Rabu 27 May 2020 19:32 WIB

Kapan Kita Sampai ke New Normal?

Kita harus hati-hati dalam menjalankan New Normal

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Pemahaman masyarakat tentang Covid-19 memang sangat beragam. Ada yang getol mencari informasi terbaru, ada yang sesekali mengikuti pemberitaan sekadar untuk punya pengetahuan mendasar, dan ada juga yang hanya mendengarnya dari sana-sini.

Saya masih ingat percakapan dengan seorang dewasa muda yang tinggal di perbatasan Jakarta-Bekasi, Jawa Barat. Dengan berapi-api dia menjelaskan virus corona bukanlah virus baru, melainkan sudah ada sejak 2010.

Bahkan, tahun 2011, ada film yang menggambarkan tentang pandemi, persis seperti yang terjadi sekarang.

Pria yang bekerja di sektor informal itu lalu menyebut bahwa penemu vaksin corona ditembak mati agar temuannya tak dimanfaatkan.

Dalam percakapan singkat itu, saya tak sempat menyanggahnya. Ya, virus corona memang ada sejak dulu, tapi itu bukan jenis yang menyebabkan Covid-19. Dunia sudah melewati wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) pada 2002 dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang juga disebabkan oleh virus dari keluarga coronavirus ini pada akhir 2012.

Film yang dimaksudnya pasti Contagion yang dibintangi Matt Damon, Jude Law, dan Gwyneth Paltrow. Yup, itu tayang tahun 2011.

Bagaimana dengan cerita penemu vaksin yang dibunuh? Berbekal keyword "penemu vaksin ditembak mati", kisah aslinya terungkap.

Berdasarkan pemberitaan pada 8 Mei lalu, kisah itu nyata adanya. Seorang ilmuwan China yang bekerja untuk penelitian tentang virus corona di Pittsburgh, Amerika Serikat (AS) meninggal setelah didor pasangan sejenisnya. Bing Liu namanya.

Kalaupun saya sempat menyampaikan fakta itu, mungkin sulit untuk mengubah keyakinannya tentang seluk-beluk virus SARS-CoV-2 dalam sekejap. Tapi, sepertinya yang lebih penting ialah: apakah dia melakukan sesuatu untuk melindungi diri dan orang lain dari risiko tertular atau menularkan virus corona. Kenyataannya, dia tak bermasker dan tetap menerima orderan untuk menjadi pengojek panggilan bagi warga sekitar.

Dua hal yang menurut saya benar dari pemahaman dia hanyalah pentingnya menghindari kerumunan. Dia juga khawatir tenaga kesehatan akan kewalahan mendapati banjir pasien akibat banyaknya warga yang ramai mendatangi penutupan McDonald's Sarinah, bandara, hingga silaturahim Lebaran.

Dia bilang, pandemi ini bisa nggak kelar-kelar kalau orang tidak patuh terhadap aturan jaga jarak pakai masker, dan cuci tangan. Itu lebih mudah diomongin daripada dilakukan ya?!

Bahkan orang yang lebih terdidik pun sulit menerima kewajiban memakai masker di tempat umum. Tengok saja kasus Bripka HI di Bandung, Jawa Barat. Sebelumnya juga ada influencer yang mengaku jarang pakai masker dan menganggap virus corona biasa aja.

Pemahaman seperti ini tentu membahayakan upaya untuk mengendalikan penyebaran virus corona. Di banyak negara, orang-orang yang serupa, banyak juga. Tengok saja di Missouri, Amerika Serikat yang ratusan warganya berendam di kolam renang pada akhir pekan lalu.

Mereka pun diminta untuk menjalani karantina mandiri selama 14 hari.

Polah semacam itu sesungguhnya membahayakan upaya kita untuk beranjak dari pembatasan sosial berskala besar ke pelonggaran hingga akhirnya sampai ke New Normal. Cepat atau lambatnya perjalanan menuju kenormalan baru tergantung kita semua.

WHO telah menetapkan kriteria New Normal. Di antaranya ialah kita masih harus menunggu sampai kasus infeksi virus corona turun sampai level minimal sekitar dua pekan hingga pakar epidemiologi menyatakan aman untuk pelonggaran. Itu pun harus dibarengi  dengan langkah pengidentifikasian, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, dan karantina mandiri.

Sementara waktu, persiapan untuk New Normal sudah harus dilakukan di semua sendi kehidupan bermasyarakat. Protokol kesehatan di fasilitas transportasi umum, mulai dari halte, terminal, stasiun hingga di armadanya perlu disiapkan. Sosialisasinya juga harus gencar agar tak menimbulkan gesekan antarpenumpang akibat adanya orang yang tak patuh. Kita memang butuh diingatkan dan terus diingatkan hingga protokol kesehatan itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, kantor juga harus bersiap mengatur kebijakan untuk remote working, memodifikasi ruangan tempat kerja, dan mengintensifkan disinfeksi fasilitas kantor. Di lain sisi, sejumlah perusahaan besar di berbagai penjuru dunia malah telah memutuskan untuk memperpanjang work from home hingga akhir 2020.

Bagi kantor yang akan kembali menerapkan work from office, karyawannya tentu harus cek suhu tubuh sebelum masuk pintu gedung, menyanitasi tangan, pakai masker dan menjaga jarak minimum satu meter, termasuk ketika jam makan siang. Semua harus dipastikan punya pemahaman yang sama soal protokol kesehatan ini.

Di samping itu, kantor perlu menyiapkan pasokan masker dan mengelola sampahnya dengan benar. Kantor juga harus siap dengan ruang karantina dan cara penanganan andaikan ada karyawan yang jatuh sakit.

Protokol kesehatan di rumah ibadah, taman, tempat hiburan, restoran, pasar, dan mal juga harus disiapkan. Apalagi, virus corona dikabarkan tak akan sirna begitu saja dan vaksinnya belum tersedia.

Bagaimana dengan sekolah? Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengeluarkan anjuran menjelang akhir masa tanggap darurat Covid-19. Kegiatan pembelajaran jarak jauh menjadi opsi yang direkomendasikan saat ini.

Kita bisa mencontoh negara lain yang sudah lebih dulu memasuki masa transisi New Normal dalam hal membuka sekolah. Tentunya, penyesuaian dengan setting lokal amat diperlukan.

Meniadakan upacara, olahraga, dan memangkas jumlah murid dalam satu kelas, menutup kantin, dan mewajibkan pemakaian masker telah diterapkan di luar negeri. Mereka juga memperpendek jam sekolah agar guru punya waktu untuk mempersiapkan bahan ajar daring. Tapi, ini tak mungkin terlaksana dengan beban kurikulum seperti sekarang.

Sementara itu, orang nomor satu di New South Wales Gladys Berejiklian menampik telah gegabah dalam membuka sekolah. Ia menyebut penutupan dua sekolah akibat temuan kasus Covid-19 akan menjadi "kenormalan baru" saat negara bagian Australia itu melakukan pelonggaran.

Menurutnya, sekolah yang ditutup tinggal dibuka lagi setelah semua menjalani uji Covid-19 dan pembersihan fasilitas.

Kita harus berhati-hati dalam perjalanan menuju New Normal. Jika gegabah, kita berisiko mengalami pukulan yang lebih parah oleh Covid-19 mengingat dampak yang telah ditimbulkannya sejauh ini.

*penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement