Sabtu 11 Jul 2020 06:30 WIB

Muhadjir Effendy, Topi Bintang Empat, dan Dunia Militer

Menko PMK belakangan ini memakai topi bintang empat kala kunker ke daerah, mengapa?

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof Dr Muhadjir Effendy.
Foto: Dok
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof Dr Muhadjir Effendy.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Prof Dr Muhadjir Effendy belakangan ini, sibuk keliling daerah. Dia bersama Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen Donny Monardo, mengunjungi wilayah paling barat dan timur Indonesia. Di samping melakukan kunjungan kerja yang sesuai bidang tugasnya, Muhadjir juga mendukung pemerintah daerah (pemda) dalam menangani pandemi Covid-19 di wilayah masing-masing.

Namun, ada yang berbeda dalam penampilan Muhadjir belakangan ini. Apa itu? Tentu saja topi yang selalu dikenakannya kala kunjungan lapangan. Bagi penulis, yang menarik dengan topi itu adalah adanya tanda bintang empat. Di Tentara Nasional Indonesia (TNI), bintang empat berarti pangkat Jenderal. Laksamana di TNI AL atau Marsekal di TNI AU.

Pangkat tertinggi dalam dunia kemiliteran. Hanya kepala staf tiga matra dan panglima TNI yang berhak menyandang bintang empat di Indonesia. Pun jabatan mereka setara dengan menteri. Tidak masalah jika akhirnya Muhadjir mengenakan topi bintang empat. Apalagi, jabatannya sebagai koordinator menteri.

Biasanya, figur nasional yang selama ini identik memakai topi dengan tanda bintang adalah Prabowo Subianto. Hanya saja, hal itu dilakukan Prabowo ketika memakai topi berlogo Partai Gerindra. Bintang tiga merujuk pada pangkat terakhirnya di militer sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando (Dansesko) ABRI. Sementara publik kebanyakan tahunya Prabowo adalah eks Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Pangkat terakhirnya Letnan Jenderal (Letjen).

Itu pun topi dipakai Prabowo jika ada acara terkait partainya dalam kapasitas sebagai ketua umum. Adapun selama menjadi Menteri Pertahanan sejak 23 Oktober 2019, Prabowo sekarang malah gemar memakai topi kopi. Topi warna krem yang selaras dengan warna baju safari yang menjadi favoritnya. Sehingga, sekarang Prabowo malah jarang terlihat memakai topi dengan logo bintang tiga.

Menurut Muhadjir, ia memakai topi itu bukan atas keinginannya sendiri, melainkan sudah disediakan staf. Dan, ia pun tak mau ambil pusing menanggapi tanda bintang empat di topi tersebut. "Itu topi tinggal pakai. Tidak tahu siapa yang punya ide memasang bintang itu," kata Muhadjir saat dikonfirmasi penulis.

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini, merasa topi yang dipakainya hanya untuk mendukung kerjanya sebagai menteri kala kunjungan ke daerah. Karena itu, ia tidak memiliki maksud apa pun dengan simbol tersebut. "Tidak ada (filosofi apa pun)," ucap Muhadjir menjelaskan tanda topi yang dikenakannya.

Seperti pada kunjungan ke Jayapura, Provinsi Papua pada 7 Juli kemarin, Muhadjir yang mengenakan batik merah dan memakai masker putih, mengenakan topi bintang empat. Dalam rombongan, ia mengajak dua anak buahnya yang menyandang pangkat bintang tiga. Satu Letjen aktif, yaitu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dan satunya Letjen Purnawirawan, yaitu Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Pada pekan sebelumnya kala berkunjung ke Banda Aceh, Provinsi Aceh, topi yang sama juga dikenakan Muhadjir.

Secara struktur jabatan, Muhadjir juga membawahi satu Jenderal Purnawirawan lagi, yaitu Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi. Fachrul, abituran Akademi Militer (Akmil) 1970 ini terakhir menjabat sebagai wakil panglima TNI (1999-2000) dan sekretaris jenderal Departemen Pertahanan (1999), sebelum jabatan itu dibubarkan pada era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Hanya saja, yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19, Muhadjir memang berurusan langsung dengan Letjen Terawan dan Doni Monardo. Apakah karena anak buahnya berasal dari TNI AD, kemudian Muhadjir sampai harus memakai topi bintang empat? Hanya ia sendiri yang tahu. Meski begitu, keterkaitan Muhadjir dengan dunia militer bukan barang. Banyak yang tidak tahu, jika Muhadjir memiliki latar belakang sebagai pengamat militer sebelum menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) pada 2016.

Kala itu, Muhadjir yang merupakan representasi Muhammadiyah menggantikan Anies Rasyid Baswedan. Proses reshuffle kala itu, cukup mengagetkan. Banyak yang tidak menyangka, mengapa Anies dicopot. Bahkan, pada awal-awal Muhadjir menjabat, ia kerap menjadi sasaran perundungan di media sosial (medsos). Termasuk saat ia mewacanakan sistem full day school bagi siswa sekolah. Serangan kepadanya tak berhenti, sampai ia harus membuat sesi konferensi pers khusus untuk mengklarifikasi ide tersebut.

Sepertinya pendukung garis keras Anies belum legowo idolanya diberhentikan di tengah jalan. Tentu saja pendukung Anies yang dulu adalah die hard Presiden Joko Widodo (Jokowi), bukan pendukung sekarang, yang saat itu malah berseberangan. Apalagi, orang yang menggantikan Anies adalah figur daerah yang belum teruji di pentas nasional. Namun, akun-akun di medsos, khususnya Twitter, balik arah ketika Anies maju Pemilihan Gubernur DKI (Pilgub) DKI 2017, dan sukses mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sejak itu, gantian akun-akun itu menyerang Anies, dan tidak lagi 'menganggu' Muhadjir.

Kembali ke dunia militer, penulis yang masih berstatus sebagai reporter koran kampus Bestari, berkesempatan meliput jalannya disertasi Muhadjir di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 2008, yang banyak dihadiri koleganya dari pengurus Muhammadiyah Jawa Timur dan dosen UMM. Dia akhirnya dinyatakan lulus setelah mempertahankan disertasi berjudul 'Pemahaman Tentang Profesionalisme Militer di Tingkat Elite TNI-AD' oleh para penguji, termasuk penguji tamu Kustanto Anggoro.

Tidak disangka, penulis diminta seorang dosen untuk meresensi buku Profesionalisme Militer: Profesionalisasi TNI karya Muhadjir dari hasil disertasinya, untuk dipublikasikan di Jurnal Bestari. Penulis pun merasa girang mendapat kepercayaan itu. Apalagi, akhirnya resensi itu dimuat dan bersanding dengan tulisan jurnal karya dosen-dosen UMM. Gara-gara itu, ketika penulis sudah menjadi wartawan dan diminta wawancara pengamat terkait isu TNI, nama Muhadjir yang selalu saya pilih di urutan pertama.

Sebenarnya, ada pengalaman lain yang berkesan tentang Muhadjir. Apa itu? Lupa persisnya tahun berapa, Muhadjir didaulat memimpin khutbah shalat Jumat di Masjid AR Fachruddin. Masjid lima lantai yang sempat menyandang status sebagai masjid kampus terbesar di Indonesia. Karena ada jadwal kuliah Jumat siang, penulis pun memilih Jumatan di Masjid AR Fachruddin yang identik dengan warna putih itu. Dan, untuk pertama kalinya, penulis mendengarkan khutbah Jumat yang tidak biasa.

Untuk pertama kalinya, khutbah Jumat tidak diisi dengan ceramah agama. Muhadjir malah menceritakan konflik Palestina dan Israel. Dia menyinggung tentang jet tempur Israel dan roket pejuang Palestina yang saling melintasi batas negara masing-masing. Intinya, khutbah yang disampaikannya merupakan hal baru yang penulis dapatkan. Penulis tidak menyangka, ternyata khutbah Jumat pun bisa diisi dengan materi kekinian yang dikaitkan dengan pesan-pesan keagamaan.

Ada satu lagi pengalaman tidak terlupakan bagi penulis tentang Muhadjir. Lagi-lagi saat penulis masih berstatus sebagai mahasiswa UMM (2005-2009). Lupa tahun persisnya, tapi suatu siang, penulis sedang menuju area stadion UMM yang berada di sisi timur kampus. Tidak disangka, sang rektor terlihat berlari mengelilingi lapangan. Dia berlatih fisik untuk menjaga kebugarannya lainya prajurit TNI yang di siang bolong berlari sambil memanggul senjata. Mungkin inilah salah satu cara bagi Muhadjir untuk menjaga berat badan agar tetap ideal.

*Penulis adalah wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement