Sabtu 30 May 2020 06:14 WIB

Indonesia Negeri yang Subur

Indonesia seharusnya mampu menciptakan kondisi swasembada dan ekspor.

Ahmed Joe Hara, praktisi pertanian dan Ketua ASAPUJI (Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia).
Foto: Istimewa
Ahmed Joe Hara, praktisi pertanian dan Ketua ASAPUJI (Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memang demikian adanya, tanah Indonesia memang subur karena dia terletak di garis ekuator sehingga secara otomatis disinari matahari sepanjang tahun, membuat tinggi penguapan yang akhirnya menciptakan curah hujan yang tinggi, dan siap ditanami apapun tanaman tropis, walaupun secara fakta tentunya tidak cukup sampai di sana. Suburnya tanah Indonesia seperti halnya hamparan kain sutra yang indah yang perlu dijahit dan ditata oleh tangan-tangan ahli sehingga menjadi pakaian yang bagus, indah dan bermanfaat.

Apa yang menjadi tolok ukur sebuah negara sukses di bidang pertanian? Ada banyak dan sangat relatif, di antaranya yang paling mendasar adalah mampu mencapai swasembada pangan untuk rakyatnya, lebih hebat lagi bisa ekspor setelah swasembada, dan yang paling hebat adalah surplusnya lebih besar daripada angka swasembada. Singapura adalah contoh negeri dengan kemampuan swasembada pangan, apakah negeri itu memiliki pesawahan? Tidak, tapi APBN mereka sangat mampu membeli seluruh bahan pangan untuk rakyatnya dan menjual tanpa ambil untung bahkan seringkali berupa pengadaan gratis.

Dilihat dari luasan lahan yang siap ditanami, Indonesia adalah negara yang seharusnya mampu menciptakan kondisi swasembada dan ekspor, bahkan ekspornya mampu hingga tiga kali lipat di atas pemenuhan optimal kebutuhan pangan rakyatnya. Tidak percaya? Coba jumlahkan total lahan siap tanam Indonesia, kemudian estimasikan semua tanaman pangan ditanam di lahan tersebut selama satu tahun dan hasilnya dibagi dengan total rakyat Indonesia. Kita akan terkejut karena ternyata rakyat Indonesia cukup membayar 50 persen belanja pangan bulanan, sisanya ditutup dari keuntungan ekspor. Hebatnya lagi semua petani bisa diberi pupuk gratis yang biayanya ditutup lagi dari ekspor pupuk kita ditambah ekspor komoditi olahan.

Kita belum membahas ternak yang pakannya bisa dibuat dari limbah dedaunan dan batang-batang tanaman pangan tersebut yang akan menjadi penghasilan tambahan bagi petani. Apalagi ditambah dengan ekspor hasil laut.

Tapi mengapa selama ini, setelah 75 tahun merdeka kondisi itu hingga kini belum bisa kita capai? Sebenarnya semua pemimpin Indonesia sudah memiliki visi dan misi menuju ke sana. Soekarno membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan, Soeharto peletak dasar penataan sistem pertanian melalui program-program Repelita.

BJ Habibie, Gus Dur, Megawati saat itu menjaga Indonesia agar tetap berjalan pada konstitusi, program pertanian mereka masih bersifat melanjutkan dari pimpinan sebelumnya. Kemudian SBY memberi banyak koreksi dan arahan-arahan pada kinerja Dinas-Dinas Pertanian wilayah. Hingga sekarang Pak Jokowi memberi tatanan baru pada pengelolaan hasil laut dan banyak menerapkan program-program bantuan peralatan, pupuk, dan permodalan untuk para petani nelayan Indonesia.

Semua masih by proses, tidak ada yang harus diubah hanya mungkin perlu dipercepat, di antaranya melalui implementasi teknologi millenium. Jika air menjadi problem utama karena adanya siklus musim penghujan, maka kita bisa mencontoh Israel yang sekarang telah menggunakan mesin-mesin besar desalinisasi untuk mengubah air laut menjadi air tawar dan menyiram tanah tandus gurun pasir mereka menjadi lahan pertanian subur. Atau teknologi sponge penyerap-penyimpan air untuk tanaman hidroponik ala jepang dan sebagainya. Masalahnya semua sedang berjalan, by process, hanya saja persoalan utama bagaimana kita mempercepatnya.

Ada banyak problem yang sebenarnya bisa dipecahkan, di-on farm persoalan itu berkutat pada penyediaan air yang kontinyu sepanjang tahun, pemilihan benih berkualitas baik, mekanisasi pertanian dan tentunya jaminan market. Di-off farm atau sektor pascapanen produk olahan adalah implementasi dan pemberian bantuan peralatan produksi yang tepat guna, tepat komoditi dan tepat operator. Sementara di sektor marketing domestik maupun impor adalah adanya informasi kebutuhan komoditi untuk food industries yang informatif, tepat demand, tepat harga, tepat delivery dan tepat jenis produk.

Jika boleh saya mengusulkan, bagaimana jika pemilihan seorang kepala dinas pertanian tingkat kabupaten/kota tidak didasarkan pada jenjang karier lingkup ASN saja. Namun memungkinan pemilihan seorang profesional pertanian yang memahami kompetensi komoditi dari suatu daerah, memahami proses pascapanennya, hingga memahami marketnya dan bisa langsung berhubungan G to G dengan negara lain yang membutuhkan melalui berbagai fasilitas media yang sekarang ini tersedia dengan mudah. Sebab kemampuan seorang kepala dinas atau kepala daerah yang mumpuni di bidang pertanian dari hulu ke hilir sangat menentukan percepatan kemajuan pertanian suatu daerah yang pada akhirnya menuju nasional.

Tahun 1942, seandainya Steward Menzies tidak memilih Alan Turing seorang pakar matematika sebagai pemecah kode mesin Enigma dan tetap bertahan pada pemilihan ahli bahasa, maka mungkin perang dunia ke dua akan berlangsung belasan tahun hingga sumber daya semua negara habis dan perang tetap dimenangkan oleh Nazi Jerman.

-- Cianjur, 29 Mei 2020

PENGIRIM: Ahmed Joe Hara, praktisi pertanian dan Ketua ASAPUJI (Asosiasi Agrobisnis Petani Ubi Jalar Indonesia).

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement