Selasa 07 Jul 2020 11:44 WIB

Asal Penamaan Bulan Dzulqadah dan 5 Keutamaannya 

Bulan Dzulqadah bulan yang populer di kalangan bangsa Arab jahiliyah.

Bulan Dzulqadah bulan yang populer di kalangan bangsa Arab jahiliyah. Ilustrasi Padang Pasir
Foto: Pixabay
Bulan Dzulqadah bulan yang populer di kalangan bangsa Arab jahiliyah. Ilustrasi Padang Pasir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Syihabuddin Qalyubi*

 

Baca Juga

Dzulqadah adalah bulan ke sebelas dalam Tahun Hijriyah dan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah SWT, yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab,  sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah: 36)

Dzulqadah berasal dari bahasa Arab  ذُو القَعْدَة (dzul-qa’dah). Dalam kamus al-Ma’ānī kata dzū artinya pemilik, namun jika digandengkan dengan kata lain akan mempunyai makna tersendiri, misalnya dzū mālin (orang kaya), dzū ‘usrah (orang susah). 

Kata "qa’dah" adalah derivasi dari kata "qa’ada", salah satu artinya tempat yang diduduki. Sehingga Dzulqadah secara etimologi orang yang memiliki tempat duduk, dalam pengertian orang itu tidak bepergian kemana-mana ia banyak duduk (di kursi). Dari kata "qa’ada" ini bisa berkembang beberapa bentuk dan pemaknaan, antara lain taqā’ud artinya pensiun, konotasinya orang yang sudah purna tugas akan berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk (di kursi).

Dalam Lisānul ‘Arab disebutkan, bahwa bulan ke-11 ini dinamai Dzulqadah, karena pada bulan itu orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan. Hal itu dilakukan guna menghormati dan mengagunggkan bulan itu. Sehingga seluruh jazirah Arab pada bulan tersebut dipenuhi ketenangan. Dan ada lagi yang mengatakan bahwa mereka tidak bepergiaan itu karena untuk persiapan ibadah haji.

Dalam kalender Jawa bulan ke-11 itu dinamai Dulkangidah. Bulan ini dikenal pula dengan nama bulan Apit atau Hapit (Jawa Kuno). Menurut masyarakat Jawa, apit berarti terjepit. Hal ini karena bulan tersebut terletak di antara dua hari raya besar yaitu, Idul Fitri (Syawal) dan Idul Adha (Dzulhijah) 

photo
Prof Dr Syihabuddin Qalyubi, Lc, MAg guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. - (Dok Istimewa)

Keistimewaan :

1. Menurut Mazhab Syafii, barang siapa berbuat kebaikan di bulan-bulan suci, maka pahalanya dilipatgandakan, dan barang siapa berbuat kejelekan di bulan-bulan tersebut, maka dosanya dilipatgandaakan pula. Di samping itu,  pembayaran diyat yang diberikan kepada keluarga terbunuh di bulan-bulan suci harus diperberat. 

2. Al-Thabari, sewaktu menafsirkan al-Taubah: 36, dia berpendapat bahwa kata ganti  fī hinna  di ayat itu  kembali ke bulan-bulan suci, dan dia menyebutkan dalil-dalil untuk memperkuat pendapatnya ini. Jika dikatakan bahwa pendapat ini berarti membolehkan untuk berbuat zalim di selain empat bulan suci itu, sudah barang tentu pendapat itu tidak benar, karena perbuatan zalim itu diharamkan kepada kita di setiap waktu dan di setiap tempat. Hanya saja Allah SWT sangat menekankan keempat bulan tersebut karena kemuliaan bulan itu sendiri, sehingga ada penekanan secara khusus kepada orang yang bebuat dosa pada bulan-bulan itu, sebagaimana ada penekanan secara khusus  kepada orang-orang yang memuliakannya.

Sebagai padanannya firman Allah SWT:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى

“Peliharalah semua sholat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.” (QS al-Baqarah: 238).  

Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah SWT memerintah kita untuk memelihara (melaksanakan) seluruh sholat-sholat fardlu dan tidak berubah menjadi boleh meninggalkan sholat-sholat itu dikarenakan ada perintah untuk memelihara sholat wustha. Karena perintah memelihara sholat wustha di sana untuk penekanan agar diperhatikan jangan sampai ditinggalkannya. Demikian halnya larangan berbuat zhalim pada keempat bulan suci dalam QS at-Taubah: 36 

3. Bulan Dzulqadah termasuk bulan-bulan haji, sebagaimana firman-Nya: 

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS Al-Baqarah: 197)

Menurut Ibn Umar RA yang dimaksud bulan-bulan haji itu adalah: Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Menurut Ibnu Abbas RA diantara sunnah Rasulullah SAW adalah melaksanakan ihram haji hanya pada bulan-bulan haji tersebut.

photo
Masjid Hudaibiyah - (paramanio)

4. Rasulullah SAW melaksanakan ibadah Umrah empat kali, tiga kali diantaranya dilaksanakan pada bulan Dzulqadah dan sekali bersama ibadah haji di bulan Dzulhijjah. 

قَالَ أَنَسٌ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-: "اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعَ عُمَرٍ، كُلَّهُنَّ فِي ذِي القَعْدَةِ، إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ: عُمْرَةً مِنَ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مِنَ الجِعْرَانَةِ، حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي ذِي القَعْدَةِ، وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ" متفق عليه 

Anas RA berkata: “Rasulullah SAW melaksanakan ibadah umrah empat kali, semuanya dilaksanakan padan bulan Dzulqadah, kecuali umroh yang dilaksanakan bersama ibadah Haji, yaitu umroh dari al-Hudaibiyah di bulan Dzulqadah, umroh tahun berikutnya di bulan Dzulqadah, umroh dari Ji’ranah sambil membagikan ghanimah perang Hunain di bulan Dzulqadah, dan umrah sekalian melaksanakan ibadah haji (di bulan Dzulhijjah).” (HR al-Bukhari/ 1654 dan Muslim/ 1253).

5. Keistimewaan lainnya dari bulan Dzulqadah,  Allah SWT berjanji untuk berbicara kepada Nabi Musa as selama tiga puluh malam di bulan Dzulqadah, ditambah sepuluh malam di awal bulan Dzulhijjah, sebagaimana firman Allah SWT:

وَوَٰعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi).” (QS Al-A’raf: 142). 

Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa, “Tiga puluh malam itu adalah di bulan Dzulqadah, sedangkan yang sepuluh malam adalah di bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir II/244)

*Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement