Selasa 09 Jun 2020 11:42 WIB
Ratu Adil

Gus Dur: Ratu Adil, Mahdiisme dan Protes Sosial, bagian (2)

Ratu Adil, Mahdiisme dan Protes Sosial dalam Islam

Ratu Adil (ilustrasi).
Foto: google.com
Ratu Adil (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Inilah tulisan mendiang mantan Presiden Abdurrahman Wahid di masa muda. Tulisan yang membahas soal gerakan ‘mesianis’ atay yang dalam Islam disebut gerakan Imam Mahdi (kerap juga disebut Mahdiisme) yang di dalam masyarakat Jawa disebut Ratu Adil. Tulisan yang terbit dalam Majalah Prisme 1, Januri 1977 itu berjudul ‘Mahdiisme dan Protes Sosial’.

Tulisan ini diturunkan kembali setelah membua arsip majalah Prisma yang tersimpan. Dan kiranya cukup tepat bila melihat suasana masa kini yang banyak orang mengatakan serba tidak ada kepastian. Alhasil, dalam situasi seperti ini maka pikiran mengenai  gerakan ‘Mahdiisme’ atau Ratu Adil akan kerap muncul.

Situasi seperti serba tak menentu meluasnya wabah, bencana alam, dan ancaman kemiskinan seperti sekarang di Jawa dahulu muncul menjelang pecahnya Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825-1830). Kala itu ada penyebaran penyakit kolera akibat meledaknya Gunung Tambora di Sumbawa, melestusnya Gunung Merapi, ancaman kemiskinan yang meluas, serta ketidakpastian politik di Kraton Jawa, hingga pengaruh globalisasi akibat revolusi industri dan Revolusi Prancis.

Tulian Gus Dur yang kami akan muat secara serial karena panjangnya tulisan seperti ini. Tulisan ini bagian kedua (2).

--------------------

Dalam melancarkan protes sosial, Mahdiisme tidak hanya mengambil bentuk tungak bagi  gerakan-herkanya, melainan muncul dalam bermacam bentk di samping unsur utamanya sebagai gerakan mesianis. Yang terkemuka di natara semua bentuk itu adalah revivalisme, mileniarisme, sektarinisme, perang sabil, dan nativisme, ke semu bentuk ini tidak berdisi sendiri-sendiri meliankan merupakan unsur-unsur yang saling mendukung. Yang suah tentu berbeda-beda pula kadar susunan masing-masing dari satu gerakan ke gerakan lain, sehingga memiliki penamaan berlain-lain pula.

Karena adanya perpaduan berbagai unsur gerakan, gerakan Mahdi-istis pada umunya memiliki ciri-ciri yang hampir bersamaan bentuk organisatoris yang tidak terllau formi (kecuali kalau telah menjadi gerakan yang memerintah seerti Mahdi-isme di Sudan, yang pengatura para  anggotanya meniru bentuk kehidupan ketentaraan, ajaran yang tidak terlalu sulit yang dijanjikan oleh pemimpin gerakan, pertempuranbersenjata yang sebentar saja berlangsung, dan berkahirnya gerakan itu senddiri dengan kematian atau penangkapan atas diri sang Mahdi yang menjadi pemimpin.

Ada juga elemen-eleman lain yang bersamaan seperti penggunaan ritus keagamaan tertentu. Penggunaan alat-alat sakti gaib seperti mantera di jimat (amulets) serta minyak-minyakan tertentu untuk menghadapai pertempuran dan berbagai elemen tambahan lainnya, tetapi elemen-elemen itu mempunyai asal-usul, fungsi, dan cara penerapan berbeda-beda untuk di sama ratakan begitu saja.

Walapun demikian, bukan berati tidak penting arti elemen-elemen tersebut, karena sebenarnya ke semuanya itu yang biasanya dianggap elemen tambahanm, justru merupakan medium bagi sosialisasi ide proses itu sendiri dilanagan pengikut gerakan secara sangat cepat. Dengan cara inilah biasanya kekuatan para pengikut dimobilisir, mobilisasi mana adalah justru mentransformasi gerakan itu sendiri dari gerakan protes yang tidak menuju kekerasan perjuangan fisik bersenjata.

Tindakan bersenjata yang secara kategoris diberi legitimasi oleh janji kemenangan yang dikumandangkan pemimpin gerakan, dengan elemen-elemen tambahan di atas dengan mudah dicernakan oleh para pengikut. Penerimaan penggunaan kekeran itu kemudian menjadi umpan balik bagi pemimpin gerakan rakyat untuk segera melakukan pilihan sama berat antara kemenangan fisik dengan kenikmatan idrawi yang dibawakannya dan kematian sebagai syahid (martir) yang langsung diterima di surga.

Ratu Adil, Kerumunan Masa, dan Ancaman Totalitarianisme ...

Ajaran agama dalam transformasi sosial yang semula relatif bersifat damai lalu menjadi tindak kekerasan ini memiliki tempat penerimaan  yang berbeda –beda. Pada mulanya, ajaran agama  yang disebarkan dikalangan perngikut berfungsi sebagai alat legitimasi supremasi pemmpin gerakan. Kemudian, ia berfungsi sebagi pemberi legitimasi kepada elemen-elemen tambahan di atas, dan terahir berfungsi sebagai pemberi legitimasi bagi tuntutan para pengkut dan kewajiban-kewajiban bagi para pemimpin gerakan untuk memulia tindakan kekerasan. Karena fungsinya seperti inimsering kita lihat modifikasi beberapa bagian dari ajaran umum agama, termasuk yang paling dasar sekalipun, guna memenuhi kebutuhan proses pemberian legitimasi yang digambarkan di atas.

Pada gerakan Muhammad Ahmad al-Mahdi di Sudan, misalnya, ke dalam rukun Islam (mereka namakan sunnah) di masukkan kewahinab perang sabil (jihad) sebagai sendi agama, mendahului kewajiban mengerjakan ibadah haji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement