Kamis 16 Jul 2020 23:42 WIB

Ustaz Masyhuril Khamis : Menumpahkan Kerinduan di Tanah Suci

Saat itu terlihat toleransi umat Islam yang sangat tinggi seperti mendahulukan lansia

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ustaz Masyhuril Khamis : Menumpahkan Kerinduan di Tanah Suci (ilustrasi).
Foto: Republika/ Amin Madani
Ustaz Masyhuril Khamis : Menumpahkan Kerinduan di Tanah Suci (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ustaz Masyhuril Khamis berhaji pertama kali di tahun 2000. Seperti halnya melakukan langkah pertama dalam satu kegiatan perasaan khawatir dan takut meliputi sepanjang persiapan hingga perjalanan ketika memasuki Tanah Suci.

"Kita rasanya berdebar ketika menjejakkan kaki di hadapan ka'bah. Ini karena saya sejak awal berniat lillahitaala bukan karena manusia. Sejak saat itu saya telah berserah seutuhnya agar prosesi ibadah ini dapat berlangsung dengan baik," ujar dia kepada Republika.co.id, Kamis (16/7).

Air mata berlinang sejak pertama melihat ka'bah. Tentu ini adalah air mata keharuan seperti kerinduan yang tertahan sejak lama dan tumpah ruah seketika.

Karena menjadi gelombang terakhir, diapun langsung menuju Makkah. Suasana di sanapun telah padat dengan jamaah yang tumpah ruah.

Ustaz Masyhuril kemudian memulai tawaf pertama, masih ada rasa khawatir, karena perawakan asia yang relatif kecil akan terhimpit dengan jumlah manusia yang banyak. Apalagi dia berdampingan dengan istri.

Namun tetap dengan do, Ustaz Masyhuril masuk ke dalam lautan manusia dan bersyukur dapat mendekati ka'bah dan menyelesaikan tawaf. Begitu juga ketika sholat sunnah di makam Ibrahim, ketika itu masih diizinkan untuk mendekat.

"Haru tidak bisa terbendung ketika menatap Multazam. Teringat hidup dosa dan kurangnya amal kita terbayang di depan mata," kenang dia.

Ibadah lain yang paling berkesan adalah ketika berada di hijr Ismail. Di tempat ini dia teringat kisah Nabi Ismail kecil yang ditinggalkan ibunya untuk mencari air. Sama seperti dia dan istri, yang harus meninggalkan anak balita yang barus berusia tiga tahun untuk berhaji.

Tak kalah berkesan juga ketika berada di Arafah. Fasilitas saat ini berbeda jauh dengan ketika pertama dia berhaji.

Antrian untuk mandi atau ke toilet cukup panjang, namun memiliki kenangan tersendiri. Karena di saat itu terlihat toleransi umat Islam yang sangat tinggi, seperti mendahulukan lansia untuk kebutuhannya.

Ketika tidur pun, setiap Muslim saling menyediakan tempat untuk saudara lainnya. "Puncaknya adalah muhasabah di puncak Arafah, terutama tentang diri kita. lalu melontarkan jumah teapi terkena batu, ini saya alami sendiri. Saya berpikir mungkin pikian saya sedang kotor dan tidak berhati-hati karena saat itu jamrotul aqabah dan kerumunan sangat padat,"ujar dia.

Tak hanya Makkah, keharuan pun terasa hingga makam Rasulullah di Madinah. Dahulu masih bebas untuk berlama-lama di Raudah, meski harus berjubel, tetapi kini hanya dibatasi lima hingga sepuluh menit saja.  

Dalam perjalanan spiritual ini, Ustaz Masyhuril bersyukur karena sejak di sana, satu per satu doanya diijabah oleh Allah SWT. Meski memiliki seorang putri yang memiliki kekurangan fisik, tetapi kini seorang hafizhah dan mendapatkan pasangan yang sholeh.

Dia juga selalu meminta agar anak-anaknya selalu berada dalam penjagaan Allah sehingga selalu berjalan di jalan yang lurus. Bagi dia, ujian dari Allah tidak melulu soal kesedihan tetapi kemudahan, dan sejauh mana dia tetap bersyukur dengan kemudahan ini.

Perjalanan haji yang berkesan, juga dialami ketika haji kedua di tahun 2016. Ketika itu dia berangkat bersama amirul hajj Menteri Agama. Ketika itu dia memahami bahwa banyak jamaah dari daerah yang tidak paham dengan kondisi di Saudi.

Banyak di antara mereka yang kehilangan arah ketika berada di kakbah. Demikian juga ketika di rumah sakit, jamaah haji Indonesia sepatutnya bersyukur karena memiliki rumah sakit di Saudi. Namun saat melihat jamaah ketika itu, sebagian besar disana mengalami hilang ingatan karena dehidrasi berat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement