Sejak Kapan Masyarakat Nusantara Lakukan Puasa?

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto

Kamis 21 May 2020 09:35 WIB

 Jajang Jahroni (kanan). Foto: Republika/ Wihdan Jajang Jahroni (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ibadah puasa Ramadhan hanya tinggal menghitung beberapa hari. Tak lama lagi masyarakat dunia termasuk Indonesia akan merayakan hari kemenangan, Idul Fitri pada Ahad (24/5). Meski puasa Ramadhan akan usai, tak ada salahnya mengingat sejarah ibadah tersebut di Nusantara. 

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta, Jajang Jahroni mengungkapkan, satu data di mana masyarakat Nusantara mulai mengenal dan menjadi seorang Muslim di masa lampau. "Ada hikayat ternyata puasa ketika orang Indonesia atau Nusantara convert masuk Islam, itu mereka tidak serta merta melaksanakan puasa," ujar Jajang dalam kegiatan diskusi daring yang diadakan Puslit Arkeologi Nasional (Arkenas), baru-baru ini.
 
Identitas keislaman di masa lalu tidak sekuat seperti saat ini. Keislaman mereka hanya sekedar syahadat, berkhitan dan menghindari makanan babi. Selain puasa, ibadah sholat dan haji belum dilaksanakan masyarakat saat itu.
 
Masyarakat Nusantara diperkirakan mulai melakukan puasa secara masif di akhir abad 19. Lebih tepatnya ketika sudah mulai banyak rakyat yang pergi ke Timur Tengah seperti Mekah. Mereka mulai mempelajari Islam lalu mendakwahkannya saat kembali ke daerah masing-masing.
 
Penerapan syariat Islam lebih terlihat kuat di beberapa kesultanan terutama di Banten. Hal ini berarti keluarga kesultanan diperkirakan telah melaksanakan ibadah puasa di masa tersebut. "Akan tetapi semakin jauh dari keraton, saya kira orang semakin nggak puasa. Jadi saya perkirakan kaum Muslim itu berpuasa secara masif seperti sekarang, saya kira mulai abad akhir 19," jelasnya.
 
Lalu lintas di akhir abad 19 memang telah berkembang pesat di berbagai negara termasuk Nusantara. Masyarakat Nusantara semakin mudah untuk berpergian jauh antarnegara. Hal ini turut mempengaruhi mulainya keberadaan pesantren-pesantren di Indonesia (dulu bagian Nusantara).
 
"Kalau kita lihat sejarah pesantren, pesantren di Indonesia itu umumnya didirikan akhir 19 atau awal abad 20," kata Jajang.
 
Masyarakat Nusantara memang telah melaksanakan praktik keagamaan puasa secara masif di akhir abad 19. Namun di masa tersebut tidak semua masyarakat Muslim melaksanakannya. Ini lebih tepatnya dilakukan golongan abangan, yakni kaum Muslim yang tidak menerapkan syariah Islam di kehidupannya.
 
Menurut Jajang, Muslim abangan lebih suka melaksanakan praktik-praktik lokal. Oleh sebab itu, sangat jarang menemukan golongan ini melakukan ibadah puasa. Namun golongan ini lambat-laun mulai mengikis dan kalah jumlah dengan Muslim yang hidupnya berorientasi pada syariat Islam.
 
Kelompok santri atau Muslim yang berorientasi pada syariah Islam mulai mengkristal di masyarakat pada awal abad 20. Kemudian terus memuncak hingga 1950-an. Semenjak era ini, kaum santri semakin dominan dibandingkan abangan. 
 
Di kesempatan serupa, Jajang juga mengungkapkan data survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan data tersebut, tingkat pelaksanaan masyarakat untuk berpuasa di era kini sangat tinggi. Ia memperkirakan tingkatan pelaksanaannya sekitar 70 sampai 75 persen. 
 
"Itu survei orang Muslim yang mengaku puasa. Entah puasa di hari awal saja atau hari terakhir saja, tapi ada kebutuhan orang Muslim itu berupaya untuk puasa. Mungkin awalnya saja, tengah nggak puasa lalu akhir puasa," kata Jajang.
 
Masyarakat saat ini setidaknya mencerminkan Ramadhan sebagai identitas penting sebagai simbol keislaman. Puasa di Ramadhan bukan sekedar masalah budaya tapi juga agama. Hal serupa juga terlihat bagaimana masyarakat yang biasa tidak sholat lalu berbondong-bondong melaksanakan ibadah Idul Fitri.
 
"Begitu juga dengan puasa, ada tekanan sosial yang luar biasa agar orang itu berpuasa. Mungkin nggak enak sama orang tuanya atau nggak enak sama keluarganya dan sebagainya," ucapnya.