Selasa 07 Jul 2020 21:16 WIB

KH Satori Ismail : Berhaji di Tahun 80-an

Dahulu setiap keberangkatan melalui agen yang dikenal dengan sebutan syekh haji.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Fakhruddin
KH Satori Ismail : Berhaji di Tahun 80-an. Foto: Jamaah Masjidil Haram bertawaf mengelilingi Ka
Foto: Amr Nabil/AP
KH Satori Ismail : Berhaji di Tahun 80-an. Foto: Jamaah Masjidil Haram bertawaf mengelilingi Ka

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pria paruh baya ini mengenang singkat pengalaman hajinya selama hidup. Haji yang paling berkesan baginya adalah kali pertama, tahun 1984.

KH Ahmad Satori Ismail saat itu baru berusia 28 tahun dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar Mesir. Pergi haji merupakan hal luar biasa bagi seorang pemuda asal Cirebon ini.

Ketika itu, berhaji belum seperti sekarang dikelola secara profesional oleh Kementrian Agama. Sistem pengaturan haji di Saudi pun belum teratur seperti saat ini dengan sistem muassasah. Dahulu setiap keberangkatan melalui agen yang dikenal dengan sebutan syekh haji. Mereka yang tergabung dalam syekh haji ini bertugas untuk memandu dan mengurus seluruh perjalanan dan tempat tinggal para jamaah.

Haji merupakan panggilan Allah SWT, sebagai mahasiswa Mesir dengan kemampuan berbahasa arab, Satori mendapatkan kesempatan untuk membantu keberangkatan jamaah haji Indonesia.

"Saat itu saya baru pertama kali berhaji, sebagai mahasiswa saya membantu jamaah haji asal Indonesia. Saya diajak oleh syekh haji Jamil," ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (6/6).

Berhaji di masa itu masih banyak yang menggunakan kapal, meski penggunaan pesawat sudah mulai dilakukan, tetapi biaya haji menggunakan kapal masih terjangkau oleh masyarakat Indonesia.

Satori berangkat di bulan Juni bertepatan dengan Ramadhan. Ketika itu cuaca sedang kemarau sehingga sangat terik sekali.

"Khawatir sesaat ketika ombak besar menerjang kapal, tetapi kita semua selalu berkumpul di mushola kapal dan berzikir bersama sesama mahasiswa Mesir," ujar dia.

Tak terlalu lama berada di kapal sekitar sembilan hari. Setelah sebelumnya dua hari dua malam, dia tiba di Yogjakarta dari Mesir. Satori mengatakan berhaji selagi muda memang lebih mudah. Karena kesehatan dan tenag lebih besar dibanding ketika berusia lanjut.

Saat itu dia mampu berkeliling di beberapa tempat bersejarah, menaiki gunung-gunung saat itu pun tak jadi soal. Arafah, Mina, Muzdalifah, Jabal nur, Jabal tur dan Jabal Rahmah adalah tempat-tempat yang paling sering dikunjunginya.

Ketika di Madinah, beberapa masjid menjadi tujuan utama Satori. Baqu, Masjid Quba, Masjid tujuh dan Qibalatain tempatnya banyak memanjatkan doa. Tak jarang dia sering melihat orang banyak memanjatkan doa sangat khusyuk. Jika ingin membeli buah tangan, dia lebih sering mengunjungi pasar kurma.

Setibanya di Saudi, Satori kemudian meniatkan diri untuk umrah. Umrah pertama kalinya saat itu bertepatan dengan 25 Ramadhan. Jamaah umrah tumpah riuh di Masjidil Haram, layaknya haji akbar. Namun masuk di bulan syawal jamaah umrah akan lebih sedikit, dan dia bisa leluasa untuk beribadah dan sering mencium hajar aswad dan shalat di hijr Ismail begitu juga ketika di Raudah yang tidak penuh sesak.

Ketika menunggu haji akbar, biasanya Satori mengisi waktu untuk belajar bersama beberapa syekh. Saat itu dia belajar kepada Syekh Yasin Padang, khusus untuk mendapatkan ijazah hadist. Bekal mahir berbahasa arab ini yang membuatnya memudahkan belajar kepada banyak guru.

Tiba waktunya berhaji, pengalaman yang paling seru adalah ketika lempar jumrah. Dahulu tempat lempar jumrah masih satu lantai, bagi seorang pemuda kegiatan ini yang paling ditunggu-tunggu. Begitu juga dengan beribadah di dalam masjidil haram dan raudah, dia selalu menyempatkan datang setiap pukul 02.30 hingga waktu syuruq.

"Berbeda dengan saat ini, berdiam diri lama tidak diizinkan, jika telah melaksanakan shalat subuh maka harus segera meninggalkan tempat, bergantian dengan jamaah yang lain,"jelas dia.

Satori menetap di Saudi selama enam bulan, dan pulang kembali ketika bulan Muharram. Sejak saat itu, setiap tahun selama menjadi mahasiswa di Mesir, dia selalu berangkat haji untuk mendampingi jamaah.

Setelah di tahun 2000, berhaji terasa lebih nyaman, karena penginapan lebih baik dan banyak hotel berbintang. Dahulu hotel yang ada hanya hotel intercontinental dan hilton saja.

Nyatanya ketika berhaji mendampingi jamaah tak hanya ketika muda, kini guru besar UIN Syarif Hidayatullah ini juga selalu mendampingi jamaah haji dan beberapa kali mendampingi amirul hajj untuk membantu jamaah haji Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement