Kamis 30 Jul 2020 22:56 WIB

Undangan Haji Nur Efendi dan Ikhtiar Meneladani Ismail

Ini adalah pelajaran luar biasa tentang birrul walidain.

Rep: Ratna Ajeng Tenjomukti/ Red: Muhammad Fakhruddin
CEO Rumah Zakat Nur Efendi
Foto: istimewa
CEO Rumah Zakat Nur Efendi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masih kuat dalam ingatannya ketika tangan dia menggandeng erat kedua orang tua di samping kiri dan kanan bertawaf mengelilingi Kakbah, membersamai shalat di Hijr Ismail, hingga menyentuh kiswah. Air mata mengalir deras melewati pipi, Nur Efendi, ayah, dan ibu menangis seraya melafalkan syukur tiada henti.

Bagaimana tidak, pada Maret 2016, CEO Rumah Zakat Nur Efendi berkesempatan melaksanakan umroh bersama kedua orang tua yang keduanya masih ada. Itu adalah pengalaman umrah terindah dan membekas dalam ingatan.

"Begitu pemurahnya Allah, mengizinkan saya mengunjungi Rumah-Nya, Baitullah Bersama dua orang yang sangat berarti bagi hidup saya. Mimpi mengumrahkan orang tua bahkan keluarga besar, sebenarnya sudah lama saya inginkan sejak tahun 2009, namun baru 2016, mimpi tersebut bisa terwujud," ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (28/7).

Sebelumnya, pada tahun 2012, Nur Efendi berkesempatan umrah bersama istri, berdua. Itu merupakan umrah pertama yang begitu berkesan, karena keduanya menjalani ibadah spiritual segalanya berdua, tawaf, di raudhah, sa’i dan menjalankan umrah berdua. Di penghujung umrah, dia bertekad untuk bisa Kembali kesana bersama kedua orang tua secepatnya.

"Alhamdulillah, di tahun 2016, harapan untuk kembali ke tanah haram bersama kedua orang tua pun terlaksana. Awal Februari 2016, saya sengaja pulang sendiri untuk menemui orang tua di daerah Kudus. Saya utarakan niat saya berangkat umrah bersama mereka. “Pak Bu, Alhamdulillah saya dapat rezeki, bagian dari janji, saya sudah bernazar kalau ada rezeki, Bapak Ibu berangkat.” “Yang Bener Nang (panggilan ke saya)?” kisah dia.

Nur Efendi mengangguk, terlihat wajah haru dan air mata mengalir dari mata keduanya. Mereka langsung memeluk putra tercintanya. Mereka begitu senang, karena di kampung halaman, tidak banyak yang bisa berangkat umrah.

Sepekan sebelum berangkat pada Maret 2016, orang tua datang ke Bandung untuk manasik. Dia benar-benar urus semua keperluan hingga yang terkecil, sebagai pengabdian dan memang kewajiban kepada orang tua yang sudah sangat sepuh, persiapan pun dilancarkan.

Saat di pesawat, karena pertama kali ke luar negeri, mereka benar-benar senang dan keheranan. “Wah seperti naik bis ya,” kata Bapak. Di pesawat, mereka menggenggam erat lengan putranya, karena mereka merasa takut.

Ketika tiba di Madinah, ketiganya begitu bersemangat. Bagi Nur Efendi, ini pengalaman spiritual sangat berharga, ketika selama ini sibuk dan sudah berkeluarga sehingga jarang sekali bersua orang tua, kini berkesempatan membersamai mereka, sebagaimana mereka menemaninya sewaktu kecil.

Saat di Masjid Nabawi, mereka dapat berlama-lama di raudhah, berdoa dan menangis bersama. Setelah itu mereka juga mengunjungi Uhud, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Mereka bertanya, dan dia menjawab tentang tempat-tempat itu.

Berkali-kali Nur Efendi mendapati mereka menangis, karena tak pernah menyangka bisa ke Tanah Suci. Apalagi ayah, beliau adalah imam di mushola kampung yang selama ini tidak merasakan langsung berada di Makkah, kini bisa melihat dan beribadah di Baitullah.

“Terima kasih, Nang” mereka menangis. Saya bilang, justru saya yang harus berterima kasih karena bapak dan ibu telah memberikan semua yang terbaik untuk saya, maka membahagiakan mereka adalah kewajiban bagi saya," tutur dia.

Tak hanya kedua orang tuany, Nur Efendi juga berkali-kali menangis, menemani mereka. Bersama mereka sepenuhnya, mulai di Nabawi, Masjidil Haram, Makam Rasulullah, Raudhah, Ka’bah, hotel, makan bersama, semuanya bersama.

Menggandeng mereka bertawaf adalah suatu kenikmatan luar biasa. Rasa syukur terus menerus dia panjatkan kepada Sang Pencipta pemilik Baitullah. Entah berapa kali dia menangis selama thawaf, dan melihat mereka menangis.

“Matur Nuwun, Tak Doakan berkah, Seger Kewarasan, Dimudahkan urusan, dilimpahkan rezekinya,”

Doa-doa yang selalu terlafal dari bibir mereka sambil menitihkan air mata, mendoakan terbaik untuk anaknya. Dan tak ada yang bisa dikatakan selain terus meng-amin-kan doa-doa baik mereka.

Di Tanah Suci, dia berkesempatan mengabdi, birrul walidain langsung kepada kedua orang tua. Ini adalah pengalaman luar biasa, pengabdian kepada orang tua, ikhtiar meneladani Ismail, sebagai anak yang menurut walaupun Ibrahim mengatakan akan menyembelihnya.

Ini adalah pelajaran luar biasa tentang birrul walidain. Dan dia yakin, kebahagiaan orang tua dalam umroh ini telah mengundang keberkahan dan nikmat-nikmat tak terduga, sehingga pada tahun yang sama, Allah kabulkan mimpi yang lainnya.

Harapan di Penghujung Umroh

Dia tidak bermimpi untuk berangkat haji pada tahun 2016. Haji, adalah impian setiap Muslim. Setiap insan yang pernah mengecupkan kening di hamparan sajadah di rumah, tentu ingin sekali merasakan mengecupkan kening mereka di hadapan Rumah Allah, Kakbah.

"Alhamdulillah, dari umroh yang telah saya jalani, saya benar-benar bersyukur. Umroh pertama bersama belahan jiwa, istri yang menemani perjalanan hidup. Perjalanan umrah kedua bersama kedua orang tua, orang-orang paling penting dalam hidup," ujar dia.

Kedua umroh itu merupakan suatu nikmat yang sangat disyukuri, karena tidak semua orang berkesempatan berumrah. Tidak semua orang juga berkesempatan berumrah bersama pasangan mereka. Dan tidak semua orang yang umrah, bisa berumrah bersama orang tua mereka.

Dan dia bersyukur bisa merasakan semuanya curahan limpahan nikmatmu yang tak henti-hentinya. Ketika hendak pulang, pada tawaf perpisahan bersama orang tua, ketiganya menatap Kakbah dengan mata sembab, sambil berguman dalam hati “ Ya Allah izinkan kami kembali mengecupkan kening di hadapan Ka’bah-Mu.”

Doa itu sangat diyakini akan terlafal dari setiap orang yang pernah mengunjungi Tanah Suci. Kerinduan yang hanya bisa terbalas dengan melakukan thawaf, sai, tahallul hingga melalui berdiri, rukuk, sujud di depan Kakbah nan mulia.

Dalam lubuk hati terdalam, ketika harus berpisah dengan kota Nabi, dia selalu menyimpan harap, suatu saat ingin sekali kembali untuk berhaji. Haji, suatu impian bagi setiap insan yang benar-benar ingin menyempurnakan keislamannya.

Salah satu keinginan setiap Muslim adalah menunaikan rukun Islam kelima. Saat itu, keinginan untuk kembali begitu kuat, sambil berangan-angan, bertanya kepada Rabb, dirinya bisa kembali ke Rumah Mu untuk berhaji.

Sudah mafhum, kalau ingin berhaji harus menabung untuk bisa mendaftar dan mendapatkan antrean. Setelah itu, masih harus melunasi biaya haji, sambil menanti sekitar 10 hingga belasan tahun tergantung domisili masing-masing.

Dia sendiri mencoba mendaftarkan orang tua untuk berhaji. Dan benar, antreannya harus menunggu selama 12 tahun, walaupun begitu, haji merupakan salah satu rukun Islam yang harus dijalankan bagi yang mampu. Dia pernah mendengar cerita orang-orang yang berpuluh-puluh tahun harus menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Banyak Muslim ingin untuk bisa ke tanah suci. Bertahun-tahun menabung, hingga akhirnya bisa berangkat. Namun, ada pula yang memiliki kelapangan, tapi masih enggan berangkat. Pada saat umroh bersama orang tua itulah, dia memohon kepada Allah agar mengizinkannya kembali untuk berhaji.

Balasan Kontan

Selepas bulan Ramadhan di tahun 2016, dia mendapatkan kabar  mengejutkan yang tidak biasa. Bagaimana tidak, keinginan dia untuk kembali ke Rumah Allah untuk berhaji tiba-tiba menjadi kenyataan.

Bukan sekedar antrian haji maju tetapi dia mendapat undangan dari Kerajaan Arab Saudi untuk berhaji di tahun itu juga, tahun 2016.

"Ya Rabb, nikmat mana lagi yang kami dustakan! Saya begitu gembira, tak henti-hentinya bersujud syukur, dan tak terasa air mata gembira bercampur haru ini mengalir. Haji yang saya idamkan dan tidak terbayang entah kapan bisa terwujud, ternyata Allah undang kembali saya ke rumah-Nya pada bulan September 2016," ujar dia.

Artinya, hanya dalam waktu lima bulan (Maret – September), Allah mengijabah keinginan yang dia utarakan saat berumrah bersama orang tua. Hal yang tampaknya mustahil bagi manusia, ternyata sangat mudah bagi Allah. Hal yang tidak masuk akal, di luar nalar, hal yang dipikirkan tidak memungkinkan untuk terjadi, rupanya bisa terjadi.

Selama ini dia berpikir, untuk berhaji harus menabung, mengantre, menanti, dan menjalani beberapa prosedur, dan rupanya Allah memiliki jalan lain untuk mengundang hamba-Nya ke rumah-Nya dengan cara yang Dia kehendaki. Kabar yang begitu tiba-tiba ini sebenarnya membuat dia seakan harus segera mempersiapkan keberangkatan dengan waktu yang cukup singkat, sekitar satu bulan saja.

Selagi melakukan persiapan itu, dia merenung, boleh jadi, undangan haji ini adalah balasan Allah karena dia mencoba membahagiakan kedua orang tua dengan mengajaknya berumrah. Dan Allah langsung membayarnya kontan, dengan mengabulkan mimpi dia untuk berhaji.

Dia sangat meyakini, bahwa dengan membahagiakan orang tua, ridha Allah akan turun. Sebab, kita semua tahu bahwa tidak ada hijab antara doa ibu dengan Allah.

Undangan haji ini mungkin adalah jawaban atas doa orang tuanya saat di Tanah Suci. Dia selau teringat sabda Nabi Shallallaahu alaihi wasallam “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orangtua.” (Hadits Riwayat at-Tirmidzi).

Dengan memberikan sedikit kebahagiaan kepada orang tua, Allah kabulkan mimpi besar kita. Betapa luar biasanya doa orang tua. Benar apa yang disampaikan Rasulullah SAW bahwa berbakti kepada orang tua merupakan salah satu amal paling utama dan paling dicintai Allah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, sahabat mulia Abdullah Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah Shallallahu “alaihi wa sallam. “Aku bertanya kepada Nabi, “Amal apa yang paling dicintai Allah ?”

Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Pertama sholat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah”.( HR Bukhari dan Muslim).

Dengan kita berbuat baik kepada orang tua, maka Allah pun akan menunjukkan kuasa-Nya dengan balasan terbaik, bahkan ketika kita masih hidup.

Belajar dari Orang Besar

Undangan yang tiba-tiba ini juga sejalan dengan dimudahkannya proses pembuatan visa hingga keberangkatan. Dia sebagai undangan pihak Kerajaan Saudi Arabia, hanya tinggal menaati prosedur dalam pengurusan dokumen saja.

Selama mempersiapkan haji, dia terus bertanya-tanya, apakah undangan ini benar, kalau benar, siapa saja yang akan berangkat, bagaimana teknis keberangkatan. Dari Bandung ternyata tidak hanya dia sendirian yang mendapat undangan, tetapi juga ada beberapa orang lainnya.

Terkadang juga dia masih berpikir, apakah dia benar-benar berangkat, karena prosesnya sangat mudah, tidak harus datang ke kedutaan, tidak perlu mengurus dokumen sendirian, dan sebagainya.

"Saya jadi ada rasa was-was, benarkah saya bisa berangkat haji. Saya hanya dikabari bahwa saya diminta datang ke Bandara Soekarno Hatta pukul 22.00 WIB pada 4 September 2016. Begitu aneh bukan? Saya bahkan tidak tahu, nanti akan seperti apa di sana? Ada berapa yang akan ikut? Siapa saja? Walaupun demikian, saya persiapkan sebaik-baiknya keberangkatan ini termasuk ilmu tentang haji sendiri," jelas dia.

Mengetahui dia akan berangkat haji, orang tuanya menangis haru dan mendoakan. Istri dia awalnya merasa keheranan, karena undangan yang begitu tiba-tiba, namun dia pun sangat bersyukur dengan hadiah dari Allah ini. Dia hanya bisa bersyukur dan berdoa.

Semua menjadi terang benderang ketika malam itu, dia tiba di Bandara Soekarno Hatta. Di sana, dia bertemu orang –orang berpakaian putih-putih yang menjadi pakaian khas orang berhaji. Barulah di sana, dia mulai berkenalan, dengan siapa saja sebenarnya dia berangkat.

Satu per satu jamaah haji undangan datang, dan totalnya ada sekiar 60 orang. MasyaAllah, dia sangat bersyukur bisa berangkat bersama mereka yang menurut dia merupakan orang-orang hebat. Rupanya dia berangkat bersama beberapa wali kota di antaranya wali kota Padang, wali kota Sabang, kepala suku, hafiz-hafiz cilik, dai-dai pedalaman, dai-dai daerah, hingga jurnalis.

Di sana, ada salah satu undangan yang membuat hati ini terenyuh yaitu dua orang hafiz cilik bernama Masyitah dan Kayla, keduanya tidak bisa melihat (disabilitas netra).

"Mereka saja yang Allah berikan ujian dengan tidak bisa melihat mampu menjadi penghafal Alqur’an, lalu bagaimana dengan saya, dengan kita, yang Allah beri kesempurnaan dalam panca indra? Bukankah seharusnya kita harusnya bisa lebih berdekat-dekatan dengan Alqur’an?" ujar dia,

Kisah Masyita ini sempat menjadi viral, karena saat Syaikh Khalid Al Hamudi, perwakilan Kerajaan Saudi Arabia memberikan hadiah haji, Masyita berdoa dengan lirih, ”Ya Rabb, izinkan kami melihat Ka’bah” kemudian tangis menyeruak seisi ruangan. Masyita menjadi wasilah diundangnya orang tua dan kakek neneknya.

Selain Masyita dan Kayla, dia bertemu pak Tom Lani dan Nafaris, kepala suku asal Papua yang berjuang di pedalaman untuk berdakwah. Kisahnya sungguh menggetarkan terutama alasan mereka mengenalkan Islam.

“Tak pernah terbayangkan orang seperti saya bisa haji,” kata dia. Banyak pelajaran yang bisa dipetik berhaji bersama mereka. Merekalah yang membuat saya semakin semangat untuk terus berbuat bagi umat. Mereka, yang memiliki semangat dakwah pada bidangnya masing-masing,"jelas dia.

Salah satu tokoh yang begitu sederhana, rendah hati, dan juga ramah yang tidak disangka adalah wali kota Padang Mahyeldi bersama istrinya, yang berbaur bersama dia. Inilah salah satu hikmah haji yang benar-benar tampak di depan mata.

Semua tamu undangan haji berbaur, tanpa melihat jabatan apapun. Baik dia itu pejabat, anak muda, wartawan, apapun profesi dan jabatannya selama sehari-hari, ketika kita berhaji bersama, seakan kita menjadi satu keluarga.

Seorang pejabat tak segan untuk meminta dipijit, sekaligus juga memijitnya. Dia melihat bagaimana wali kota Padang mengantre dengan sabar, duduk, berbincang dan bercengkrama bersama. Di sana, para pejabat yang ditemui tak bersekat.

Mereka tidur layaknya kami tidur ‘ngampar’ di Mina. Mereka menikmati berjalan kaki, menikmati penantian di Bandara King Abdul Aziz, menikmati prosesi haji bersama. Haji, membawanya ke titik bahwa kita semua di hadapan Allah adalah sama.

Hal itu disimbolkan dengan dua lembar kain ihram yang kami kenakan, semuanya sama. Tak ada ihram untuk pejabat, untuk warga, untuk pedagang, untuk pengusaha, untuk CEO. Semuanya sama, seragam, sejenis, dan kami temukan keseragaman ini dalam haji.

Kisah menarik dari pak wali kota ini, beliau diundang haji salah satunya setelah mengimami perwakilan ulama dan da’i dari Saudi, Syaikh Khalid Al Hamudi yang mendengar begitu tartil dan merdunya bacaan Alqur’an Mahyeldi. Dia belajar bahwa di sela kesibukan beliau sebagai pemimpin, beliau masih sempat rutin membaca Alqur’an, dan itu kami temukan juga saat berhaji bersama.

"Haji ini bagi saya merupakan sarana pembelajaran. Allah perjalankan saya dengan orang-orang besar. Saya bisa belajar banyak, memetik hikmah sepanjang perjalanan, dan kembali dengan berjuta pelajaran. Madrasahah Hajj,"ujar dia

Ujian Menuju Kota Nabi

“Dan umumkanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji! Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh…. hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan thawâf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullâh).” (Al-Hajj /22: 27-29).

Dalam surat Al Hajj tersebut, Allah meminta kepada Nabi Ibrahim agar mengumumkan dan menyerukan kepada manusia untuk mengerjakan haji. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, ketika Allah meminta Nabi Ibrahim untuk menyerukan haji, Ibrahim bertanya. ‘Ya Rabb-ku! Bagaimana caraku menyampaikannya kepada manusia sedangkan suaraku tidak sampai kepada mereka?’ Maka dikatakanlah kepadanya, ‘Umumkanlah! Dan kami akan menyampaikannya.’

Sungguh, seruan haji sudah diserukan kekasih Allah, Ibrahim AS, Bapak dari Para Nabi. Dan disebutkan pula bahwa Allah sendiri yang akan menyampaikannya. Dan ini yang dia rasakan. Perjalanan ini membuat dia sadar bahwa jika Allah berkehendak mengundang hamba-Nya, maka dengan mudah hal itu terjadi.

Jutaan orang setiap tahunnya, datang menyemut bertawaf, bergetar bibir, melafalkan kalimat talbiyah. “Labbaik Allahumma Labbaik.Labaika Laa Syarika Laka Labbaik. Innal Hamda Wan Ni'mata Laka Wal Mulk. Laa Syarika Lak.

Kalimat talbiyah ini terlafal sejak berangkat malam itu, meninggalkan Indonesia tercinta. Berbekal keyakinan bahwa seruan ini adalah seruan Allah yang diperintahkan berabad silam kepada Nabi Ibrahim.

Perjalanan haji adalah perjalanan napak tilas pengorbanan kekasih Allah, Nabi Ibrahim. Maka dia berkata kepada hati ini: bersiaplah melalui perjalanan dahsyat, perjalanan penuh makna, perjalanan penuh hikmah, penuh pelajaran dari teladan kita Nabi Ibrahim hingga Rasulullah.

Maka dia tekadkan untuk benar-benar meresapi prosesi demi prosesinya. Dan benar saja, begitu kita tiba di Bandara King Abdul Aziz pada hari Ahad pagi (5 September 2016), perjalanan tak semulus yang dibayangkan.

Tulisan “Selamat Datang Tamu Allah’ dengan poster Raja Salman bertebaran di dalam bandara. Setelah tiba kira-kira waktu duha, seluruh tamu undangan rupanya harus menunggu di dalam bandara masih sekitar lima jam.

Mereka masih harus mengantri untuk pengecekan paspor, duduk lama berbaris, menanti dipanggil. Hingga akhirnya siang, baru bisa keluar dari ruangan tunggu dan pengecekan imigrasi. Namun, ujian belum usai, di ruang tunggu terbuka di Bandara, mereka masih harus menunggu hingga larut malam.

Di sinilah ujian kesabaran tampak. Gerah, letih setelah perjalanan belasan jam dari Indoensia, mereka masih harus menanti. Dia melihat ada jamaah yang teriak karena tak sabar. Petugas hanya berkata “Isbir ya duyufurrahman”, Sabar wahai tamu Allah.

"Ya Rabb, kalau begini saja kami sudah tidak sabar bagaimana nanti dengan prosesi haji? Saya sendiri sejujurnya sudah lelah dan letih. Dalam kekosongan itu, kami menanti dengan aktivitas berkenalan dengan jamaah, ada yang menanti, saling memijat, dan sebagainya," ujar dia.

Setelah pemimpin rombongan mengurus dengan pihak otoritas Saudi, kira-kira pukul 23.00 seluruh jamaah haji undangan raja baru bisa menuju Madinah. Artinya mereka sudah menanti sekitar 17 jam di bandara.

Bagi dia ini adalah ujian awal kesabaran, bagaimana tetap berkhusnuzan pada Allah seperti halnya Ibrahim yang benar-benar sabar. Malam itu mereka berangkat ke Madinah, dan tiba kira-kira Senin pagi keesokan harinya.

Saat itu sudah masuk hari kedua dalam perjalanan dari Indonesia, dan masih belum beristirahat. Lelah memang, tapi begitu tiba di Madinah dan mendapat tempat tinggal dekat dengan Masjid Nabawi, rasa letih tiba-tiba lenyap.

Entah mengapa, setelah menaruh barang di hotel, walaupun belum sempat istrirahat, dia ingin sekali langsung meluncur ke Masjid Nabawi. Ada rasa yang begitu menggebu-gebu dalam dada ini.

Di sini, dia benar-benar kembali menemukan energi besar. Rasa letih selama perjalanan sirna. Masjid Nabi, Raudhah, dan Madinah, memberikan nuansa tersendiri, yang hanya bisa dirasakan secara personal. Madinah, menjadi napak tilas sang Nabi membangun peradaban, dan dia sangat bersyukur dapat menikmati kota Madinah sebelum kami bertolak ke Makkah.

Napak Tilas Pengorbanan Ibrahim

Haji selalu mengingatkan pada perjuangan keluarga Nabi Ibrahim. Perjuangan mereka diabadikan dalam prosesi haji, yang begitu melelahkan secara fisik. Namun, sebagaimana perintah Allah, selalu ada hikmah besar di dalamnya.

Setelah Miqat di Bir Ali, dia bertolak ke Makkah al Mukarramah dengan niat haji. Dengan kain ihram dari Madinah, kami menuju Makkah. Ada pemandangan yang begitu menggugah jiwa, ketika seisi bus penuh dengan kalimat talbiyah.

Kalimat talbiyah benar-benar memenuhi seisi bus. “Labbaik Allahumma Labbaik.Labaika Laa Syarika Laka Labbaik.”

Rasa yang memuncah dalam dada dan sulit diungkapkan, bahwa dia akan menapaki prosesi haji. "Ya Rabb, terima kasih atas segala nikmat ini. Di dalam bus, kami melihat pemandangan berupa bebatuan, gurun dan panas terik menyengat selama 6-7 jam. Tetiba air mata tumpah, membayangkan begitu berat perjuangan Rasulullah berhijrah, melewati terik panas bebatuan dengan berjalan kaki. Sedangkan kami di sini, di dalam bus ber-AC, terkadang masih merasakan gerah dan kelelahan. Kalimat talbiyah menemani kami sepanjang perjalanan menuju Mekah,"ujar dia.

Akhirnya pada siang hari dia tiba di daerah Aziziyah Mekah, sekitar satu hingga dua kilometer dari Masjidil Haram. Pimpinan rombongan menyampaikan bahwa jamaah haji diizinkan beristirahat dan tengah malam nanti akan bersama-sama menjalani prosesi umrah wajib, menandakan awal haji.

Dalam Umroh, pimpinan rombongan mengingatkan tentang perjalanan hijrah Nabi Ibrahim menuju Mekah, yang awalnya berupa negeri yang tandus. Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan bayinya, berbekal keyakinan pada Allah, bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba yang taat padaNya.

Nur Efendi dan jamaah lainnya lalu melakukan sa’i, lari-lari kecil dari bukit Safa – Marwah tujuh kali. Membayangkan dahulu di tengah terik bagaimana Siti Hajar harus mencari air untuk putranya, Ismail melalui perjalanan melelahkan, sedangkan kini kondisi Safa-Marwah sudah lebih nyaman di dalam Masjidil Haram, dengan suasana sejuk. Ya Rabb, nikmat mana lagi yang kami dustakan.

Sejatinya, haji dan umroh memang napak tilas perjuangan keluarga tauhid, keluarga Ibrahim. Setelah itu, jamaah haji bersiap untuk mulai prosesi haji. Pada 8 Dzulhijjah, kami melaksanakan tarwiyah di Mina.

Ini kali pertama ke tenda di Mina dam tinggal di dalam tenda sederhana, beralas karpet, bertenda sederhana, namun cukup kuat di Maktab 51, dekat terowongan ke 2 Mina menuju Jamarat, tempat Jumrah Aqabah.

Berbeda dengan rombongan yang pada umumnya langsung menuju Arafah, bersyukur, dia berkesempatan menginap tarwiyah di Mina. Detik inilah prosesi haji dimulai.

Di Mina, sebagaimana sunnah nabi, untuk memperbanyak amal shalih. Paginya, pada 9 Dzulhijjah adalah salah satu pengalaman hidup yang paling berkesan yang pernah Allah berikan. Hari itu adalah yaumul arafah, hari paling istimiewa. Pagi-pagi kami menaiki bus, menuju Arafah dari Mina.

Sungguh, mata ini terbelalak melihat kebesaran Allah. Jutaan manusia menaiki bus, berjalan kaki, semua menuju Tanah Arafah. Semua suku, warna kulit, berbeda bahasa, bangsa, semua mengucapkan kalimat talbiyah.

Pemandangan langka yang sungguh menakjubkan. Lautan manusia itu berkumpul di Padang Arafah, untuk berhaji. Di Arafah, kami tiba di tenda jamaah haji Indonesia. “Haji adalah Arafah,” kata Rasulullah. Inilah prosesi terpenting dari haji.

Setelah kumandang azan berkumandang dan melaksanakan shalat Dzuhur, perwakilan Kedubes Saudi melakukan khutbah Arafah. Beliau mengingatkan tentang keistimewaan hari Arafah yaitu sebaik-baiknya hari, sebaik-baiknya waktu.

Ba’da Dzuhur hingga matahari terbenam adalah waktu sempit di mana Allah akan mengijabah segala doa kita, dan itu terjadi di Arafah! Maka, jangan sia-siakan waktu mulia ini. Dan inilah salah satu pengalaman yang sangat berkesan yaitu Arafah, Arafah menjadi cerminan bahwa kita begitu kecil, begitu hina.

"Saya merasakan betul, bagaimana Arafah begitu istimewa. Berulang kali air mata ini bercucur di Tanah Arafah ini. Di Tanah ini, dahulu Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu untuk menyembelih Nabi Ismail. Di tempat ini pula, disebutkan sebagai miniatur dari Padang Mahsyar. Dan memang, saat di sana, saya merasa kerdil, kecil, dan merasa inilah memang miniatur Padang Mahsyar ketika jutaan manusia berkumpul di satu tempat memohon dengan penuh harap kepada Allah," jelas dia.

Di tempat ini, hijab seakan dibuka, dia merasa makhluk hina di hadapan Allah, dengan berlumur dosa. Maka menangislah di tempat ini, dengan segala harap dan khauf. Banyak doa terlafal dari bibir, memohon ampun, dan berharap Allah mengabulkan segala hajat.

Waktu enam jam itu begitu berharga, terasa seakan waktu berhenti berdetak. Dia benar-benar merasakan pengalaman spiritual terbesar yang sulit diungkapkan. Pengalaman emosional yang benar-benar memuaskan dahaga jiwa, membuat air mata mengalir deras, merasakan kedekatan dengan sang Maha Kuasa.

Dalam Arafah, dia juga berdoa bersama agar Indonesia, negeri kami, menjadi negeri yang berkah dan selalu dalam lindungan Allah. Itulah pengalaman ruhani yang benar-benar membekas, ketika kita dengan segala kehinaan menghadap Allah, berharap Allah mengampuni seluruh dosa-dosa kita yang saat itu seakan dibukakan semua apa yang telah kita lakukan.

Malamnya, dia dan rombongan bertolak menuju Muzdalifah, mengambil kerikil-kerikil untuk dilemparkan, sebagaimana kerikil itu dilemparkan oleh Ibrahim, Ismail dan Hajar untuk melempar syaitan ketika syaitan mengganggu mereka. Dan malam itu, jutaan manusia tidur beratapkan langit.

Pagi hari, dia menuju Mina, bersiap menuju jamarat di Mina untuk lempar jumrah di Jamrah Ula (sugra), Jamrah Wusta (saniyah), dan Jamrah Aqabah (kubra), sebagai simbol melawan godaan syaitan. Lelah memang karena harus berjalan berkilo-kilo meter, tetapi disinilah terasa kenikmatannya.

Selama tiga hari kami tinggal di Mina, tempat bersejarah di mana Nabi Ibrahim berhasil melewati ujian, melewati detik menegangkan untuk menyembelih Ismail, hingga Allah ganti Ismail dengan gibas (domba). Selama di Mina di Maktab 51 dia bertemu orang-orang besar, berbincang, belajar, beramal shalih, bersilaturahim.  Di sini pula, jutaan orang berkumpul, dan pertanyaannya, bagaimana bisa ada makanan, minuman, bahkan melimpah buah-buahan untuk jutaan orang.

Di sinilah dia berpikir, Allah mengabulkan doa Nabi Ibrahim dalam surat Ibrahim. “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan Sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di deket rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat maka jadikanlah sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan; mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Q.S Ibrahim/14 : 31)

Dan dia melihat sendiri bagaimana melimpahnya buah-buahan, makanan, dan segala rezeki lainnya. Tiada kata lain selain syukur sebesar-besarnya, dapat menapaki kembali perjuangan keluarga Ibrahim dan juga mengunjungi Kota Nabi.

"Alhamdulillah, Ya Rabb, izinkan kami untuk bisa kembali mengunjungi RumahMu, dan jadikan haji kami menjadi haji yang mabrur," tutup kisah dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement