Ahad 07 Jun 2020 09:51 WIB

Ambiguitas New Normal dan Limitasi HAM

Agama dan sistem berkeyakinan yang bersifat ideologis seringkali disalahgunakan.

Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Foto: Dokumentasi Pribadi
Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Andriasari*

 

Wacana baru hadir di masa pandemi ini, dilema pembatasan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah salah satunya. Hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi yang esensial dan bersifat non-derogable rights.

Sisi lain dari penjaminan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) adalah ketidaksejalanan antara regulasi dan implementasi, tak jarang ironis pada minoritas terjadi berkali-kali. Agama dan sistem berkeyakinan yang bersifat ideologis seringkali disalahgunakan dan memicu konflik, diskriminasi, prasangka, kebencian bahkan kekerasan. Seperti yang terjadi di bekas negara Yugoslavia, agitasi yang muncul berdampak sangat mengerikan, termasuk kemungkinan terjadinya perang dan genosida.

 

Agama dan New Normal Agama sebagai sebuah entitas, dalam sejarahnya berkali-kali menimbulkan kontroversi, berbahaya dalam eksistensi manusia. Karena kerap dijadikan senjata untuk tujuan-tujuan politik dan kekuasaan. Mungkin karena itulah kebebasan beragama dan berkeyakinan perlu dijamin dengan pasti oleh negara dan ditempatkan sebagai bagian yang esensial diantara perangkat HAM lainnya. 

Lalu bagaimana kehidupan beragama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam situasi pandemi ini, situasi yang disebut “new normal”, nampak jelas bahwa transisi kehidupan yang kini lazim disebut new normal mengandung ambigutitas. Ada ketidaktentuan, ketidakjelasan. Namun, pandemi ini memberikan pemahaman baru bahwa transisi kehidupan mestilah dipahami dengan ajeg, di sini manusia menguji kemampuan untuk akselerasi.

Menarik untuk memperbincangkan wacana hak azasi manusia pada kondisi pandemi. Ketika aktivitas keagamaan masyarakat dibatasi di ruang publik. Bagaimana sebenarnya hal ini dapat dipahami sebagai sebuah tindakan pembatasan HAM, apakah tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan yang sah dan dibenarkan baik menurut undang-undang maupun konvensi HAM internasional. 

KBB adalah bagian dari HAM sebagai hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi. HAM kemudian diteguhkan dalam UUD 1945 (Pasal 28 A-J dan Pasal 29), UU No.29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, UU HAM No.39/1999 dan terakhir UU No.12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR. Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak, ketidakpastian yang timbul atas tafsir kebijakan pemerintah dalam merespon situasi pandemi, paket regulasi yang menimbulkan pro-kontra. Dalam kondisi ini, pertanyaan besar mengemuka, apakah KBB sebagai forum internum masih merupakan hak yang absolut?

 

Wacana Pembatasan KBB Dalam wacana HAM, pembatasan hak sesungguhnya diperbolehkan, sebagaimana terdapat dalam Prinsip-prinsip Siracusa (Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan HAM dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Alasan-alasan diperbolehkannya pembatasan tersebut adalah jika dilakukan untuk melindungi ketertiban masyarakat, keselamatan masyarakat, kesehatan masyarakat, dan moral masyarakat.

Pertanyaannya adalah apakah argumen pembatasan itu dapat dijustifikasi dengan baik, tidak berlebihan dan dapat mencapai tujuan pembatasan?

Inilah persoalan-persoalan yang menjadi wacana dan masih intensif didiskusikan hingga saat ini. Seturut Pasal 18 (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menjelaskan bahwa “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama dan kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan dan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement