Senin 20 Jul 2020 17:34 WIB

Dianggap Merugikan, Risma Diminta Cabut Perwali

Penerapan jam malam tidak mempunyai dasar hukum yang jelas.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Warga beraktivitas di Jembatan Suroboyo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (11/7/2020). Jembatan Suroboyo yang merupakan salah satu ikon kota Surabaya berlokasi di kawasan Kenjeran itu ramai  dikunjungi warga saat pandemi COVID-19 untuk berolahraga, bersepeda ataupun sekedar menikmati pemandangan pantai.
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Warga beraktivitas di Jembatan Suroboyo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (11/7/2020). Jembatan Suroboyo yang merupakan salah satu ikon kota Surabaya berlokasi di kawasan Kenjeran itu ramai dikunjungi warga saat pandemi COVID-19 untuk berolahraga, bersepeda ataupun sekedar menikmati pemandangan pantai.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Lembaga Bantuan Gukum Surabaya meminta Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencabut Perwali Surabaya Nomor 33 tahun 2020 sebagai perubahan atas Perwali Nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya. Perwali tersebut dianggap merugikan masyarakat, utamanya buruh.

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf f dan Pasal 24 ayat (2) huruf e Perwali tersebut mewajibkan para pekerja dan pelaku perjalanan yang ingin masuk Kota Surabaya untuk melakukan rapid test terlebih dahulu, dengan status nonreaktif Covid-19. Meskipun tujuannya untuk melakukan screening, kata dia, hal tersebut dirasa berat bagi buruh dan masyarakat, terutama bagi pekerja yang berpenghasilan rendah.

"Mahalnya biaya rapid test secara mandiri hingga jangka waktu pengunaan hasil rapid test yang hanya berdurasi 14 hari akan membuat masyarakat terutama bagi kalangan pekerja yang masuk ke Kota Surabaya harus melakukan rapid test secara berulang," kata Kordinator Posko Pengaduan Covid-19 LBH Surabaya Jauhar Kurniawan di Surabaya, Senin (20/7).

Kewajiban tersebut, kata dia, merugikan tidak hanya karena masa hasil rapid test yang terbatas. Namun kualitas dari hasil rapid test tersebut tidak akurat. Hak atas informasi masyarakat dianggapnya terlanggar karena adanya kesimpangsiuran mengenai harga yang diterapkan untuk melakukan rapid test.

"Tidak hanya rumah sakit namun beberapa oknum yang memanfatkan keadaan untuk menyelengarakan rapid test dengan harga yang tidak wajar," ujarnya.

Problem lainnya, kata Jauhar, dengan adanya perwali Nomor 33 Tahun 2020 Pemkot Surabaya menerapkan jam malam layaknya PSBB. Hal tersebut juga tidak tepat karena dengan melakukan jam malam tidak terlalu berdampak dengan penurunan penyebaran Covid-19.

Pemberlakuan jam malam akan berpotensi melanggar hak, terutama bagi pedagang kecil atau pekerja informal yang sedang mencari penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari.

"Selain itu dasar hukum yang dipakai dalam penerapan jam malam tidak mempunyai dasar hukum yang jelas karena membatasi mobilisasi aktivitas masyarakat layaknya penerapan PSBB," ujarnya.

Menurutnya, ketentuan pemberlakuan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Perwali ini tidak sah. Karena bertentangan dengan Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang no 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan peraturan perundangan yang mengatur perundang-undangan yg dapat memuat sanksi hanya UU/Perppu dan Perda. Artinya produk hukum Perwali tidak bisa memuat sanksi.

Dia pun mendesak Pemkot Surabaya mencabut Perwali nomor 33 Tahun 2020 karena merugikan buruh dan masyarakat. Dia juga meminta menghentikan kewajiban penggunaan rapid test Covid-19 ataupun kebijakan dalam pencegahan Covid-19 yang merugikan bagi pekerja atau masyarakat.

Pemkot Surabaya juga dimintanya tidak memberlakukan sanksi dalam Perwali nomor 33 tahun 2020 karena tidak tepat diatur dalam Perwali. Selain itu, Pemkot Surabaya diminta menjamin hak atas kesehatan masyarakat dengan tidak membuat kebijakan yang menyusahkan dan merugikan masyarakat, terutama buruh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement