan makan minum gratis seadanya.

"Ya kalau pas jam makan, saya ajak ikut makan. Sederhana saja, paling mie instan atau telur dadar. Boleh makan gratis, tapi wajib cuci piring sendiri," kata Dicky.

 

Dicky memutuskan membagi akses internetnya setelah banyak mendengar keluh-kesah orang-orang di sekitar rumahnya.

Seorang teman Dicky mengaku pernah menghitung berapa dana yang harus dikeluarkan untuk membeli kuota internet bagi kedua anaknya di SD dan SMP.

"Menurut teman saya itu, kebutuhan per anak selama belajar dari rumah sekitar 1,5 sampai 2 Gigabyte per hari, atau setara dengan Rp12.000 sampai Rp15.000 [per hari]," katanya.

"Itu baru untuk satu anak. Jadi per bulan [20 hari sekolah] untuk satu anak saja minimal dana yang dikeluarkan adalah Rp240.000. Ini kan berat banget buat mereka."

Belum lagi, menurut Dicky, masih ada biaya tambahan yang keluar untuk membeli flash disk atau untuk mencetak tugas, misalnya.

"Internet saya ini unlimited dan sangat berlebih untuk saya, jadi aku buka wifi-nya di teras," ujar Dicky.

 

Berharap pada komunitas untuk saling bantu

Jika pembelajaran jarak jauh ini akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, Indarti berharap pemerintah bisa memikirkan juga akses internet bagi para murid.

"Saya berharap ke depannya ada internet gratis, mungkin bisa ada wifi gratis per wilayah atau bagaimanalah, supaya bisa mendukung anak-anak sekolah online," ucap Indarti.

Di sisi lain, Sri Wiwoho juga menyayangkan keputusan Kemendikbud yang dianggapnya kurang persiapan.

"Kalau Kemendikbud memutuskan PJJ, mestinya semuanya sebelumnya disiapkan lebih dulu karena nggak semua orang mampu, bahkan banyak yang nggak punya gadget," kata Sri.

Sri berharap inisiatif yang telah dilakukannya bisa dilakukan juga oleh mereka yang memiliki "kelebihan" kuota internet dan bisa menggugah pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi guru dan orang tua murid.

Sementara itu, Dicky memilih tidak menggantungkan terlalu banyak harapan ke pemerintah.

"Pemerintah enggak mungkin menyediakan hotspot [internet] yang banyak dan dadakan seperti saat [Tsunami] Aceh dulu," kata Dicky.

"Jadi saya hanya bisa berharap ke sesama kawan-kawan dan tetangga supaya lebih banyak membuka diri, membuka pagar pintu rumahnya," pungkasnya.

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement