Sabtu 23 May 2020 12:15 WIB
Lebaran

Lebaran Kolonial: Tahun Baru Pribumi Hingga Shalat Seikerei

ahun Baru Pribumi Hingga Shalat Idul Fitri ala Seikerei

Suasana shalat Ied di kala zaman kolonaial Belanda.
Foto: pmterest
Suasana shalat Ied di kala zaman kolonaial Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran bagi masyarakat Muslim Indonesia memang sangat berarti. Dan hal yang sama juga berlaku di wilayah lain, misalnya di Arab Saudi. Meski di sana tak terlalu akrab dengan perayaan Idul Fitri karena bagi mereka perayaan hari raya lebih terasa di hari raya Idul Qurban, suasana idul fitri dengan mudiknya juga terasa. Berbondong-bondong Saudi orang pulang seperti para pekerja asing dari India, Pakistan, Indonesia yang juga ada di sana.

Lalu bagaimana di perayaan lebaran di zaman kolonial? Pada zaman penjajahan Belanda lalu tak ada hambatan apa-apa. Lebaran di rayakan dengan khidmat. di Batavia kawasan Lapangan Banteng atau Lapangan Waterloo dijadikan tempat digelarnya shalat Idul Fitri atau Ied.

Pelaksanaan ibadah salat Idul Fitri  di zaman penjajahan Belanda tidak dilarang dan bahkan diizinkan di tempat terbuka. Salah satunya yang diliput oleh media adalah di Waterlooplein (Lapangan Waterloo), kini Lapangan Banteng.

Bahkan oleh sebuah koran yang terbit di Batavia tahun 1939, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, shalat Ied digelar di sana sudah untuk yang kedua belas kalinya. Berati diperkiraan mulai pertengahan 1927 kawasan Lapangan Banteng sudah dipakai untuk shalat Ied. Bahkan, koranl-koran yang terbit kala itu beberapa hari sebelumnya sudah memuat berita mengenai akan dgelarnya shalat Ied di tempat itu.

Selama perayaan lebaran, Batavia pun hiruk pikuk. Orang-orang pergi silaturahmia dan pesiar. Trem-trem penuh angkutan. Orang Betawi sangat merayakannya. Meski hidup sederhana di kampung-kampung mereka sangat bergembira menyambutnya. Semenjak malam lebaran mereka takbiran dan sudah berbagai makanan ditempat saudara yang diistilahkan dengan 'Ngejot'. Aneka hidangan ada di sana, dari kue tradisional seperti Dodol hingga masakan ikan bandeng.''Di malam lebaran kami bahagia sekali. Semua pakaiannya baru,'' kata budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam sebuah percakapan di media sosial.

Pernyataan ini bersesuain dengan suasana lagu jenaka dibawah ini 'Selamat Hari Raya Lebaran' karya Ismail Marzuki. Lagu ini menceritakan suana lebaran di Ibu kota. Di lirik lagu ini ada kata 'milir' dan 'mudik', trem kota yang digratiskan, dan rencana mengkawinkan anak. Juga ada kritik soal soal kebiasaan berjudi di malam lebaran oleh sebagian orang dan himbauan agar pejabat jangan lakukan korupsi.

                                       ******

Pemerintah kolonial pun tak mengganggu perayaan lebaran. Mereka malah menjaga dengan ketat shalat ied dan perayaan lebaran. Mereka sangat paham perasaan bahagia yang tengah ada di dalam masyarakat. Bahkan pejabat Belanda pun ikut-ikut merayakannya. Mereka membuka diri untuk menerima kunungan tamu selama lebaran di rumahnya.

Uniknya, hiruk-pikuk perayaan lebaran ini juga tak lepas dari pengamatan penasihan pemerintah olonial, Snouck Hurgronje. Dalam sebuah suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri HPemerintah Hindia belanda tanggal 20 April 1904 dia memberikan pandangan mengenai soal lebaran. Dia mengakui, di mana-mana di seluruh Hindia Belanda perayaan lebaran laksana pestau khusus yang meriah bagi kaum pribumi. Bahkan sempat disebut sebagai ' Tahun barunya' orang-orang pribumi.

"Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck Hurgronje dalam “Surat Kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri”, 20 April 1904, termuat di Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV.

Snouck memang mencatat kebiasaan saling berkunjung dan mengenakan pakaian baru pada hari Lebaran mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa. “Karena itu perayaan ini di kalangan bangsa Eropa seringkali keliru disebut ‘Tahun Baru Pribumi’,”  kata Hurgronje serya menyatakan, pada hari itu orang tempatan yang bekerja pada kantor pemerintah punya waktu luang untuk saling bertandang, sebab pemerintah kolonial menetapkan tanggal 1 Syawal sebagai hari libur.

Agar lebih jelas saya kutipan amatan Snouck Hurgronje atas soal pelaksanaan ibahan puasa dan peryaan lebaran. Tulisan ini  dikutip dari buku Islam di Hindia Belanda yang merupakan sebagaian kumpulan tulisannya selama berada di Hindia Belanda. Begini tulisan itu:

Puasa, dalam bulan kesembilam tahun Hijrah dijalankan oleh lebih banyak orang daripada sholat. Sering puasa diartikan sebagai peleburan dosa tahun yang silam, dan pemberian selamat oleh yang muda kepada yang lebih tua, oleh yang lebih rendah kepada atasannya. Setelah berakhirnya waktu berpuasa yang berat itu, dianggap sebagai waktu memohon maaf atas kesalahan-kesalahan yang mungkin telah diperbuat terhadap mereka dalam tahun itu.

Kebiasaan saling bertemu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan menggunakan pakaian serba baru mengingatkan kita kepada perayaan tahun baru Eropa, karena itu perayaan ini di kalangan pribumi bangsa Eropa seringkali keliru disebut 'Tahun Baru Pribumi' (Inland Niewjaar). Juga mereka yang hanya berpuasa satu hari atau lebih pada awal dan akhir bulan puasa, bahkan kebanyakan orang Jawa yang sama sekali tidak berpuasa, ikut pula merayakan pesta ini dengan tidak kurang gembiranya dari pada orang-orang saleh yang sangat patih kepada hukum agamanya,

Bedug-bedug masjid yang ditabuh pada tanggal satu Ramadhan mempermaklumkan dibuka dan diakhirnya bulan suci dan kemudian setuap hari memberitahukan itu bedug-bedug ditabuh semalam suntuk, dan bunyi petasan yang dipasang di sana-sini membuat suasana semakin meriah.

Walaupun menurut hukum Islam hari raya puasa ini disebut 'hari raya kecil' dalam praktiknya hari raya ini adalah hari raya besar, sedangkan hari raya besar yang resmi pada tanggal sepuluh bulan dia belas (bulan haji) hampir-hampir tidak diketahui oleh rakyat. Kebiasaan  menyembelih binatang-binatang kurban pada hari raya yang disebut belakangan, di Nusantara hanya diikuti di beberapa temat saja, dan sembahyang pada hari raya itu hanya dijalankan sementara orang saja, sehingga hari raya haji ini hanya merupakan pesta bagi mereka yang pada waktu itu berada di daerah Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya.

                            ******

Lalu bagaimana lebaran dan shalat Ied di jaman penjajahan Jepang? Jawabnya ternyata agak berbeda dengan suasana zaman kolonial Belanda yang dibiarkan lebih longgar. Kala itu tentara pendudukan Jepang mengawasi semua gerak-gerik orang ketika melaksanakan shalat Ied. Bahkan mereka ikut-ikutan mengatur waktu pelaksanaan shalat Ied. Kolonial Jepang kala itu mengharuskan shalat Ied dilakukan sebelum matahari terbit.

Seikerei dan Perlawanan Rakyat Singaparna - KAPUR DIGITAL

  • Keterangan foto: Pribumi dipaksa memebungkuk ke arah matahari terbut (seikeri) di zaman Jepang.

Mengapa begitu? Penentuan waktu shalat Ied sebelum matahari terbit sesuai dengan kepercayaan ritual mereka 'Seikere', yakni memberi penghirmatan kepada sang dewa matahari. Apalagi waktu itu ada ketentuan di Hindia Belanda --bahkan dikenakan juga aturan ini kepada para ulama -- agar dipagi hari membungkuk ke arah timur, yakni ke arah matahari terbit. Kisah ini pernah diceritakan mendiang Buya Hamka saat ada sekelomok opsir Jepang datang ke rumah untuk menemui ayahaandanya dengan tujuan memintanya dipagi hari melakukan 'seikere' ke arah matahari terbit. Permintaan ini ditolak mentah-mentah.

''Ayah menolak melakukan Seikere meski tahu risikonya kepalanya akan terkena penggal. Tapi beliau tidak mau dan syukur opsir itu tidak berbuat apa-apa. Seikere itu menyembah dewa matahari, ayan jelas menolak. Itu manisknya iman,'' tutur Buya Hamka dalam sebuah pengajian di Masjid Al-Azhar  yang bertajuk 'Manisnya Iman'. Rekaman kaset ini banyak diperjual belikan pada era awal 1980-an.

Dan sebagai akibat pemaksaan waktu shalat Ied oleh pemerintah kolonial Jepang yang harus sebelum matahari terbit, kala itu pun terpaksa tunduk. Meski begitu pada saat shalat Ied di lapangan pemerintah jepang menyebar informasi bila sangat mendukung kegiatan umat Islam. Itulah rupa-rupa gaya kolonial dalam soal perayaan lebaran dan shalat Ied di Hindia Belanda atau Indonesia di masa lalu.

Tata cara sholat Idul Fitri beserta niat, doa, & tuntunan

  • Keterangan foto: Suasana shalat Ied di zaman kolonial Jepang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement