Jumat 22 May 2020 17:20 WIB

Balada Ketersediaan Gula yang Tak Semanis Rasanya

Impor gula diduga telah menguntungkan para importir.

Pedagang menata gula pasir jualannya di salah satu pasar tradsional di Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah masih melakukan upaya untuk menstabilkan harga gula.
Foto: Antara/Febri Angga Palguna
Pedagang menata gula pasir jualannya di salah satu pasar tradsional di Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah masih melakukan upaya untuk menstabilkan harga gula.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Iit Septyaningsih, Antara

Masalah harga gula dan ketersediaannya di Tanah Air tak kunjung tuntas. Hingga hari ini Harga Eceran Tertinggi (HET) gula di beberapa tempat masih tinggi.

Baca Juga

Permasalahan gula padahal sudah melilit kebutuhan negeri sejak Maret. Salah satu penyebab tingginya harga gula adalah distributor yang melakukan pelanggaran dengan menimbun gula.

Tapi permasalahan gula dalam negeri tidak hanya sebatas penimbunan gula. Ada tata kelola gula yang menjadi masalah.

Ekonom Senior Faisal Basri menurutkan dahulu Indonesia merupakan eksportir gula ternama di dunia. Nasibnya kini berubah justru mengandalkan pasokan dari impor.

"Dari zaman kolonial sampai tahun 1967, kita eksportir gula ternama. Sejak 2016, kita menjadi importir terbesar di dunia," kata Faisal dalam diskusi pangan virtual yang diselenggarakan BEM KM IPB, Jumat (22/5).

Faisal menuturkan, dari tahun 2016 setidaknya Indonesia menghabiskan 2,1 miliar dolar AS untuk mengimpor gula. Tahun 2019, nilai impornya menurun menjadi 1,4 miliar namun tetap secara volume konsisten mengalami kenaikan.

Ia pun menilai impor pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun lebih cenderung menguntungkan para importir dalam sektor gula. "Keuntungan para trader gula rafinasi itu setidaknya Rp 4 triliun," ujarnya.

Ia menilai, defisit pangan secara umum dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan pada era Presiden Joko Widodo. Terlebih lagi, impor pangan tak hanya dilakukan pada komoditas gula, namun komoditas lain seperti daging, buah-buahan dan sayuran, serta kedelai.  

Seiring tren impor yang terus meningkat, fluktuasi harga gula nyatanya tetap terjadi. Harga gula yang dikonsumsi masyarakat menjelang Ramadhan lalu sempat tembus hingga lebih dari Rp 17 ribu per kilogram (kg). Pemerintah pun menempuh berbagai kebijakan, di mulai dari menggolontorkan izin impor dan menerbitkan kebijakan konversi gula rafinasi milik industri untuk menjadi gula kristal putih konsumsi masyarakat.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada awal pekan ini menyatakan, penyelidikan soal kisruh mahalnya harga gula yang berlarut-larut telah ditingkatkan ke ranah hukum. KPPU menemukan adanya indikasi pelanggaran aturan persaingan usaha antar pengusaha.

"Kami sampaikan bahwa saat ini persoalan gula masuk ke proses hukum, tidak lagi tahap kajian ekonomi," kata Komisioner KPPU, Guntur Saragih.

Ia menjelaskan, dari hasil kajian KPPU, surat persetujuan impor gula dan realisasinya sudah terjadi. Setidaknya periode Januari-Mei 2020 sudah masuk gula impor sebanyak 450 ribu ton. Namun, harga tetap tinggi bahkan jauh dari patokan harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kg.

Menurut Guntur, HET sejatinya sudah memberikan ruang yang besar untuk margin pelaku usaha dalam negeri. Terlebih lagi bagi mereka para importir. Di sisi lain, pemerintah juga sudah memberikan relaksasi bagi gula rafinasi milik industri untuk bisa dikonversi menjadi gula konsumsi sebanyak 250 ribu ton.

"Tapi faktanya harga masih tinggi. Ini bisa berpotensi menjadi alat bukti untuk berikan sanksi ke pelaku usaha terkait jika nanti kami temukan adanya pelanggaran persaingan usaha," kata Guntur.

Salah satu cara untuk menurunkan harga gula dilakukan dengan menggelontorkan gula ke pasaran. Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo mengatakan Satgas Pangan memastikan distributor memasok 12 ton gula per hari ke sejumlah pasar tradisional di Indonesia.

Sejumlah pasar seperti pasar di Jabodetabek, Jabar, Banten, Riau, NTT, Maluku, Kaltara dan Papua dipasok 12 ton gula setiap hari hingga Lebaran.

"Satgas Pangan melaksanakan kegiatan pengecekan terhadap data pemetaan distribusi oleh perusahaan ke distributor dengan cara melakukan intervensi di beberapa pasar. Jumlah barang yang diturunkan dalam sekali operasi mencapai 12 ton/hari hingga Lebaran," kata Komjen Pol. Sigit melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (22/5).

Sigit menyebut terjadi disparitas harga gula pada sepekan terakhir di tujuh wilayah, yakni Banten, Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT. Harga terendah sebesar Rp 11.200 di Kepri dan harga tertinggi Rp 21.125 di Papua Barat.

Sementara itu, harga eceran tertinggi (HET) gula adalah Rp 12.500. Untuk harga gula di ritel modern saat ini masih sesuai dengan HET.

"Harga (gula) di pasar ritel modern sudah sesuai dengan HET, sedangkan temuan harga di pasar tradisional mengalami perbedaan harga," kata mantan Kadiv Propam Polri ini.

Tingginya harga gula saat ini, menurut dia, disebabkan kurangnya persediaan gula akibat kebijakan Pemerintah terhadap impor gula. Realisasinya terkendala pandemi Covid-19 yang akibat lockdown negara pengimpor.

Selain itu, konversi gula kristal rafinasi (GKR) ke gula kristal putih (GKP) sebanyak 250.000 ton belum terealisasi sepenuhnya akibat terkendala distribusi. "Gangguan distribusi impor yang diakibatkan lockdown di negara asal impor, harga jual yang sudah tinggi di tingkat distributor," kata Sigit.

Berdasarkan situs Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga gula pasir di pasar modern di Jakarta masih stabil pada harga Rp 12.500 per kg sesuai dengan HET.

Sementara itu, di pasar tradisional di Jakarta, harganya mencapai Rp 18.500 per kg. Harga rata-rata gula pasir di sejumlah pasar di seluruh provinsi sebesar Rp 17.200 per kg. Harga terendah di Jawa Tengah sebesar Rp 16.850/kg dan tertinggi di Papua Barat Rp 19 ribu/kg.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, sejak awal April telah meminta agar pabrikan gula rafinasi juga ikut memproduksi gula pasir putih yang bisa dikonsumsi masyarakat. Kemudian, sebanyak 250 ribu ton gula pasir putih juga telah digelontorkan Kementan ke pasaran. Ditambah juga sinergi Kementan bersama instansi pemerintah lainnya menggelar Operasi Pasar (OP).

Kinerja Kementan itu pun mendapat tanggapan dari mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Menurut Bungaran, meskipun secara khusus tugas kerja Kementan tidak bertanggung jawab penuh terhadap urusan stabilitas harga, namun hal itu tidak dijadikan batasan.

"Soal harga, sebetulnya tidak jadi kewenangan Kementan juga. Tapi ini kan menyangkut kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, kiranya Kementan juga telah tepat," ujar Bungaran, bulan lalu.

Bungaran menjelaskan, posisi kinerja Kementan lebih utama pada menjaga ketersediaan pangan ke masyarakat. Caranya dengan memastikan pasokan dan produksi komoditas pangan lancar.

"Kementan tidak tinggal diam nyatanya dan tetap tanggung jawab menjaga stabilitas harga gula pasir dan stoknya. Ini patut diapresiasi" kata Bungaran yang juga Guru Besar Ekonomi Pertanian IPB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement