Selasa 16 Jun 2020 22:55 WIB

Pada 1880 Silam, Seperlima Penduduk Jeddah adalah Budak

Kota Jeddah menjadi kota pelabuhan yang aktif dari berbagai negara.

Rep: Febryan A/ Red: Nashih Nashrullah
Kota Jeddah menjadi kota pelabuhan yang aktif dari berbagai negara. Jamaah haji India pulang naik kapal dari pelabuhan jeddah.
Foto: Google,com
Kota Jeddah menjadi kota pelabuhan yang aktif dari berbagai negara. Jamaah haji India pulang naik kapal dari pelabuhan jeddah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perbudakan terjadi begitu masif di Kota Jeddah, Arab Saudi, pada akhir abad ke-19. Bahkan 20 persen dari penduduknya adalah budak, yang didatangkan dari Semenanjung Afrika. Di antara mereka, budak perempuanlah yang nasibnya paling menyedihkan.  

Pakar Sejarah Timur Tengah, Profesor Ulrike Freitag, mengatakan, pada tahun 1880, seperlima dari penduduk Jeddah adalah budak. Perlakuan yang didapat para budak itu bisa disebut kejam jika dibandingkan dengan perlakuan yang diterima pekerja migran di Saudi sekarang.

Baca Juga

Para budak itu dipakai oleh keluarga kaya untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, pekerjaan di pelabuhan, dan juga pengangkut barang menuju gudang. "Kebanyak budak domestik (mengurusi pekerjaan rumah tangga) adalah perempuan," kata Freiteg dalam wawancara terkait buku terbarunya berjudul 'A History of Jeddah-The Gate to Mecca in the Nineteenth and Twentieth Centuries' dengan Qantara.de, Sabtu (6/6).

Budak-budak perempuan, kata dia, juga dijadikan sebagai gundik dan melahirkan anak dari tuannya. Anak itu akan mendapat hak sebagai manusia bebas dan sebagai bagian sah dari keluarga kaya itu.

 

"Mereka tidak lagi dijual kepada orang lain dan setidaknya memiliki semacam jaminan sosial," kata Freiteg soal anak hasil hubungan tuan dan budak perempuan. 

Sedangkan ibunya atau budak perempuan yang telah melahirkan itu akan tetap menjadi pesuruh di rumah. Bahkan sebagian dijual kepada tuan lainnya. Alhasil, mereka akan terpisah dengan anaknya sendiri.

"Penjualan seorang budak berulang kali memutus hubungan-hubungan ini, yang berarti bahwa para wanita lebih terbuka pada kekerasan dan pelecehan. Kisah-kisahnya mengerikan," kata Freiteg yang telah meneliti sejarah Kota Jeddah selama 15 tahun itu.

Praktik perbudakan telah dihapuskan di Arab Saudi sejak tahun 1962. Tapi, kata Freiteg, mereka tetap tinggal di keluarga tuannya dan menyandang nama keluarga. Kehidupannya berlanjut dengan bekerja untuk keluarga kaya itu.

"Saat ini, mereka sering ditemukan di rombongan besar dari tokoh atau pangeran kerajaan tertentu. Anda akan sering melihat orang berkulit lebih gelap di delegasi resmi. Orang-orang ini umumnya adalah mantan budak yang masih memiliki ikatan dekat dengan keluarga terkemuka," ucapnya.  

Meski demikian, ada pula mantan budak yang nasib lebih beruntung. Dalam beberapa kasus, mereka mengambil alih bisnis keluarga. Namun, hal ini adalah sebuah pengecualian yang hanya didapat sebagian kecil saja.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement