Senin 25 May 2020 11:56 WIB

Belajar Memaknai Fitri di Masa Pandemi

Hampir tiga bulan lamanya kita semua berupaya patuh terhadap anjuran pemerintah.

Ramadhan
Foto: IST
Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Hasyr 59:18)

Hampir tiga bulan lamanya kita semua berupaya patuh terhadap anjuran pemerintah dengan menjaga kesehatan juga melakukan pembatasan sosial di masa pandemi yang belum berakhir ini. Puncaknya, di bulan Ramadhan, upaya ‘menahan’ diri untuk beraktivitas di luar rumah kian terasa tidak ringan. Rasa rindu mulai berdatangan; ketika kekhasan aktivitas yang biasanya dilakukan selama Ramadhan, kini harus sejenak dihentikan.

Mall-mall sepi pengunjung karena belum boleh kumpul-kumpul untuk buka bersama (bukber), sejumlah toko baju pun belum bisa beraktivitas normal seperti biasa, hingga masjid yang kini terasa hampa di sisa-sisa Ramdhan terakhir-Nya. Semua upaya dilakukan pemerintah dan masyarakat demi menekan persebaran virus corona.

Namun, fenomena memprihatinkan baru saja terjadi! Upaya ‘menahan’ diri untuk tidak keluar rumah tiga bulan lamanya terasa sia-sia tatkala pusat-pusat perbelanjaan di beberapa wilayah sontak diserbu oleh para pengunjung. Seperti baru bisa menghirup udara segar, warga antusias memadati beberapa pusat perbelanjaan! Sebut saja di Mall CBD Ciledug, Pasar Grosir Tanah Abang Jakarta Pusat, pasar malam kaget di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Pasar Tradisonal di kawasan Sukabumi, juga pusat perbelanjaan di Banyumas, Jawa Tengah, dan pasar malam di Dumai, Riau hingga akhirnya berujung ricuh antara aparat kepolisian dengan para pedagang. Selain pusat perbelanjaan, bandara Soekarno Hatta,  Pelabuhan Gilimanuk, juga turut dipadati pengunjung. Menggapi hal ini, Gubernur DKI Jakarta pun dengan cepat merespons. Kebijakan baru dibuat; PSBB yang sebelumnya berakhir pada bulan Mei kini diperpanjang hingga 4 Juni 2020!

Membludaknya warga yang ramai-ramai ke pusat perbelanjaan, direspon oleh sejumlah public figure dan netizen. Ada yang menyayangkan, ada pula yang spontan mengutuk aksi demikian karena mereka seenaknya tidak mematuhi protokol kesehatan, pelanggaran social  physical distancing, bahkan ada yang acuh tanpa menggunakan masker. Siapa yang paling sedih dan tersakiti dalam kondisi demikian? Tentu kita semua yang masih istiqamah untuk tetap patuh #DiRumahAja dan tentu, tenaga medis yang sudah bekerja tanpa lelah siang dan malam! Tagar #IndonesiaTerserah pun ramai di jagat media sosial sebagai ungkapan keprihatinan dari para tenaga medis sebab tak sedikit dari mereka sang garda terdepan yang akhirnya berguguran. Dua hari yang lalu pula, salah seorang perawat yang terpapar Covid-19 dalam kondisi hamil 4 bulan , berpulang ke rahmatullah.  

Dimanakah nurani mereka yang dengan acuhnya melanggar?

Sesungguhnya, hadiah cinta berupa Corona yang Allah anugerahkan di bulan suci Ramadhan semestinya mampu menjadi ‘renungan’. Merenung dan berpikir sebelum bertindak, termasuk memutuskan untuk ikhlas dan bertahan di rumah sampai kondisi betul-betul dinyatakan aman. Euphoria menuju lebaran tak mampu tertahankan untuk membeli sejumlah keperluan, tanpa dipikir dengan bijak hanya akan menimbulkan dampak. Dampak terbesarnya ialah muncul kasus-kasus baru yang menyebabkan jatuhnya korban. Padahal, Negara dan tenaga medis sedang berjuang mati-matian!

Fenomena yang tengah memprihatinkan di penghujung Ramadhan ini seharusnya mampu menjadi refleksi diri sebab seluruh umat Islam akan menuju hari raya fitri—beberapa hari lagi. Idul fitri yang terasa berbeda dan istimewa sebab tanpa arus balik dan arus mudik, tanpa bersilaturrahim tatap muka  berjabat tangan. Idul Fitri tahun ini mengajarkan kita semua untuk tetap menyambung tali kasih sayang secara virtual namun tanpa mengurangi keikhlasan hati untuk mau dan saling memberi maaf. Dengan demikian, semangat ‘kembali menuju fitrah  fitri’ betul-betul harus menjadi refleksi atas kondisi yang sangat tidak mudah untuk kita lalui ini. Ramadhan dan Idul Fitri 2020 yang special ini hendaknya menjadi momen terbaik untuk lebih banyak muhasabah di akhir-akhir Ramadhan, bukan justeru memadati pusat perbelanjaan.

Berdiskusi mengenai lafadz fitri— apa sebenarnya makna Idul Fitri?

Kata fithri yang seakar dengan kata fa-tha-ra, hanya terdapat dalam 1  ayat yakni surah ar-Rum 30: 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Ada beberapa makna fitrah Allah dalam firman Allah di atas. Pertama, maksudnya ciptaan Allah. Kedua, fitrah disini dimaksudkan sebagai naluri beragama yaitu agama tauhid. Makna kedua memiliki makna bahwa kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Ketiga, makna fithrah adalah naluri-naluri kemanusiaan yang mengantarkan manusia untuk senantiasa patuh terhadap semua ketentuan Tuhan.

Makna ketiga di atas terasa mengena dan related dengan kondisi Indonesia bahkan dunia saat ini; corona sebagai peringatan dan ujian dari Tuhan. Boleh jadi kita bersedih karena tidak bisa melalui Ramadhan dengan aktivitas dan euphoria seperti  tahun-tahun sebelumnya, rasa ingin menangis karena tahun ini, kali pertama dalam sejarah shalat Ied ditiadakan di masjid-masjid, masyaAllah..

Dengan demikian, ‘Idul Fitri sejatinya memiliki makna bahwa kita menghendaki untuk ‘kembali’ tunduk dan pasrah pada-Nya. Perasaan kembali itu akhirnya melahirkan kesadaran bahwa nafas, jiwa, hidup, harta, anak dan apa yang kita ‘rasa’ memilikinya—hakikatnya adalah bukan milik kita, namun milik Allah Yang Maha Kaya dan Segalanya! Sehingga, fitri tak sekedar semangat berburu baju lebaran, membuat aneka kue yang berlebihan, alas kaki yang bernilai jutaan, hingga membeli keperluan lebaran dengan tanpa perhitungan, hanya akan mendatangkan kemudharatan.

Surah al-Hasyr 59: 18 di awal uraian tulisan ini memberi kita ‘kesadaran’ untuk selalu merasa terawasi oleh Dia yang senantiasa mengawasi. Bukan tanpa tujuan Allah menyebut perintah ‘bertakwalah’ hingga dua kali.

Pertama, sebagai ajakan  anjuran bahwa setiap nafs  jiwa  masing-masing diri harus melakukan amal terbaiknya, kemudian memperhatikan apa yang mereka telah kerjakan (mengevaluasi  muhasabah diri). Jika amal baik dirasa cukup, maka upayakan terus  untuk ditingkatkan. Namun, jika ada sesuatu yang harus diperbaiki, maka  segera  perbaiki sebab semua amal kita akan dipertanggungjawabkan di hari pertimbangan amal kelak.

Kedua, perintah bertakwa di lafadz berikutnya menegaskan bahwa Allah Maha Khabir--  Maha Mengetahui secara terperinci apa yang telah hamba-Nya lakukan. Ayat ini sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua bahwa sikap berlebihan  yang tidak seharusnya dilakukan—termasuk di masa pandemi ini pun akan dipertanggung jawabkan kelak. Sehingga, hendaknya setiap individu sadar untuk mematuhi anjuran pemerintah, tulus ikhlas karena Allah, demi kebaikan bersama. Dengan begitu, semoga perasaan selalu diawasi selalu ada; bukan hanya karena takut dengan peraturan manusia namun karena kesadaran penuh bahwa amal-amal kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Wallahu a’lam..

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement