Selasa 26 May 2020 16:45 WIB

Paradoks Prancis: Wajibkan Masker, Tetap Larang Burqa

Burqa dan penutup wajah dinilai tidak sesuai identitas Republik Prancis.

Rep: aljazeera/ Red: Elba Damhuri
Burqa di Prancis: Paradoks Prancis: Wajibkan Masker, Tetap Larang Burqa
Foto: sasak.net
Burqa di Prancis: Paradoks Prancis: Wajibkan Masker, Tetap Larang Burqa

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Rokhaya Diallo, Jurnalis, Penulis, dan Pembuat Film Prancis/ Menulis Artikel untuk Aljazeera.

Di tengah pandemi virus corona, Prancis dihadapkan pada sebuah paradoks: Prancis mewajibkan rakyatnya memakai masker di ruang publik, tetapi tetap mempertahankan larangan pemakaian burqa (kerudung penutup wajah) selama bertahun-tahun.  

Ini menunjukkan, seperti dilaporkan Washington Post baru-baru ini, "jika seorang wanita Muslim ingin naik Metro di Paris, ia akan diminta melepaskan burqa dan menggantinya dengan topeng".

Pemerintah Prancis mewajibkan penggunaan masker pada 10 Mei lalu dalam upaya melonggarkan lockdown negara itu. Lebih dari 50 negara lain, dari Jerman hingga Uganda, telah mengesahkan undang-undang dan ketentuan serupa untuk membendung penyebaran virus corona, dan membuat orang-orang kembali bekerja.

Sementara di sebagian besar negara wacana tentang kewajiban masker wajah berfokus pada efektivitas dari tindakan itu. Di Prancis, belum lama ini, pemerintah dengan bangga menyatakan bahwa "Republik (Prancis) hidup dengan wajah terbuka". 

Keputusan ini pun menimbulkan pertanyaan tentang cara negara mendefinisikan Identitas dan nilai-nilai Prancis.

Penutup wajah mulai dibahas dalam konteks identitas nasional Prancis untuk pertama kalinya lebih dari satu dekade yang lalu, selama kepresidenan Nicolas Sarkozy.

Pada Oktober 2008, Otoritas Tinggi untuk Memerangi Diskriminasi dan untuk Kesetaraan (HALDE), kelompok pengawas publik Prancis atas diskriminasi, menyamakan pemakaian burqa dengan "penaklukan  perempuan", yang berujung pada penolakan burqa. 

Pengawas mengatakan: "Burqa membawa makna penaklukan perempuan yang melampaui ruang lingkup agamanya dan dapat dianggap sebagai melemahkan nilai-nilai Republik Prancis, yang menjadi acuan dalam proses integrasi.

Keputusan itu menempatkan persepsi bahwa pakaian seperti burqa ini tidak hanya anti-feminis, tetapi juga asing bagi budaya Prancis. Ini juga memicu perdebatan tentang "nilai-nilai republik" yang dengan cepat berubah menjadi perdebatan tentang apakah Islam cocok dengan nilai-nilai Republik Prancis.

Hanya beberapa bulan setelah keputusan HALDE, ketika seruan untuk melarang semua penutup wajah makin menguat di seluruh negeri, Presiden Sarkozy ikut bergabung dalam debat.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden mengklaim penutup wajah yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim bukanlah "masalah agama" tetapi masalah "kebebasan dan martabat wanita" dan menyatakan "burqa tidak diterima di Perancis".

Kata-kata Sarkozy memicu debat publik besar lainnya, dengan satu pihak menuduh presiden mempersenjatai feminisme dan nilai-nilai sekuler untuk mengecualikan Muslim dari identitas Prancis dan yang lainnya menekankan pentingnya melindungi nilai-nilai bangsa.

Sementara beberapa wanita di Prancis yang mengenakan kerudung seluruh wajah tidak pernah dimasukkan dalam debat "burqa", beberapa tokoh publik --kebanyakan pria-- dengan penuh semangat berpendapat bahwa tidak ada yang mau memilih untuk mengenakan pakaian seperti itu.

Dan siapa pun yang mengenakannya tidak diragukan lagi: mereka adalah korban penindasan kaum pria. 

Gagal menyadari arti penting dalam memilih cara berpakaian mereka sendiri, kaum ini malah berkampanye mencoba "menyelamatkan wanita-wanita Muslim ini" dari penindasan gender. Orang-orang ini akhirnya meyakinkan negara bahwa semua penutup wajah harus dilarang untuk melindungi hak-hak perempuan dan nilai-nilai Prancis.

Akibatnya, pada September 2010, Senat Prancis memberikan suara mendukung undang-undang yang melarang "penyembunyian wajah" di ruang publik. 

Pada Maret 2011, beberapa minggu sebelum pelarangan diberlakukan, pemerintah mengeluarkan surat edaran baru tentang ruang lingkup pelarangan tersebut dan menawarkan beberapa pembenaran budaya Prancis untuk itu.

"Menyembunyikan wajah berarti melanggar persyaratan minimum kehidupan dalam masyarakat," kata surat edaran itu. "Ini juga menempatkan orang-orang yang terlibat dalam situasi pengucilan dan inferioritas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan martabat manusia yang ditegaskan oleh Republik Prancis."

Surat edaran itu secara resmi mengakui hubungan antara cara seseorang memilih berpakaian sendiri di tempat umum dan posisi orang itu di dalam masyarakat Prancis. 

Untuk diakui sebagai orang Prancis, surat edaran tersebut menegaskan, seseorang harus menunjukkan wajahnya di depan umum, sebagai konfirmasi atas komitmennya terhadap "nilai-nilai bersama" dan "nasib bersama" di negara tersebut.

Inilah sebabnya mengapa keputusan pemerintah Prancis baru-baru ini untuk membuat pemakaian masker wajah wajib di tempat umum menimbulkan pertanyaan. 

Langkah pemerintah mewajibkan masker sementara masih menolak pembatalan larangan burqa menegaskan kembali keyakinan banyak orang bahwa larangan burqa tidak ada hubungannya dengan ketidakcocokan penutup wajah dengan cara hidup orang Prancis.

Ini semuanya berkaitan dengan keengganan negara untuk memasukkan Muslim ke dalam identitas nasional Prancis.

Karena jutaan orang Prancis sekarang ini berpartisipasi dalam kehidupan dengan wajah tertutup tanpa ada masalah, jelaslah bahwa Prancis melarang kerudung wajah Muslim bukan untuk melindungi nilai-nilai Republik, tetapi lebih mempromosikan pemahaman asimilasi tentang Prancis yang tidak menoleransi ekspresi budaya minoritas. Ada hipokrasi di sini.

Misalnya, pada 2019, setelah serangan ke markas polisi Paris oleh seorang Muslim, Menteri Dalam Negeri Prancis Christophe Castaner menyampaikan daftar kontroversial tanda-tanda radikalisasi ke Parlemen Prancis. 

Tak ada yang salah dengan ekspresi budaya, seperti mengenakan janggut panjang, ia menyarankan bahwa penolakan seorang Muslim untuk mencium seseorang saat bertemu seperti yang biasanya dilakukan banyak orang Prancis, bisa menjadi tanda radikalisasi. 

Namun, sekarang, negara secara aktif mendorong warga untuk tidak saling berciuman dalam upaya untuk menghentikan penyebaran virus. Tentu saja, tidak ada saran bahwa menolak untuk mencium seseorang dapat melanggar persyaratan kehidupan di masyarakat.

Pandemi COVID-19, dan langkah-langkah ekstrem yang diambil untuk melawannya, menunjukkan bahwa baik pemakaian kerudung wajah maupun bentuk ekspresi budaya dan agama Muslim lainnya, tidak pernah menjadi ancaman bagi cara hidup orang Prancis. 

Ini menunjukkan bahwa motivasi di balik "pelarangan burqa" bukan untuk melindungi nilai-nilai republik tetapi untuk mencegah umat Islam dimasukkan dalam kehidupan publik. 

Sekarang COVID-19 menunjukkan bahwa seseorang memang dapat berpartisipasi dalam kehidupan publik dan tetap "Prancis" tanpa menunjukkan wajahnya atau mencium kenalannya. Prancis bisa memikirkan kembali cara memperlakukan Muslim.

BACA JUGA: Asal-usul Virus Corona: Salahkan Kapitalisme, Bukan China

 

sumber : Aljazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement